Quantcast
Viewing all 1384 articles
Browse latest View live

Arsitek-tur (Bagian Pertama)

Begitulah saya menyebut liburan musim dingin pertama sejak menjadi mahasiswa di School of Architecture UIUC (University of Illinois at Urbana-Champaign). Tujuan utama perjalanan ini adalah mengunjungi bangunan-bangunan yang selama ini hanya dipelajari lewat layar kaca dan lembar kertas. Melihatnya secara langsung dengan mata telanjang. Kalau meminjam istilah yang sangat arsitektural, “mengalami ruang”.

Sejak dulu kuliah arsitektur tingkat sarjana di Universitas Indonesia (UI), nama-nama arsitek seperti Frank Lloyd Right, Eero Saarinen, Mies Van Der Rohe sudah tidak asing lagi. Saya semakin diajak untuk mengenal lebih jauh karya-karya mereka melalui diskusi dengan profesor mata kuliah teori arsitektur saya di kampus. Rasa penasaran tentang apa rasanya mengalami ruang-ruang karya arsitek ternama di masa lalu, terlebih dengan pengetahuan tentang konteks waktu dan tren perancangan saat itu semakin mendorong keinginan saya untuk bisa hadir langsung di objek-objek arsitektural ternama itu.

Tur arsitektur saya dimulai dari Boston. Cuacanya saat itu sejuk, namun terkadang dingin menusuk. Tujuan utama saya adalah kampus Massachusetts Institute of Technology (MIT). Alasannya sederhana, dalam satu kampus, saya bisa “menyapa” lima bangunan sekaligus. Ini kali pertama saya benar-benar meresapi setiap bangunannya.

Bangunan pertama di arsitek-tur kali ini adalah MIT Chapel, dibangun pada tahun 1955 oleh Eero Saarinen. Saarinen merancangnya dengan menambahkan “makna” dalam triad modernisme: fungsi, struktur, dan zeitgeist. Dari luar, bentuknya tidak begitu unik. Material bata merah dan skala yang relatif lebih kecil dari bangunan di sekelilingnya tidak membuatnya menjadi objek arsitektur yang menonjol. Saya masuk melalui pintu utama yang posisinya tegak lurus dengan arah altar. Begitu masuk, pandangan saya langsung diarahkan ke altar, aspek utama dan paling penting dari chapel ini. Saya kurang tahu harus menyebutnya apa. Di tengah altar, ada untaian benang dengan manik-manik yang memantulkan cahaya dari sekeliling chapel. Indah sekali. Saat melihatnya di layar presentasi profesor saya beberapa bulan lalu, saya sudah tidak meragukan keindahan bangunan ini. Tapi ternyata keindahan yang saya taksir tidak seberapa jika dibandingkan saat saya mengalami ruangnya langsung saat itu. Skala ruang yang luput dari tangkapan kamera bisa saya cerap, setiap detil susunan bata yang bergelombang di sekeliling, organ antik di atas akses ruang utama, keintiman ruang dan akustik ruang yang senyap, semua bagiannya sukses menyampaikan ide tenang ”makna” yang diinginkan Saarinen hadir di MIT Chapel. Saya tetap mendokumentasikan MIT Chapel melalui kamera saya, walaupun saya tahu, makna ruang tiga dimensi tidak akan pernah bisa dikomunikasikan lewat citra dua dimensi dari kamera.

Image may be NSFW.
Clik here to view.

Gambar 1. Tampak dalam saat memasuki MIT Chapel

Image may be NSFW.
Clik here to view.

Gambar 2. Dinding ruang dalam MIT Chapel

Image may be NSFW.
Clik here to view.

Gambar 3. Altar MIT Chapel

Perjalanan dilanjutkan ke gedung yang lokasinya bersebrangan dengan MIT Chapel. Masih dengan karya Eero Saarinen, dengan skala berbeda dan bahasa yang juga agak berbeda. Kresge Auditorium (1953-1955). Bentuknya lebih mengundang pandangan orang dengan atap oval menyerupai tempurung. Strukturnya cangkang konkrit dan berstruktur cangkang dan curtain wall kaca. Sayangnya saat itu Kresge Auditorium sedang dalam masa konstruksi, sehingga saya hanya bisa menikmatinya dari luar saja, tepatnya di Kresge Oval, area hijau di antara MIT Chapel dan Kresge Auditorium. Lapangan ini menjadi saksi perjumpaan saya dengan dua karya indah dan legendaris Eero Saarinen. Halo Saarinen!

Image may be NSFW.
Clik here to view.

Gambar 4. Tampak luar Kresge Auditorium
(sumber: http://suburbanfairytale.com/images/IMG_2859-kresge-auditorium.jpg)

Gedung ketiga umurnya cukup muda, selesai dibangun pada tahun 2002. Simons Hall, karya Steven Holl. Bahasa yang digunakan Holl untuk gedung ini cukup berbeda, setidaknya dengan dua gedung yang sudah saya ceritakan sebelumnya. Dari jauh, gedung ini tampak seperti spons, masa kotak yang besar, dengan pola kotak-kotak yang lebih kecil di sekeliling fasadnya (baca: dindingnya). Fungsi utamanya adalah asrama, sebagai tempat yang diharapkan mampu menjadi wadah interaksi bagi mahasiswa. Sayang, waktu kunjungan saya di masa liburan musim dingin kurang tepat untuk menyaksikan bagaimana bangunan ini dialami oleh mahasiswa dalam kesehariannya. Saya juga tidak bisa masuk ke dalam Simons Hall untuk sekedar mengintip nuansa ruang dalamnya. Dari pengamatan sekedarnya dari luar, terlihat bagaimana Holl bermain dengan solid-void untuk mendefinisikan area publik tempat berkumpul mahasiswa. Bukaan dari kotak-kotak jendela di seluruh permukaan dinding menjamin asupan cahaya alami yang cukup bagi setiap ruang. Ketika saya berpindah sisi untuk memandang gedung ini, ada satu hal lagi yang saya sadari, dinding ceruk jendelanya diwarnai berbeda, sehingga ada pengalaman yang berbeda ketika melihat Simons Hall dari sisi yang berbeda. Holl mengajarkan saya bagaimana sebuah keputusan desain yang (mungkin) minor bisa mengubah pengalaman ruang pengamat dengan signifikan. Halo Holl!

Dari Simons Hall, saya lanjut berjalan ke arah barat, melewati lapangan menuju Baker House karya Alvar Aalto. Ini bangunan paling tua dari lima bangunan yang saya kunjungi, dibangun pada tahun 1948, ketika arsitektur modern masih menjadi primadona. Material bata merah menambah kuat kesan tua gedung asrama ini.  Satu hal yang paling mencuri perhatian saya adalah tangga eksposnya. Ruang di bawah tanggah yang biasanya menjadi bagian dari ruang dalam, dijadikan bagian dari ruang luar. Tidak banyak yang bisa saya gali dan alami dari Baker House, karena lagi-lagi saya tidak masuk untuk mengalami ruang dalamnya. Tapi, itu sama sekali tidak mengurangi kebahagiaan saya melihat langsung karya Alvar Aalto dengan mata kepala saya sendiri. Halo Aalto!

Image may be NSFW.
Clik here to view.

Gambar 6: Baker House
(sumber: http://static.gigapan.org/gigapans0/60304/images/60304-500×301.jpg)

Gedung yang terakhir adalah gedung yang paling membuat saya tak habis-habisnya bertanya. Tidak perlu googling untuk tahu siapa yang merancang gedung ini. Semua insan arsitektur harusnya sudah sangat mengenal bahasa desain Frank Gehry. Lengkung, nyeleneh, dan semaunya saja; itu cara saya mendefinisikan karya Gehry. Bagi yang belum mengenalnya, coba saja jalan-jalan ke pencarian gambar dengan mengetik namanya. Muncul gedung-gedung dengan bentuk ajaib yang pasti membuat para ahli struktur geleng-geleng kepala memikirkan bagaimana strategi struktur bangunan-bangunan karya Gehry. Semua orang yang pernah ke MIT pasti menyadari keberadaan Ray and Maria Stata Center (2004). Bentuknya paling nyeleneh, warna dan materialnya pun tidak kalah nyeleneh. Dari semua sisi, tidak ada yang seragam. Selalu ada sisi baru yang ditawarkan Gehry untuk pengamat. Tidak cukup satu, dua, atau tiga kali saya dibuat kaget dengan fitur-fitur desain Stata Center. Dindingnya, pintunya, jendelanya, aksesnya, atapnya, semua unik. Tidak bisa saya jelaskan, sebagai konsekuensinya saya tautkan lebih banyak gambar Stata Center. Selama mengalami ruangnya, saya penasaran bagaimana perbincangan Gehry dengan insinyur strukturnya, pasti perdebatannya sangat sengit dan seru. Tapi pada akhirnya, bangunan ini bisa juga hadir dan terbangun, menjalankan fungsinya dan berinteraksi dengan manusia yang mengalami ruangnya sehari-hari. Terlepas dari kontroversi dan cerita di balik Stata Center, kehadiran saya di sana membuat saya mengenal karakter desain Gehry secara lebih mendalam. Halo Gehry!

Image may be NSFW.
Clik here to view.

Gambar 7. Ray and Maria Stata Center

Image may be NSFW.
Clik here to view.

Gambar 8. Salah satu bagian unik dari Ray and Maria Stata Center

Image may be NSFW.
Clik here to view.

Gambar 9. Mengalami ruang antara di Ray and Maria Stata Center

Image may be NSFW.
Clik here to view.

Gambar 10. Dinding nyeleneh a la Frank Gehry

Rangkaian arsitek-tur saya di MIT ditutup oleh gaya nyeleneh Ray and Maria Stata Center. Perjalanan awal yang bisa dibilang cukup kaya; bertemu muka dengan lima bangunan berbahasa desain yang beragam dari arsitek-arsitek lintas generasi. Sudah lima dari banyak bangunan karya arsitek lain yang akan saya sapa.

Tidak sabar untuk ke perjalanan arsitek-tur selanjutnya.

Siapa lagi yang akan saya sapa?

 

Photo Courtesy: Author’s Collection, http://suburbanfairytale.com, http://static.gigapan.org


Menjadi Kandidat PhD di Yeungnam University Korea

Halo para pembaca Indonesia Mengglobal. Perkenalkan nama saya Felicia. Saat ini, saya sedang menempuh studi PhD di Yeungnam University, Korea Selatan. Sepertinya sampai saat ini, hal apapun yang berhubungan dengan Korea Selatan sedang booming ya di Indonesia. Apakah hal mengenai pendidikan di Korea Selatan juga menarik untuk dibahas? Yuk, kita bahas sistem pendidikan di Korea Selatan khususnya untuk jenjang graduate student seperti PhD student.

Seperti yang sudah saya sebut di atas, saat ini saya sedang menempuh PhD di Yeungnam University. Yeungnam University merupakan private research university yang berlokasi di Gyeongsan, Gyeongsan Utara, Korea Selatan. Perlu diketahui, Yeungnam University merupakan kampus kedua terluas di Korea Selatan. Mungkin ada dari pembaca yang ingin mengetahui bagaimana saya bisa sampai mendapatkan beasiswa PhD di kampus saya. Saya akan berbagi sedikit pengalaman saya tersebut di sini. Setelah saya menyelesaikan studi master saya dari NTUST Taiwan, saya tidak punya keinginan untuk melanjutkan studi PhD. Tetapi, pada suatu ketika, saya iseng mencari di internet mengenai bidang riset saya yaitu Process Design and Control, dan akhirnya saya menemukan homepage lab saya saat ini. Saya melihat di bagian bidang penelitian untuk lab saya, dan bidang penelitiannya sama seperti bidang penelitian saya. Saya pun iseng mengontak salah satu anggota lab untuk menanyakan adanya lowongan pekerjaan seperti researcher di lab tersebut atau tidak. Responnya memberitahu jika lab tersebut membuka lowongan untuk PhD student dan jika berminat bisa segera menghubungi pembimbing via e-mail. Saya pun mencoba menghubungi pembimbing dengan tidak berpikiran akan diterima, saya hanya mengutarakan keinginan saya yang ingin meneruskan penelitian yang sudah saya kerjakan selama di Taiwan, dan respon dari pembimbing saya bisa dibilang cukup cepat, lancar dan bagus. Tidak perlu waktu lama untuk saya mendapat acceptance dari pembimbing saya. Saya bersyukur untuk kesempatan ini.

Saya pun akhirnya dirujuk ke website universitas untuk mencaritahu dokumen-dokumen apa saja yang diperlukan untuk mendaftar di Yeungnam University. Setelah semua dokumen lengkap, kemudian saya mengirimkan semua dokumen saya tersebut ke Korea Selatan. Saya hanya menunggu sampai pihak universitas mengumumkan hasil penerimaan dan mengirimkan dokumen-dokumen yang diperlukan untuk registrasi ulang dan pembuatan visa. Jadi, kunci untuk diterima di Yeungnam University adalah pembimbing. Jika kita sudah diterima oleh pembimbing, 99% kita diterima di Yeungnam University dan umumnya melalui jalur beasiswa, di mana kita mendapatkan beasiswa untuk tuition fee dari Universitas dan living cost dari pembimbing kita. Besarnya living cost tiap mahasiswa tentu saja berbeda karena bergantung dari masing-masing pembimbing. Untuk saya sendiri, bisa dibilang saya mendapatkan pembimbing yang sangat pengertian sehingga kehidupan saya di Korea cukup menyenangkan meskipun ada hal-hal yang tidak menyenangkan juga saya alami tetapi saya lebih memilih untuk bersyukur atas apa yang sudah saya terima dan saya dapatkan sampai saat ini.

Untuk saat ini, status saya adalah sebagai PhD candidate mengingat saya sudah menyelesaikan semua mata kuliah saya selama 4 semester. Ya, kita perlu 4 semester untuk menyelesaikan semua mata kuliah dan umumnya 3-4 tahun untuk menyelesaikan PhD degree. Tetapi, ada juga persyaratan tambahan yang diperlukan untuk lulus PhD di Yeungnam University. Persyaratan tambahannya adalah publikasi di international journal. Persyaratan dari universitas, kita harus punya 1 publikasi di international journal dan journal-nya harus masuk dalam kelompok SCI atau SCI-E. Tetapi, umumnya untuk lulus kita mengikuti syarat yang diajukan oleh pembimbing kita. Untuk pembimbing saya sendiri, syarat lulus adalah 4  publikasi di international journals. Tetapi, kembali ke masing-masing pembimbing ya. Syarat yang pembimbing saya berikan mungkin terbilang sulit tetapi ini baik untuk karier kita ke depan, dan juga tidak mutlak 4 journals, karena jika pembimbing saya merasa kita sudah memenuhi level akademik yang Beliau punya, maka kita pun akan diluluskan oleh Beliau. Tetapi ya tahu sendiri, pembimbing selalu bereskspektasi tinggi ke tiap-tiap muridnya, kan?

Untuk kehidupan lab sendiri, bisa dibilang saya amat beruntung jika dibanding dengan teman-teman Indonesia lainnya yang ada di kampus saya. Oh ya, ada sekitar 35 orang mahasiswa Indonesia di kampus saya. Untuk jurusan saya yaitu chemical engineering ada 5 orang mahasiswa, kami semua sedang menempuh jenjang PhD. Mohon doanya supaya lancar studi PhD kami. Kembali ke kehidupan lab, berhubung penelitian saya bukan eksperimen melainkan simulasi, ya saya tidak berkutat dengan bahan kimia tetapi dengan komputer yang menggunakan chemical engineering software seperti Aspen Plus, HYSYS, Unisim, Pro/II; sehingga jam kerja di lab saya pun bisa dibilang fleksibel. Pembimbing juga tidak menerapkan jam kerja yang terlalu ketat, tidak seperti lab lain yang basisnya eksperimen. Tapi umumnya di Korea sendiri, mahasiswa datang jam 9 pagi sampai 6 sore. Mereka punya waktu istirahat di siang hari selama 1 jam untuk makan siang, biasanya jam 12 sampai 1 siang.

Dan, yang paling membuat beda lab saya dengan yang lain adalah jumlah mahasiswa asingnya yang dibilang lebih dominan dibanding mahasiswa koreanya dengan perbandingan 17 orang banding 3 orang. Jadi, saya merasa seperti tidak sedang belajar di Korea selatan karena bisa dibilang lab saya adalah international lab. Untuk saat ini ada 20 orang di lab saya dengan pembagian 6 orang Master’s degree student, 8 orang PhD student, 1 orang postdoctoral fellow, 4 orang research professor dan tentu saja 1 orang pembimbing. Untuk negaranya sendiri, ada yang dari Kamerun, Cina, Bangladesh, Pakistan, India, Indonesia, Vietnam dan tentu saja Korea.

Umumnya kami berkomunikasi menggunakan bahasa Inggris di lingkungan lab tetapi kita harus menggunakan bahasa Korea untuk sehari-hari, mengingat orang Korea tidak terlalu mahir bahasa Inggris. Oya, kita perlu lulus tes bahasa Korea sebagai salah satu syarat lulus dari Yeungnam University. Saat ini, syaratnya harus lulus level 2A, tetapi untuk saya yang masuk pada Febuari 2014, saya hanya perlu lulus level 1B. Terkadang ada perubahan peraturan tiap tahunnya. Untuk mata kuliah di jurusan saya, umumnya foreign research professor membuka kelas dalam bahasa Inggris, jadi kita tidak perlu mengambil kelas dalam bahasa Korea. Tetapi ini bergantung dari masing-masing jurusan ya, karena di jurusan lain terkadang tidak dibuka kelas dalam bahasa Inggris, jadi mau tidak mau kita harus mengambil kelas dalam bahasa Korea yang tentunya sulit untuk kita mengerti.

Sebagai penutup, perlu diingat, kehidupan di Korea tidak seindah seperti yang kita lihat di drama. ‘Tekanan’ dan mungkin kehidupan yang ‘lebih keras’ akan kalian dapatkan selama menempuh studi dan hidup di Korea. Kuncinya terus berdoa, kerja keras dan bersyukur, niscaya semua akan indah pada waktu-Nya. Sekian pengalaman saya di Korea. Terima kasih.

Program Erasmus+ QEM via Beasiswa LPDP

Beasiswa Erasmus+ (dulu namanya Erasmus Mundus) memang salah satu beasiswa yang tidak asing di antara pemburu beasiswa, termasuk saya. Selain memberikan banyak pilihan program sesuai minat kita, juga program ini memungkinkan penerimanya berkuliah di beberapa universitas di beberapa negara eropa berbeda.

Lulus Diploma IV dari Sekolah Tinggi Ilmu Statistik (STIS) jurusan Statistika-Ekonomi dengan IPK pas-pasan awalnya membuat saya tidak berharap banyak akan mendapatkan beasiswa Erasmus+ di program Joint Master Quantitative Economics Methods and Models (QEM). Apalagi saya juga tidak punya prestasi yang gemilang di luar kampus. Akan tetapi karena saya terlanjur jatuh cinta dengan programnya maka tidak ada salahnya saya coba, apalagi saya memiliki pengalaman kerja dan latar belakang pendidikan yang sangat sesuai. Oleh karena itu saya semakin mantap untuk mencoba.

Pendaftaran program QEM dilakukan secara online, saya cukup mengunggah beberapa persyaratan yang diminta sesuai prosedur yang telah ditentukan. Pastikan dokumen yang kita unggah lengkap dan sesuai dengan standar minimal yang diminta. Pendaftaran Beasiswa Erasmus+ untuk program QEM biasanya dibukan sekitar Oktober dan berakhir Februari tahun berikutnya. Setelah menunggu sekitar 3 bulan, hasilnya pun diumumkan.

Ada tiga kategori pelamar dalam pengumuman program QEM. Pertama, pelamar yang diterima di program QEM sekaligus mendapatkan beasiswa Erasmus+ secara penuh. Kedua, pelamar yang diterima di program QEM tapi tidak mendapatkan beasiswa Erasmus+. Terakhir, pelamar yang tidak diterima di programnya dan tentunya tidak mendapat beasiswanya. Nah, saya masuk ketagori yang kedua. Sedih? Iya, tapi sedikit; lebih banyak senang karena target minimal saya tercapai; diterima di programnya dan bisa mendaftar di beasiswa LPDP.

Setelah mendapat Letter of Acceptance dari Universite Paris 1 Pantheon-Sorbonne sebagai universitas koordinator maka saya bergegas mempersiapkan berkas untuk mengikuti seleksi beasiswa LPDP. Awalnya sempat ragu karena begitu banyak informasi simpang siur mengenai kebersediaan LPDP membiayai program Erasmus+ karena sistem perkuliahan di program Erasmus+ yang melibatkan banyak universitas dan terkadang di antara universitas tersebut ada yang tidak masuk 200 besar universitas dunia versi LPDP. Namun setelah bertanya ke berbagai pihak yang terpercaya, maka saya pun memberanikan diri mendaftar ke LPDP. Alhamdulillah, pada pendaftaran LPDP tahun 2015 LPDP memperbolehkan program Erasmus+ dengan beberapa syarat khusus, yaitu jumlah universitas tempat kuliah maksimal 2 universitas dan semua universitas yang dipilih harus masuk LPDP. Oleh karena itu saya memilih Universite Paris 1 Pantheon-Sorbonne dan Universidad Autonoma de Barcelona karena hanya kedua universitas ini yang masuk daftar LPDP, sedangkan 2 universitas yang lain, yaitu Universitat Bielefeld Germany dan Universita Ca’ Foscari Venezia Italy, tidak masuk.

Setelah melewati seleksi berkas, penulisan esai di tempat, Leaderless Group Discussion (LGD) dan wawancara per-orangan, saya resmi menjadi salah satu penerima beasiswa LPDP untuk program QEM di Universite Paris 1 Pantheon-Sorbonne dan Universidad Autonoma de Barcelona. Sekali lagi saya sangat bersyukur di Indonesia masih ada beasiswa LPDP sehingga saya bisa mengejar impian saya. Harapan saya semoga ke depan LPDP masih mengakomodasi program Erasmus+ secara lebih luas lagi.

Photo courtesy of Indonesia Mengglobal

Who Says Being A Music Major Is Easy?

Ah, so you are majoring in music? That’s easy!”

I have heard this kind of statement a million times, and so far the most condescending  one was, “My son is not that smart. He can’t really study well at school so I want him to study music in college.”

Back then, those statements left me speechless until I realized that people are still unfamiliar with the whole tertiary music education concept, despite the increasingly growing number of Indonesian music students.

Being a second year Classical Piano Performance major at the  Melbourne Conservatorium of Music (a.k.a. “The Con”) – University of Melbourne, I can wholeheartedly assert that the ‘music major is easy’ statement is a myth since I never spend most of my time playing my favorite pieces on the piano. Moreover, I do have the same amount of workloads and exams as the other university students, topped with routine practice sessions everyday. To give you ideas of the music course structure, here is a glimpse of what music students do.

The Core Subjects

The core subjects are the essentials for a music student, and they might be a bit different at other universities with different course structures:

1. Music Performance

A Music Performance subject might be substituted with another subject depends on the specialisation. There are different specialisations in the music faculty, such as Music Composition, Practical Instruments, Musicology, Ethnomusicology, Music Pedagogy, and Conducting. However, some of these are only available for Graduate Studies.

  • Major Instrument Class: This is a private class where the student gets to meet the teacher 1×45-60 minutes per week to prepare for their final practical exam, which is either a Technical Exam (Scales, Etudes and Compulsory Pieces) or a 25-minutes Recital Exam.  The students need to practice for around 28 hours per week or even more to accommodate the lesson. The key here is not to cram all the pieces just hours before the lesson because it will not work at all.
  • Instrument Class: As a pianist, I need to attend a Piano/Keyboard Class 1×120 minutes per week.  There are also String Class, Woodwind Class, Percussion Class, Voice Class, and so on for other students. There will be master classes from the lecturers or guest lecturers, which is a chance for the student to perform and get feedback from the experts.
  • Concert Class: This is an opportunity to perform in front of the whole music faculty. The most interesting part is that the performers will be given a feedback sheet from the audience afterwards.

2. Music Language

I absolutely agree when people said that learning music is similar to learning a language. To be a fluent speaker of a language, we need to understand its vocabulary, grammar, and beyond. Similarly, the knowledge of music theory, such as chord analysis and harmonic functions, will definitely help us learn music. This is my personal favorite subject, even though most of the other students find it time-consuming due to the weekly assignments and its fast pace. Furthermore, the listening test and final exam for this subject are relatively harder than the other subjects.

3. Music History

Please throw away the idea of memorizing the history of music like primary school students do. In this subject, we are asked to write research essays and give presentations, which include playing the instrument while presenting. Yes, music students are required to write  essays, conduct research, and present as well! The intended outcome is that we will be able to apply our history knowledge to our performances.

4. Aural Studies

Unless the student is capable of doing this, aural studies is definitely necessary. Non-music students consider the lecture amusing because of the never-ending clapping and singing. Nonetheless, transcribing melodies and sight singing tests in the tutorial class could improve our musicianship.

Applied Skills Subjects

Beside the core subjects, there are applied skills subjects as well. For example, Music Psychology, Music and Health, Music Business, Art of Piano Teaching, Alexander Technique for Musicians, and Computing for Musicians.  For people who are keen on more practical subjects, the faculty offers Minor Music Performance, Chamber Music, Orchestra, Choir, Piano Duo, Shakuhachi, African Drum and Dance, Chinese Orchestra and Gamelan. Chamber Music is a popular subject, and this is what the students do in the class.

I have got the chance to take some of the subjects aforementioned, and so far my favorite is Art of Piano Teaching, partly because of my aspiration to become a music educator. In one of the assessments, the students were made to choose a piece of music with which beginner to intermediate students are taught Afterwards, they had to explain the ‘hidden lessons’ the composer wanted to convey to the audience, which could be particular techniques, imagery, or anything else. After finding the ‘hidden lessons’, the students  had to present the steps required to teach the piece and transfer the knowledge to the learners.  Although the process of choosing the piece itself is inherently hard,  the real problem was the obligation to look for the appropriate teaching method and present at a professional conference. Surprisingly, and interestingly, from watching other students’ presentation, the students could easily tell what is effective and what is not in teaching, and also what makes a great teacher. In my opinion, this subject is very helpful for students who are after a teaching career.

Life Beyond The Campus

Image may be NSFW.
Clik here to view.
Indonesian Vanessa Tunggal Choir at the Melbourne Conservatorium of Music

Author (middle) with her choir friends

One of the perks of being a music student is that we can get involved in a lot of music communities inside and outside the campus. We get to meet fellow musicians, enhance our creativity, and play delightful music by joining communities such as choir, orchestra or even the university music theatre productions. Indirectly, these activities also improve our skills in practicing and performing music, which are especially important for Classical music students. Sometimes, we even get free concert tickets! Watching professional musicians performing at the concert will definitely motivate us to practice more. In addition, if there is still enough time to practice, some students will join competitions or performance engagements in order to gain experience and make some money.  

To sum up, being a music student is not only about the proficiency in playing the instrument. Persistence is also a must since musicians are also required to build upon their other skills, such as research, presentation, and social skills.. Moreover, just like any other majors, such as Law, Medicine, and Finance, musicians need significant time to complete their Bachelor, Master, or Doctoral degree. There is no such thing as requiring less time because music major is ‘easier’. As the famous composer and conductor Leonard Bernstein said, “To achieve great things, two things are needed; a plan, and not quite enough time.”

Photos provided by the author

Edited by Hadrian Pranjoto

Ekspansi Batas Praktik dan Studi Arsitektur

The adjacent possible is a kind of shadow future, hovering on the edges of the present state of things, a map of all the ways in which the present can reinvent itself. The strange and beautiful truth about the adjacent possible is that its boundaries grow as you explore them.”

- Steven Johnson, The Genius of the Tinkerer

Apa itu arsitektur? Semakin lama belajar arsitektur, saya semakin kesulitan menjawab pertanyaan yang semestinya amat mendasar ini. KBBI menyebutnya sebagai seni (art) dan ilmu (science) merancang serta membuat konstruksi bangunan, selaras dengan definisi kamus-kamus otoritatif Bahasa Inggris seperti Merriam-webster atau Oxford. Pemaknaan itu menyiratkan bangunan sebagai ujung yang menyatukan segala produksi seni dan ilmu dalam arsitektur. Berangkat dari definisi itu, wajar pula jika profesi arsitek, perancang bangunan, dianggap sebagai karir “normal” bagi para lulusan pendidikan arsitektur.

Namun, seperti segala kata lain di dunia ini, makna kata “arsitektur” tidak statis. Dalam seratus tahun terakhir, pemaknaan arsitektur di lingkup akademik maupun praktik arsitektur semakin cair. “Bangunan” tidak lagi mesti jadi produk akhir dan “membangun” tidak lagi jadi tindakan absolut dalam berarsitektur. Berbagai wacana interdisipliner, perkembangan teknologi, dan terobosan pemikiran membuka pintu-pintu baru. Rupa-rupa profesi arsitektural yang tak mesti arsitek pun bermunculan. Maksud saya bukan profesi walikota loh ya. Sejak 1963, misalnya, Ada Louis Huxtable menjadi kritikus arsitektur pertama yang bekerja penuh waktu. Philip Johnson pada 1930-an sudah menjadi kurator arsitektur untuk Museum of Modern Art. Tahun lalu, sebuah artikel di Archdaily menceritakan pengalaman María Elisa Navarro, sejarawan arsitektur, saat menjadi konsultan arsitektur untuk permainan konsol Assassin’s Creed II. Pada 2014, Guggenheim Museum membuka posisi kuratorial baru berjudul Architecture and Digital Initiative. Spektrum praktik arsitektur terus meluas dan pandangan konvensional tentang apa itu arsitektur, sekalipun tak salah, tidak lagi cukup.

Institusi-institusi pendidikan ikut ambil bagian dalam membuka lapangan-lapangan studi yang sebelumnya tak pernah ada. Pada artikel ini, saya merangkum beberapa wilayah studi yang merentang batas-batas praktik arsitektur, beserta dengan universitas-universitas yang menyediakan pendidikan lanjut—kebanyakan adalah pendidikan pascasarjana—bagi studi tersebut. Daftar tentang praktik di tapal batas ini, tentu saja, terbatas. Banyak wilayah studi arsitektural lain yang sudah pasti tidak saya ketahui. Pun daftar ini tidak berarti bahwa wilayah studi arsitektural lain yang sudah mapan seperti perancangan arsitektur, perencanaan kota, preservasi bangunan bersejarah, real estate dan properti, atau sejarah dan teori arsitektur tidak lagi relevan. Peran berbagai wilayah studi tersebut tetaplah sentral. Sementara, peran wilayah-wilayah studi yang eksperimental, sekalipun segar, bukan berarti krusial. Waktu masih terlalu singkat untuk menguji mereka, oleh sebab itu, baiknya kita ambil positifnya saja: praktik arsitektur yang semakin beragam.

Arsitektur Forensik

Forensik, dalam bidang hukum dan kriminologi, merujuk pada praktik penyajian bukti dalam investigasi kejadian kriminal melalui metode dan teknik ilmiah. Namun begitu, seni forensik tidak hanya memerlukan kerja lapangan yang tajam dan teliti, tetapi juga kemampuan retorika dan estetika yang mumpuni dalam menyajikan data di hadapan forum yang menilai. Tak heran jika kata forensik sendiri berakar dari kata Latin forum.

Laku forensik di bidang arsitektur dikembangkan oleh badan riset Forensic Architecture di Goldsmiths, University of London. Ia juga menjadi salah satu unit studi pascasarjana Master of Arts in Research Architecture di universitas tersebut. Praktik arsitektur forensik merespons semakin banyaknya konflik, baik berlatar ekonomi, sosial, maupun politik, yang menjadikan bangunan dan aspek spasial sebagai senjata maupun sebagai sasaran. Forensic Architecture menginvestigasi berbagai aspek dari bangunan: kulit, material, sistem struktur, sistem pembuangan, pola spasial, sirkulasi, dan lain sebagainya, dan mengolahnya ke dalam media representasi arsitektur yang mutakhir sebagai alat bukti. Singkat kata, para “arsitek” forensik bekerja seperti detektif: mengumpulkan fakta dengan bukti-bukti yang valid untuk kemudian diajukan sebagai argumentasi di forum—entah itu di persidangan formal ataupun di ranah diskusi publik.

Contoh riset mereka: rekonstruksi operasi militer Israel di Rafah, Gaza, 1-4 Agustus 2014, dengan menggabungkan model digital tiga dimensi, gambar-gambar, video, dan narasi. Bekerja sama dengan Amnesty International, Forensic Architecture menganalisis berbagai data dari organisasi profesional maupun dari warga untuk mengungkap fakta-fakta lapangan yang sebenarnya terjadi selama 72 jam berdarah yang membunuh setidaknya 130 orang warga Palestina tersebut. Dokumen tersebut dipakai sebagai alat bukti dalam pengadilan internasional sekaligus juga sebagai rekaman sejarah.

Sumber video: Amnesty International.

Media Digital

Digital media technology is at the heart of modern life,” begitu kalimat pertama prospektus Master of Science in Design and Digital Media, Edinburgh University, di situs mereka. Entah apakah klaim itu berlebihan. Setidaknya, kalaupun media digital belum sampai ke hati, setidaknya ia sudah sampai di setiap kantong celana kita. Pengaruh dunia digital tak terhindarkan dan belum akan berhenti di tempat, apalagi jika memperhitungkan teknologi layar yang makin mutakhir—sulit untuk tidak menyebut smartphone dan virtual reality headset sebagai aktor utama—yang sudah pasti akan mengubah cara kita mengalami baik lingkungan virtual maupun realita. Maka layar, tak ayal, menjadi salah satu tapak paling produktif untuk arsitektur, dan program di Edinburgh University tersebut berkutat dengan itu.

Selain itu, universitas yang membuka wilayah studi di bidang ini adalah Southern California Institute of Architecture (SCI-arc), melalui program Master of Arts in Fiction and Entertainment. Permainan konsol dan sinema, dua hiburan terpopuler, membutuhkan aplikasi arsitektur yang tak sebatas lingkungan terbangun. Berbagai museum dan galeri juga mulai mengadopsi teknologi digital sebagai bagian dari pengalaman menikmati konten. Program pascasarjana ini mengeksplorasi lingkungan virtual sebagai wilayah produksi arsitektur, dengan melibatkan industri film, fiksi, animasi, game, galeri, dan lain-lain.

Praktik Media, Kritik, dan Kuratorial

Walaupun tulisan dan pameran sudah sejak lama menjadi mata uang dalam sirkulasi wacana arsitektur, baru belakangan ini berbagai institusi akademik meramu jurusan yang spesifik bagi yang ingin menekuni praktik kritik dan kuratorial di bidang arsitektur. Ini mungkin sejalan juga dengan semakin banyaknya kritikus dan kurator arsitektur yang bekerja penuh waktu alih-alih menjadikannya pekerjaan sampingan. Meningkatnya infrastruktur pendukung seperti situs-situs arsitektur, pameran-pameran rutin macam bienial, dan galeri-galeri arsitektur turut turut andil dalam mengembangkan profesi kritikus dan kurator arsitektur.

School of Visual Arts, New York, sejak 2008, membuka pendidikan Master of Arts in Design Research, Writing, and Criticism. Di kota yang sama, Columbia University, sejak 2010, membuka pendidikan Master of Science in Critical, Curatorial, and Conceptual Practices in Architecture. Design Academy Eindhoven, sejak 2014, mengadakan jurusan Master of Arts in Design Curating and Writing. AA School, sejak 2016, membuka Master of Philosophy in Media Practices. Berbagai institusi tersebut menerapkan berbagai media dalam laku produksi dan diseminasi wacana arsitektur. Selain itu, banyak universitas lain yang memiliki jurusan sejarah dan teori yang kompatibel dengan kerja media, kritik, dan kuratorial.

Image may be NSFW.
Clik here to view.

Paviliun Indonesia, Venice Biennale 2014. Salah satu kuratornya adalah Avianti Armand, satu dari sedikit kritikus dan kurator arsitektur di Indonesia. (Sumber foto: Robin Hartanto)

Data Science

Limpahan data di era informasi serupa dua sisi mata uang. Di satu sisi mengumpulkannya menjadi lebih mudah, tetapi di sisi lain menyaringnya jadi lebih susah. Belum lagi jika kita bicara soal Big Data. Bagaimana mengolah limpahan data dari berbagai lapisan menjadi informasi yang berguna? Pun setelah menyaringnya, pertanyaan berikutnya adalah bagaimana menjadikan data tersebut ramah dibaca? Tantangan ini membuat manajemen, teknik analisis, dan teknik visualisasi data menjadi kemampuan yang krusial di masa kini.

Maka berbagai jurusan yang berurusan dengan data dan arsitektur pun bermunculan. TU Delft membuka pendidikan Master of Science Geomatics for the Built Environment. Program ini menawarkan kemampuan 3D modelling, GIS, pemetaan, simulasi, dan visualisasi untuk diaplikasikan ke dalam berbagai bidang seperti misalnya manajemen bencana, geodesign, aplikasi berbasis lokasi, dan administrasi tanah. Parsons School of Design menawarkan program Master of Science in Data Visualization, yang berfokus pada visualisasi data. Sementara itu,  New York University membuka jurusan Master of Science in Applied Urban Science and Informatics, mengutamakan peran ilmu data dalam membaca dan memahami kinerja kota.

Arsitektur Komunitas

Salah satu kritik keras terhadap praktik profesi arsitek adalah soal keberpihakan. Sebagian besar klien yang mampu menikmati jasa arsitek berasal dari kalangan berpenghasilan tinggi. Sementara baik kampung kota maupun kampung desa, juga kawasan-kawasan terbengkalai, yang praktis membutuhkan rancangan yang berkualitas, nyaris tak tersentuh profesi arsitek. Kritik ini melahirkan jaringan-jaringan arsitek yang tak hanya sekadar mau turun tangan tetapi juga dalam praktiknya melibatkan warga setempat. Beberapa organisasi tersebut, antara lain, Jaringan Arsitektur Komunitas dan Architectes Sans Frontières. Kedua organisasi itu memiliki jaringan di Indonesia dan anda tidak usah pergi jauh-jauh buat belajar, apalagi Indonesia memiliki kasus-kasus studi yang relevan.

Tapi jika anda mencari pendidikan formal, berbagai program arsitektur dan perencanaan komunitas diadakan berbagai universitas, misalnya University of San Fransisco dengan program Bachelor of Arts in Architecture and Community Design. Program lain yang ternama adalah Rural Studio, yang merupakan bagian dari studi sarjana arsitektur di Aupburn University. Program ini betul-betul melibatkan aktivitas membangun dalam kurikulumnya.

Praktik Estetika

Konon katanya, arsitektur adalah ibu dari segala macam seni. Banyak penjelasan untuk pernyataan ini yang tentu saja bisa diperdebatkan: dari arsitektur sebagai seni tertua, arsitektur sebagai seni yang membutuhkan kemampuan estetika sekaligus pengetahuan ilmiah, hingga keberadaan seni-seni lain yang mulanya dibuat sebagai bagian dekorasi dari bangunan. Sementara, pandangan lain berkata bahwa peran arsitektur hanyalah sebagai wadah bagi karya seni, tidak lebih. Tetapi batas pemisah antara seni rupa dan arsitektur, selama seabad terakhir, terus-menerus digugat. Di satu sisi kita dapat melihat praktik-praktik seni rupa yang mengelaborasi ruang, seperti misalnya karya-karya Dan Graham, Les Levine, dan Dan Flavin; di sisi lain, karya-karya arsitektur juga tak lepas dari berbagai macam ideologi estetika.

Berbagai program studi membuka ruang untuk mengeksplorasi relasi dan interaksi antara praktik estetika dan arsitektur. Städelschule Architecure Class (SAC) membuka kelas spesialisasi Architecture and Aesthetic Practice (AAP). Kelas ini berkolaborasi dengan seniman dan institusi seni, dengan fokus tema yang berganti tiap tahun untuk menjelajahi berbagai wilayah seni. AA School membuka kelas MA dan MFA in Spatial Perfomance and Design yang berfokus pada seni performans seperti tari, teater, dan musik. Bekerja di bawah asuhan para pengajar dari berbagai profesi seni seperti koreografer, komposer, dan sutradara, para peserta kelas ini menciptakan karya-karya yang mengawinkan praktik seni dan praktik spasial.

Arsitektur dan Kesehatan

Ihwal-ihwal yang mempengaruhi kesehatan bukan hanya apa-apa yang masuk ke tubuh melainkan juga apa-apa yang melingkunginya. Pengaruh nyata lingkungan terbangun terhadap kesehatan membuka wilayah studi baru yang meneliti relasi antara arsitektur dan kesehatan. Wilayah studi tersebut menginvestigasi desain pada berbagai skala: pakaian, interior, bangunan, infrastruktur, kota, dan lain-lain. Isu yang menjadi pokok bahasan studi ini pun macam-macam: eksplorasi ergonomi antara tubuh dan ruang hidupnya, aksesibilitas untuk difabel, pengaturan kualitas udara, air, dan sistem mekanikal dalam bangunan, aplikasi teknologi dalam ruang tinggal, relasi antara lingkung bangun dan alam, dan lain-lain.

University of Michigan, misalnya, memiliki program Master of Science in Architecture concentration in Design and Health. Ada juga University Illinois at Urbana-Champaign yang membuka program Master of Architecture dengan spesialisasi Health+Well Being. Jurusan-jurusan ini bukan hanya mempelajari cara mendesain rumah sakit. Melalui kajian kritis sejarah ilmu dan praktik kesehatan, wilayah studi ini mengeksplorasi berbagai kemungkinan ruang hidup yang lebih sehat, tidak hanya pada institusi-institusi kesehatan melainkan juga pada ruang-ruang yang sehari-hari, baik itu ruang domestik maupun ruang publik.

Image may be NSFW.
Clik here to view.

Rekaman studi ergonomi tangan ini dibuat oleh Fauzia Evanindya, arsitek berprestasi dan masih single asal Indonesia yang sedang menjalani studi pascasarjana Master of Science in Architecture concentration in Design and Health, University of Michigan (Sumber foto: Fauzia Evanindya)

Post Scriptum:

Menulis artikel ini membuat saya bertanya seberapa krusial peran institusi pendidikan dalam menciptakan ruang-ruang alternatif. Dengan berada di bawah payung institusi pendidikan, berbagai praktik arsitektur alternatif seperti Forensic Architecture mendapatkan keleluasaan gerak, terutama dalam hal finansial dan sumber daya manusia. Tetapi, banyak juga praktik independen yang justru bergerak lebih lentur oleh karena tidak terikat pada struktur yang lebih besar dan bekerja secara gerilya. Institusi-institusi kuratorial arsitektur, misalnya, menjamur lebih dulu sebelum mulai memasuki institusi pendidikan. Maka, jika ingin terjun menekuni disiplin ilmu tertentu, pendidikan formal saya kira bukanlah pilihan mutlak. Pertanyaannya adalah perbedaan apa yang mau dituju dengan menelusuri satu jalan tertentu. Sebab, ada banyak jalan menuju batas.

 

Photo and Video Courtesy: Amnesty International, Fauzia Evanindya, Author’s Collection

Menimba Ilmu di Malaysia

Mempunyai kesempatan untuk belajar atau tinggal di luar negeri mungkin merupakan impian dari semua orang, termasuk saya sendiri. Membayangkan bahwa saya bisa tinggal sendiri secara mandiri, berpetualang, mendapatkan kesempatan untuk menjelajahi lingkungan baru dan bertemu orang-orang baru membuat saya gembira. Bisa dibilang saya termasuk segelintir orang yang beruntung karena impian untuk belajar di negera orang tersebut telah terwujudkan. Saya sekarang sedang mengenyam pendidikan S1 saya di Malaysia. Kenapa memilih melanjutkan pendidikan di Malaysia? Apakah belajar di Malaysia menggunakan bahasa melayu? Ini merupakan pertanyaan-pertanyaan standar yang ditanyakan hampir semua orang kepada saya ketika saya memberitahu mereka bahwa saya sekolah di Malaysia.

Nah, apa sebenarnya alasan saya melanjutkan pendidikan di Malaysia? Memang dibandingkan negara-negara lain seperti Amerika, Inggris, Australia, Jerman, dan sebagainya, kedengarannya Malaysia bukan target negara idaman bagi para pelajar asing. Nyatanya, pelajar asing di Malaysia terus meningkat hingga mencapai 110,000 pelajar menjelang akhir tahun ini (The Malaysian Insider, 2015). Alasan utama saya memilih sekolah di Malaysia adalah biaya hidup yang tidak terlalu mahal dibandingkan dengan negara lain. Satu bulan saya hanya menghabiskan sekitar RM1000-1500, termasuk biaya sewa kamar, makan, hiburan, dan lain-lain. Jika kalian berpikir di Malaysia kita hanya akan menggunakan bahasa melayu, itu salah besar. Malaysia merupakan negara yang terdiri dari berbagai suku dan ras. Tiga ras utama yang berada di Malaysia ialah: Melayu, Chinese, dan Indian. Terbayangkah betapa beragam dan menariknya budaya yang ada di Malaysia? Bahasa nasional Malaysia sendiri merupakan bahasa Melayu, namun untuk komunikasi sehari-hari hampir setiap saat kita menggunakan bahasa Inggris terutama di lingkungan kampus.

Saya berasal dari kota kecil di Indonesia. Kampung halaman saya berada di Sungailiat, Bangka Belitung. Di sanalah saya menghabiskan masa kanak-kanak dan remaja saya. Pertama kali saya menginjakkan kaki di Malaysia, yaitu pada bulan Januari tahun 2013. Saat itu, saya akan melanjutkan pendidikan foundation di Taylor’s College Subang Jaya, Malaysia, dengan mengambil jurusan Canadian Pre-University Programme (CPU) selama 2 semester (1 tahun). CPU merupakan sistem pendidikan Ontario yang setara dengan grade 12. Setiap semester kita harus mengambil 3 mata pelajaran grade 12. Jadi, total pelajaran yang harus diambil untuk lulus minimal ialah 6 pelajaran. Selain itu, untuk lulus kita juga harus mengikuti ujian Ontario Literacy Test dari Kanada dan harus melakukan minimal 10 jam volunteer works. Uniknya di CPU, kita bisa memilih mata pelajaran yang kita suka. Jujur, pertama kali saya menjadi pelajar di Taylor’s College, saya merasa sangat amat gugup. Pasalnya, saya bukan dari latar belakang pelajar yang bersekolah di sekolah internasional. Bahkan di kampung halaman saya, tidak ada yang namanya International School. Saya juga tidak mempunyai satu orang keluarga pun di Malaysia, sehingga membuat saya merasa sangat homesick pada saat itu. Saya juga khawatir kalau saya tidak dapat mengikuti pelajaran karena kesulitan dalam bahasa karena 80% total guru saya waktu itu orang Kanada.

Minggu pertama di Taylor’s College, saya harus mengikuti English Placement Test (EPT) terlebih dahulu untuk menguji seberapa jauh kemampuan bahasa inggris saya. Alhasil, saya harus mengambil 1 mata pelajaran bahasa inggris grade 11 untuk memperbaiki bahasa inggris saya. Untuk sekedar informasi kepada teman-teman, cara assessment untuk CPU ini adalah 70% dari courseworks dan 30% dari ujian. Bulan-bulan pertama saya lewati terasa lumayan berat. Pelajaran yang saya pelajari di CPU dengan SMA sangatlah berbeda. Seringkali terlintas di pikiran saya untuk menyerah. Namun, lama-kelamaan dengan usaha yang tidak pernah pupus dan bantuan teman-teman dan guru-guru di sana, saya akhirnya dapat lulus dari CPU bulan Desember tahun 2013 dengan nilai serta pengalaman yang baik. Dari situ saya belajar, terlepas dari latar belakang apapun kita berasal, asal kita ada kemauan dan tidak malu bertanya, kita pasti bisa berhasil. Ini memang pesan yang kedengaran klise, akan tetapi saya selalu percaya bahwa Tuhan itu sangat menghargai usaha kita. Image may be NSFW.
Clik here to view.

Selesai mengenyam pendidikan foundation, tentu saja saya ingin melanjutkan S1 saya. Setelah melakukan banyak pertimbangan, akhirnya saya memilih untuk melanjutkan S1 di The University of Nottingham Malaysia Campus (UNMC). Saat ini, saya sedang kuliah semester 3, dengan jurusan BA (Hons) Finance, Accounting, and Management. UNMC sendiri memiliki 2 kampus. Kampus pertama berlokasi di Kuala Lumpur. Kampus kedua berlokasi di kota Semenyih, Selangor. Semua program S1 dilaksanakan di kampus Semenyih, sedangkan beberapa program S2 dilaksanakan di kampus Kuala Lumpur.

Image may be NSFW.
Clik here to view.
https://fbcdn-sphotos-g-a.akamaihd.net/hphotos-ak-xpa1/v/t1.0-9/12190995_1642426066025864_2776767087963323555_n.jpg?oh=e1e36dbcd1d20809611aa8927033f450&oe=56F5FF65&__gda__=1455788303_f43854e7f71c6081897788cc07005f3d

Apakah kampus di Malaysia merupakah cabang kampus dari Inggris? Jawabannya: Ya betul, University of Nottingham memiliki 3 kampus yaitu di Inggris, China, dan Malaysia. Sistem pendidikan di kampus di luar Inggris mengikuti sistem pendidikan Inggris. Menurut QS World University Rankings, University of Nottingham berada di peringkat 70 di seluruh dunia untuk tahun 2015 ini (UNMC, 2015). Peringkat ini dinilai bukan sekedar untuk kampus UK, tapi juga mencakup kampus China dan Malaysia. Baru bulan September 2015, UNMC merayakan ulang tahun yang ke-15 di Malaysia.

Ada beberapa hal yang saya pertimbangkan ketika memilih kuliah di UNMC:

  1. Pendidikan berkelas namun dengan biaya yang lebih terjangkau. Contohnya untuk jurusan yang saya ambil, satu tahun biaya kuliah di kampus UK adalah £13,470 untuk murid internasional. Sedangkan, satu tahun biaya Mempunyai kesempatan untuk belajar atau tinggal di luar negeri mungkin merupakan impian dari semua orang, termasuk saya sendiri. Membayangkan bahwa saya bisa tinggal sendiri secara mandiri, berpetualang, mendapatkan kesempatan untuk menjelajahi lingkungan baru dan bertemu orang-orang baru membuat saya gembira. Bisa dibilang saya termasuk segelintir orang yang beruntung karena impian untuk belajar di negera orang tersebut telah terwujudkan. Saya sekarang sedang mengenyam pendidikan S1 saya di Malaysia. Kenapa memilih melanjutkan pendidikan di Malaysia? Apakah belajar di Malaysia menggunakan bahasa melayu? Ini merupakan pertanyaan-pertanyaan standar yang ditanyakan hampir semua orang kepada saya ketika saya memberitahu mereka bahwa saya sekolah di Malaysia.

  2. Nah, apa sebenarnya alasan saya melanjutkan pendidikan di Malaysia? Memang dibandingkan negara-negara lain seperti Amerika, Inggris, Australia, Jerman, dan sebagainya, kedengarannya Malaysia bukan target negara idaman bagi para pelajar asing. Nyatanya, pelajar asing di Malaysia terus meningkat hingga mencapai 110,000 pelajar menjelang akhir tahun ini (The Malaysian Insider, 2015). Alasan utama saya memilih sekolah di Malaysia adalah biaya hidup yang tidak terlalu mahal dibandingkan dengan negara lain. Satu bulan saya hanya menghabiskan sekitar RM1000-1500, termasuk biaya sewa kamar, makan, hiburan, dan lain-lain. Jika kalian berpikir di Malaysia kita hanya akan menggunakan bahasa melayu, itu salah besar. Malaysia merupakan negara yang terdiri dari berbagai suku dan ras. Tiga ras utama yang berada di Malaysia ialah: Melayu, Chinese, dan Indian. Terbayangkah betapa beragam dan menariknya budaya yang ada di Malaysia? Bahasa nasional Malaysia sendiri merupakan bahasa Melayu, namun untuk komunikasi sehari-hari hampir setiap saat kita menggunakan bahasa Inggris terutama di lingkungan kampus.

  3. Saya berasal dari kota kecil di Indonesia. Kampung halaman saya berada di Sungailiat, Bangka Belitung. Di sanalah saya menghabiskan masa kanak-kanak dan remaja saya. Pertama kali saya menginjakkan kaki di Malaysia, yaitu pada bulan Januari tahun 2013. Saat itu, saya akan melanjutkan pendidikan foundation di Taylor’s College Subang Jaya, Malaysia, dengan mengambil jurusan Canadian Pre-University Programme (CPU) selama 2 semester (1 tahun). CPU merupakan sistem pendidikan Ontario yang setara dengan grade 12. Setiap semester kita harus mengambil 3 mata pelajaran grade 12. Jadi, total pelajaran yang harus diambil untuk lulus minimal ialah 6 pelajaran. Selain itu, untuk lulus kita juga harus mengikuti ujian Ontario Literacy Test dari Kanada dan harus melakukan minimal 10 jam volunteer works. Uniknya di CPU, kita bisa memilih mata pelajaran yang kita suka. Jujur, pertama kali saya menjadi pelajar di Taylor’s College, saya merasa sangat amat gugup. Pasalnya, saya bukan dari latar belakang pelajar yang bersekolah di sekolah internasional. Bahkan di kampung halaman saya, tidak ada yang namanya International School. Saya juga tidak mempunyai satu orang keluarga pun di Malaysia, sehingga membuat saya merasa sangat homesick pada saat itu. Saya juga khawatir kalau saya tidak dapat mengikuti pelajaran karena kesulitan dalam bahasa karena 80% total guru saya waktu itu orang Kanada.

  4. Minggu pertama di Taylor’s College, saya harus mengikuti English Placement Test (EPT) terlebih dahulu untuk menguji seberapa jauh kemampuan bahasa inggris saya. Alhasil, saya harus mengambil 1 mata pelajaran bahasa inggris grade 11 untuk memperbaiki bahasa inggris saya. Untuk sekedar informasi kepada teman-teman, cara assessment untuk CPU ini adalah 70% dari courseworks dan 30% dari ujian. Bulan-bulan pertama saya lewati terasa lumayan kuliah di kampus Malaysia adalah RM39,090. Selain itu, biaya hidup di UK jauh lebih mahal dibanding di Malaysia. Kemudian apabila kita mengikuti program pertukaran pelajar selama 1 semester di kampus UK atau China, kita membayar uang kuliah sesuai dengan biaya yang ditetapkan oleh kampus Malaysia bukan kampus yang dituju (tercatat jika kita terdaftar sebagai mahasiswa full-time di Malaysia). Kalian juga bisa mengikuti program pertukaran pelajar ini selama 2 kali, contohnya: tahun kedua semester 1 ke kampus UK, tahun kedua semester 2 ke kampus China. Kemudian tahun ketiga kembali melanjutkan pendidikan di kampus Malaysia. Ini yang banyak teman-teman saya lakukan ketika mereka mengikuti program ini, mereka jadi bisa mengeksplor beragam macam budaya, bertemu dengan banyak orang baru, dan bahkan menjelajahi berbagai negara.

  5. Sistem pendidikan UK yang hanya memerlukan 3 tahun untuk menyelesaikan gelar S1 dan Hons. Ini sangat berbeda dengan sistem pendidikan Indonesia dan US yang rata-rata membutuhkan 4 tahun untuk menyelesaikan S1. Begitu pula dengan sistem pendidikan Australia yang membutuhkan 3 tahun untuk S1 dan 1 tahun khusus untuk gelar Hons. Ini dikarenakan pada sistem pendidikan UK, pelajaran-pelajaran yang mahasiswa pelajari hanya akan fokus pada jurusan yang kita ambil. Otomatis kita bisa lebih cepat lulus 1 tahun dibandingkan teman-teman lain yang harus menempuh 4 tahun pendidikan.

  6. Murid-murid yang berasal dari berbagai macam negara. Ada sekitar 30-40% murid internasional yang aktif menempuh pendidikan di UNMC. Saya mempunyai banyak teman dari negara-negara lain seperti Malaysia, Mauritius, Sri Lanka, China, Pakistan, Kazakhstan, Korea, India, Jepang, dan masih banyak yang lainnya saat kuliah sekarang. Ini melatih kemampuan komunikasi dan juga membuka jendela pikiran saya. Karena kerap kali bertemu dengan orang-orang yang berasal dari latar belakang dan negara yang berbeda, hal ini membantu saya untuk meningkatkan  kemampuan adaptasi dengan lingkungan dan orang baru.

Dari kisah pengalaman saya bersekolah di Malaysia ini, saya berharap dapat membantu dan memberikan informasi kepada teman-teman yang ingin melanjutkan kuliah di Malaysia. Jika ada pertanyaan yang ingin ditanyakan mengenai pengalaman belajar di Malaysia, saya akan sangat senang untuk membantu. Terima kasih telah membaca tulisan saya.

Photos are credited to Author’s private collection.

References:

The Malaysian Insider, (2015). Pelajar Asing di Malaysia Meningkat lebih 100% sejak 2007. [online] The Malaysian Insider. Available at: http://www.themalaysianinsider.com/bahasa/article/pelajar-asing-di-malaysia-meningkat-lebih-100-sejak-2007-kata-najib [Accessed 2 Nov. 2015].

UNMC, (2015). Nottingham Soars in Global University Rankings. [online] The University of Nottingham Malaysia Campus. Available at: http://www.nottingham.edu.my/NewsEvents/News/2015/Nottingham-soars-in-global-university-rankings.aspx [Accessed 2 Nov. 2015].

Pentingnya Riset Sebelum Bertanya

Memasuki pertengahan Maret, linimasa jejaring media sosial saya mulai dipenuhi dengan screenshot email penerimaan mahasiswa untuk program master atau PhD di universitas ternama di luar negeri. Jika anda salah satu dari mereka, saya ucapkan selamat atas keberhasilan anda!

Di saat yang bersamaan, saya juga mulai mendapatkan pertanyaan dari beberapa kawan mengenai proses pendaftaran program studi master. Pertanyaan seperti “Bagaimana sih cara dapat LoA?” atau “Apa sih syarat untuk mendaftar beasiswa LPDP?” sering saya dapatkan dari teman-teman yang bertanya.

Tentunya saya juga sangat senang makin banyak anak muda Indonesia yang berniat untuk meneruskan studi di S2 atau PhD. Tetapi, ada satu hal yang mengganjal di pikiran saya, yaitu mengenai bagaimana pertanyaan ini dilontarkan.

Jenis pertanyaan seperti di atas kadang membuat saya bingung untuk menjawabnya karena pertanyaannya terlalu luas atau informasinya sudah bisa ditemukan secara online. Saya sering menjawab pertanyaan pertama dengansedikit candaan, seperti “Ya, cara pertama untuk mendapatkan LoA adalah mendaftar. Hahaha.”

Menurut saya, pertanyaan seperti ini terlalu luas dan membingungkan yang ditanya. Mengapa? Hal ini karena walaupun ada banyak faktor yang bisa membuat seseorang mendapatkan LoA, satu hal yang pasti adalah tentang bagaimana esai/ motivation letter/ research proposal dirancang sesuai dengan apa yang dicari oleh universitas yang dituju. Hal ini baru bisa diketahui jika anda sendiri yang telah melakukan riset mengenai syarat dan karakteristik universitas tujuan anda.

Seiring dengan makin banyaknya pemuda Indonesia yang kuliah di luar negeri, semakin banyak pula informasi yang sebenarnya dapat ditemukan di blog pribadi atau website seperti Indonesia Mengglobal. Jika anda menyediakan waktu khusus untuk mencari informasi dasar mengenai tips persiapan pendaftaran atau syarat pendaftaran beasiswa, pasti anda bisa menemukannya dengan mudah.

Maka dari itu, bagi saya tahap pertama dari proses pendaftaran studi lanjutan adalah preliminary research atau riset awal mengenai jurusan yang ingin anda tuju; universitas manakah yang terbaik dalam bidang studi yang anda minati, serta apa saja persyaratannya. Lakukan preliminary research ini cukup dengan menyediakan waktu untuk membaca secara seksama informasi dari kampus dan program studi yang anda minati. Dengan anda melakukan preliminary research, anda akan mempunyai gambaran yang lebih jelas mengenai modul yang disediakan oleh universitas, resume dari profesor di departemen yang dituju dan juga research centre yang ada di universitas tersebut. Hal ini bisa anda dapatkan dengan menelusuri website universitas tujuan anda secara menyeluruh, termasuk bagian Frequently Asked Questions (FAQ).

Dengan mengetahui informasi dasar mengenai program dan universitas anda, sekarang anda bisa membuat pertanyaan yang lebih lanjut yang tidak ada di website. Misalnya, seperti sistem belajar-mengajar. Tentunya, anda bisa melihat rating atau survey kepuasan mahasiswa dari setiap mata kuliah. Namun, untuk mengetahuinya secara konkret, anda bisa bertanya kepada mahasiswa yang telah mengalaminya langsung. Selain itu, beberapa jurusan atau kampus mencantumkan lamanya pengalaman kerja sebagai syarat pendaftaran. Anda bisa memvalidasi persyaratan ini dengan bertanya apakah pengalaman kerja merupakan keharusan atau hal yang bisa disarankan.

Tiga alasan pentingnya menanyakan ‘well-thought questions

Pertama, merancang pertanyaan yang spesifik sebenarnya membantu anda untuk mendapatkan jawaban yang lebih jelas dari orang yang anda tanyakan. Ingatlah bahwa jawaban yang jelas berasal dari pertanyaan yang jelas. Ketika pertanyaan yang dilontarkan terlalu luas cakupannya, kemungkinan besar anda akan mendapatkan jawaban yang membingungkan.

Kedua, menanyakan well-thought questions –pertanyaan-pertanyaan yang didasari oleh berbagai pertimbangan- dapat mengantarkan kesan yang lebih baik di mata orang yang anda tanyakan. Kesan yang muncul adalah bahwa anda sungguh-sungguh niat untuk mengambil suatu program dan telah melakukan PR anda untuk mencari informasi sebanyak-banyaknya. Lalu, apa pentingnya menciptakan kesan yang baik di mata sang penerima pertanyaan? Bukan tidak mungkin, anda ingin menjadikan dia mentor, misalnya untuk membantu anda mengecek dan memberikan masukan untuk esai/ research proposal/ motivation letter. Namun jika anda terburu-buru menanyakan informasi dasar yang jelas bisa ditemukan sendiri, anda akan membuat si penjawab pertanyaan berpikir anda malas mencari informasi dan mungkin menjadi ragu untuk menjadi mentor anda.

Ketiga, sebenarnya melakukan riset sebelum bertanya membiasakan diri anda untuk menjadi kritis ketika kuliah. Universitas di UK biasanya membagi kelas menjadi dua sesi, yaitu lecture dan seminar/ tutorial. Pada saat lecture, dosen memberikan kuliah mengenai topik minggu itu secara menyeluruh dan tidak disediakan waktu untuk diskusi atau berdebat. Namun, ketika di seminar, dosen hanya berperan sebagai fasilitator dan mahasiswa-lah yang menggerakkan kelasnya dengan melemparkan pertanyaan-pertanyaan yang berbobot, yang menggelitik nalar dan intelektualitas, berdasarkan buku atau jurnal yang telah dibaca pada minggu tersebut. Di seminar ini tentunya argumentasi kita tidak akan berkembang jika kita hanya menanyakan hal-hal dasar yang sudah dibahas di buku atau pada saat lecture. Mahasiswa diharapkan untuk melakukan riset dan mencerna argumen dasar dari masing-masing buku dan datang ke seminar dengan argumen sendiri mengenai mengapa anda setuju atau tidak setuju dengan tesis si penulis. Ketika anda mempresentasikan suatu topik, di penghujung presentasi anda juga diharapkan untuk membuat daftar pertanyaan yang dapat membuat diskusi kelas lebih menarik.

Selain itu, dosen di universitas kadang hanya menyediakan waktu yang sedikit untuk berkonsultasi secara tatap muka. Misalnya, di Department of International Development, LSE, dalam seminggu saya hanya bisa reservasi waktu konsultasi dengan dosen selama maksimum 20 menit. Bayangkan, jika saya belum melakukan riset mengenai topik disertasi yang saya minati dan saya datang ke dosen dengan hanya menanyakan, “Topik apa ya yang menarik untuk saya tulis?” Tentunya, waktu 20 menit saya akan habis seketika. Maka dari itu, saya biasakan untuk membuat riset dengan membaca buku atau mencari informasi online mengenai pro-kontra suatu topik dan saya siapkan daftar pertanyaan spesifik yang akan saya tanyakan kepada dosen saya.

Intinya, malu bertanya, memang akan sesat di jalan. Namun, sebelum bertanya tidak ada salahnya untuk memastikan bahwa belum ada jawaban yang tersedia. Oleh karena itu, mari bertanya secara kritis dengan riset terlebih dahulu!

 

 

Photo source: The Minor

Q&A: Making a Life out of Melbourne’s Finest Treasure

This week, we are featuring a casual chat with Arief Said, a Mechatronics Engineering and Computer Science graduate from the University of Melbourne, who now works as a Jakarta-based coffee curator after working for years as an engineer in Melbourne.

Image may be NSFW.
Clik here to view.

Arief Said (right), founder of Gordi, and Hendy Yudhistira (left), Gordi’s coffee dealer.

1.     Tell us a bit about yourself. What do you do now?

Basically, I’m a coffee curator. I have established my own coffee roaster, which serves coffees for plenty of cafes in Jakarta. I have also recently founded Gordi, Indonesia’s first coffee subscription that aims to curate and promote the great varieties of coffees in Indonesia using online subscription, Gordi stands to make specialty coffee more available at home. We also hope that this subscription model can be the future of shopping for everything we need.

2.     What did you study and work for before your current venture?

I studied Mechatronics Engineering and Computer Science at the University of Melbourne. After graduation, I work as a subsea pipeline engineer in Melbourne for over 3 years. I was responsible to design and maintain the underwater pipelines’ resistance towards the volatile nature under the sea.

3.     What triggered you to take the huge switch to coffee industry?

I remember after 3 years of working at the company, I had this uneasy feeling where I thought, “Is there more to life than this for me?” So I took a pretty long break back in Indonesia. That was when I met Irfan, the founder of Anomali Coffee. Soon, I was exposed to the fact that there are various types of coffees worthy of exploration. When I got back to Melbourne, I quickly explored the specialty coffee scenes there. At the time, the specialty coffee scene in Melbourne was only recently booming, similar to the coffee scene that we can now see in Jakarta.

The turning point for me was when I attended this event held by the Indonesian Embassy in Melbourne to promote Indonesian coffee in Australia. Those who attended the event were mostly owners of “big names” in Melbourne’s specialty coffee scene, such as St. Ali, Market Lane, and Seven Seeds. Sadly, the Indonesian guy who presented the discussion on Indonesian coffee did not quite grasp the market. He was promoting Robusta coffee as Indonesia’s finest. Mind you, Robusta did not actually make it on the list of specialty coffee; hence, the individuals from Melbourne’s “big names” who attended the event were not impressed. That really was when I thought that we could really do better that this.

4.     How did you shift from being an Engineer to a coffee curator?

Since that “turning point” event, I explored all of the information on Indonesia’s coffee. I also joined some roasting sessions in Melbourne and Brisbane, while I was still doing my engineering work. Finally, I realized that I might as well just dive deep into the specialty coffee scene.  I was really going to quit my job, but my boss decided to grant me a year of unpaid leave instead. I got my first coffee job at Sensory Lab Melbourne, a roasting company under St. Ali group, within 2 weeks after I temporarily quit my engineering job. A year after that, I decided to marry my girlfriend, came back to Indonesia, and founded my own coffee roasting company. Fun fact, my wedding reception was also my roasting company’s soft opening, as I had a stall that served the coffee at my wedding.

5.     What should students explore out of Melbourne, or other cities, to inspire their hope to become an entrepreneur?

One good thing about studying abroad is that how you can immerse yourself in a more advanced and developed market, especially in terms of lifestyle.

You have to use the opportunity to explore and understand what and how they do better than us.

Right now, Indonesia’s middle-class is booming, and consumers are more conscious of their choices of goods and services.

They can tell which one is good, average, or bad. I believe the opportunity in our country is growing. Case in point, it was very hard to find a decent cup of coffee in Jakarta. Nowadays, you can find plenty in many areas of the town.

My last advice is to be sociable. Be respectful of the friends that were there for you during your study abroad days. You never know what might come out of your friendships and acquaintanceships.

6.     Any final advice for university students abroad?

I would say that when you are doing your studies abroad, it is all about building your mindset. You may not immediately notice it, but there will be a huge difference once you’re done with your studies abroad. As you already have the opportunity to live a life outside of your comfort zone, you might as well just be brave and get yourself out there, for whichever career that you aspire to have. I was an engineer, it was my career path, but I believe I could make a difference in the coffee business. So I did it.

Featured image source: www.wallpaperup.com

Article photo provided by Arief Said

Edited by Hadrian Pranjoto


Far Away From Home

There are more than 100 Indonesians living in Pittsburgh. They are students, young professionals, and families. Indonesians, me included, like hanging out over home-cooked foods. The title of this article is a lie; I never felt far away from home.

I came to Pittsburgh in 2012 to pursue my PhD in Materials Science & Engineering at Carnegie Mellon University (CMU). While I had offers from other universities, I eventually chose CMU due to its engineering reputation, its alumni network, and its location (Pittsburgh). To me, these were my top three determining factors when I was weighing all the pros and cons among all of my choices. My advice to all of those who plan to go abroad for college is to come up with your own top three determining factors. And for you to come up with your own top 3 determining factors, you have to roughly know what you want to achieve in life and your future plan 2-3 years ahead.

Reputation of the university I went to was important because it basically means what most people would think of first when they hear the name Carnegie Mellon. This place is very well known in engineering and its computer-related stuffs. CMU also has great pipelines in sending its graduates to companies like Google, Apple, Microsoft, Intel, etc. Its alumni are doing well and spread out in these high tech companies. Some have also founded their own companies or gone back to home countries for their startups. This means that the bridges to these places are already there for you when you look for opportunities after graduation. Remember the quote “you are the average of five people closest to you”? At CMU, I was surrounded by tons of smart and ambitious people. To keep up, I had to work really hard and collaborate with my classmates here. On Saturdays and Sundays, whenever I have nothing going on after I skyped my family and girlfriend, I went back to campus to work. Having said all these, my PhD advisor could tell I was working hard and I always managed to deliver before the deadlines. I always got his permission to go back home to Asia for a month every year.

Since I was joining the PhD program at CMU, I knew that I would be spending at least three years of my life in one city. I was very happy with my choice since I found out that Pittsburgh is a great place to live. Geography-wise, Pittsburgh is 6 hours drive from Chicago, 7 hours drive from New York City, and 4 hours drive from Washington DC (what I am trying to say here is that it is pretty close to other major cities in USA). It is a college town and you will see many students and young professionals here. This is important to me because I like feeling young! Infrastructure is good, rent is affordable (I could save up quite some amount from my PhD salary), spring-summer-fall is excellent (winter is cold and snowy, but I prefer this rather than humid and hot), the city is relatively safe, and the people are friendly. I made a lot of new friends here and I also met many Indonesians here! In my first two years here, I ate crazy amount of Indonesian foods (at first, I thought they were hard to find and I would miss them like mad in USA). We hang out and chat a lot. The annual Indonesian Independence day celebration is a big party here! These things made me forget that I was far away from home.

Going for college is a big investment in your life and career, more so if it takes up few years. You will far away from home and your comfort zones. But you will grow stronger, your horizon will be broadened, and you will appreciate what you have more. For me personally, I am very thankful for the opportunity that I have and I am very eager to share my experience to anyone who is about to embark on similar path. I will be more than happy to talk to you if you have any question. Good luck with your next career move!

 

Life is about courage and going into the unknown” – Secret Life of Walter Mitty

 

Are you an Indonesian and interested to continue your study at Carnegie Mellon University? Let us help you, join here

 

Photo Courtesy: Author’s Collection

I’m Now Accepted, so What?

“Should I just hibernate and wait for the term to start?”

“I thought all the tiring process of university admission is over by now.”

University admission is by no means a process to just slack on, yet getting that acceptance letter is also not the end of the story.

Image may be NSFW.
Clik here to view.

The almost almighty acceptance letter.

There have been some less than fortunate cases due to inadequate preparation such as this case where due to some misunderstanding she needed to take her masters coursework before continuing her PhD, or this case where a visa application was rejected due to lack of adequate intent to return. Though infrequent, even one hiccup is too many for disturbing an otherwise smooth study abroad preparation. On the other hand, it can be mind-numbing to spend the long waiting time with activities such as gaming marathon (though I don’t condone occasional gaming), hibernating, or even continuously staying in the SCE (sleep, code, eat) loop.

Image may be NSFW.
Clik here to view.

One idea posted to my faculty’s T-shirt design contest. Photo courtesy of Eric Leonardo Lim via Computer Engineering Club, NTU.

Fortunately, there are better ways to spend the waiting time before term starts. Nandra has given several valuable tips on managing pre-departure issues, as well as Cecilia for pre- and post-arrival in Melbourne, yet I would like to put some other great ideas for you:

  • Accept (or at least consider) the admission offer.

Almost a no-brainer, but this is actually a very important step, too important not to tell. Miss this, and good bye to the coveted acceptance you’ve (supposedly) got through toil and sweat, or worse, you finally attend a university you don’t really want since you somehow ended up throwing the better university’s offer.

Most university acceptance offers are not binding (that is, you have the luxury of choice should you have some offers at hand) and quite some do not require any deposit payment, so should you think that the offer need to be reconsidered or you hope for any other offer, feel free to do so (but don’t forget to act quick). I do know of one who accepted the offer despite the person looking for other university, and finally the person chose that other university and withdrew the offer acceptance from the earlier university. Not recommended, I know, but as a last ditch effort it’s also something worth considering.

  • Complete post-acceptance procedures.

There are quite some procedures you need to undertake after acceptance, let it be student visa application, financial aid application, or maybe simply photo upload and network account setup. One problem is that universities don’t want to take way too much data except when needed, which therefore puts quite a lot of things to handle after a student is admitted. On the bright side, though, it also put some of the stress away from the application, which I also assume you should have really appreciated.

In addition, some procedures have their own timeline as well as additional requirements such as mailing documents for financial aid application, which also needs some extra care. So you thought you’ll get rid of all those forms upon acceptance? Think again.

 Image may be NSFW.
Clik here to view.

 Image may be NSFW.
Clik here to view.

That much things to do? How about my hibernation plan? At least I don’t need to fill that during application period.

Student visa application is also another thing to mention. While visa application for some countries may not be as complicated as others, applying early always never hurts (provided they already opened the access for such application). In most places, though, student visa application is to some extent work like a sponsorship system where the institution need to give authorization before the student can apply for the visa, let it be solely through admission offer letter, or for example in the case of United Kingdom, a form confirming acceptance of study. Should that mess up even though it’s supposed to be provided at that time, do contact the university immediately.

 Image may be NSFW.
Clik here to view.

Fill the form online, upload your photo, pay application fee, and wait. Copy of student visa application form for Singapore.
  • Join to-be freshmen groups.

It’s always nice to know some people with the same fate (aka accepted in the same university/school) as you before you depart. Those groups can prove to be handy, such as when searching for future roommate(s), looking for orientations to attend, or even asking general information on student life. The (usually) friendly seniors who are there also tend to be quite helpful, preventing cases where the blind leads the blind.

Image may be NSFW.
Clik here to view.

Groups like that may be helpful, so do make use of it wisely. Screenshot of the group of (previously) to-be freshmen group for Indonesian students in NTU for my batch.

There are a few things you can also do to make better use of those groups:

    • Get to know to-be seniors and freshmen in the group. Chances are you don’t want to move to a campus without knowing every single person there, so it will be very nice to at least know a handful of people. This actually can happen naturally during classes or various activities after you start studying, however it’s always better to start early since there may be some chance of missing out due to the so-called cliques formed during orientation before university/school starts should you decide to let the get-to-know process happen naturally later on.
    • Join activities. There are quite some specific groups of freshmen (ex.: by nationality, by faculty, or simply interest groups), and joining their activities, especially orientation activities, may be quite a lot of fun and provide you with a better way to bond with others in those activities. In addition, people tend to bond by common factor, which is also one of the reasons on why you shouldn’t miss the non-academic offerings on the campus.
    • Learn about the culture at the destination, either from asking or overhearing. I heard of someone whose parents thought that since NTU is a quite reputable university, he departed with a lot of more formal clothes only to find that a lot of us wear T-shirts (and for some, shorts) to classes on a daily basis. That kind of inconvenience can be avoided had he knew a bit more of the normal attire (and the culture in general) of the university. On a side note how many people do you see wear T-shirt in this video?
  • Do well in whatever you have in hand now (or maybe get something interesting to wait).

Some people think getting the university offer means that they’re free to simply leave their responsibilities and just do some so-called YOLO stuffs (high schoolers, I’m looking at you). The fact is, no, you can’t simply throw your responsibilities like academic caps when you graduate. There are two key reasons for this:

    • Some universities provide a conditional offer (that is, an offer that becomes firm once you fulfill the condition mentioned, such as high school examination marks). Flunk the requirement, and the offer is as bad as if you don’t accept the offer until the deadline.
    • Safety choices are still necessary even if you have accepted the current offer. For an example, if you plan to study at an university which charge a quite high fee yet suddenly some things happen and you can’t pay up for your study, well, there ought to be some other choices.

 Image may be NSFW.
Clik here to view.

Examination shouldn’t be affected by any admission offer. Photo courtesy of Thomas Galvez.

As you prepare for your eventual departure, you may also want to do some things such as working or learning language (thank you, Citra, for the suggestion!), just to keep your mind sharp and great to go by the time you study. Did I say they can be some great additions to fill the otherwise wide gap on resume?

  • Prepare for packing.

It may be still quite early, but preparing for packing before departure never gets old. The ample time allows for budget preparation as well as price research, which eventually should help you decrease your budget (and hopefully luggage weight). Hefty bills for buying so many items or gruesome exercises at gym before departure (because your luggage is going to be even heavier than what Superman can take) are among the later things you want to kick-start your trip, so take time and thoroughly find how things are going to work. I also put several simple tips for packing in my previous article, do check it out here.

To answer the question on the start of this article, I’m sorry to say that hibernating isn’t feasible, at least not as long as what some bears do (contrary to popular belief, though, polar bears don’t hibernate). The sheer joy of being accepted, in my view, should be meant as a motivation to do better in whatever you are doing instead of an excuse to take a very long rest since there are still a lot of things waiting ahead to be done after getting that coveted letter.

See you on the next column!

 

All photos are taken by me except otherwise stated.

Hungary: Where My Story Begins

Image may be NSFW.
Clik here to view.

Inspired by my grandfather and mother who studied abroad in America and Europe,  a new roll on my bucket list is added; to study abroad. Born and raised in Indonesia as well as studied in non-governmental school had also opened my eyes about the diversity of people and human experiences. By the time, I became more curious about the world, and one day I found a window to make one of my dreams came true. It is an exchange student programme offered by American Field Service (AFS), a non-profit and non-governmental organization giving the young generation a chance to promote peace by sending them abroad and experience different culture. Alhamdulillah, afterfollowing the process of selection, my chapter president announced that I would be hosted in Hungary. It was quite unexpected for me because Hungary is not very well-known by Indonesians and some of my friends were even mistaken thinking that it is located in Africa. I myself was not sure if Hungary did exist and located in the Eastern Europe until that day of announcement. All surprises aside, I was totally over the moon and thought how lucky I was to finally get into the programme. My father, though, was anxious to let me live in an ex-USSR country, but then he trusted and supported me for the choices that I have made.

My departure time finally came and I was the only candidate sent from Indonesia to Hungary that year. After sitting for more than 14 hours from Jakarta-Singapore-Turkey-Budapest, I finally met the Hungarians face to face. The volunteer, who had been my contact person prior to my departure, hugged me tight and kissed my cheek (which is culturally new for me). My first impression about Europe was not like what I was expecting. I knew if they give lot of hug (based on movies I’ve seen), but I never thought if they were profoundly warm  to new people, and thus gave excellent hospitality.

Image may be NSFW.
Clik here to view.

Hungarians are one of the nicest people!

After orientation camp, my host family picked me up and funnily,they said that I was too small that they confused how to hug me. Physically, Hungarians are bigger than Indonesians, and this is because they are rooted from the Hun tribe of Mongolia. Furthermore, in terms of language people told me that Hungarian is one of the mostdifficult languages in the world. I was terrified and amazed by this at the same time. At the beginning, I found it was kind of challenging to say “Hello” for saying goodbye. Yes, in Hungarian, they use the word Szia (read: Si ya) for greeting and Hello for saying goodbye. As days passed by, I got used to it well as my host mom andbrother also spoke English and they helped me t learn Hungarian I was hosted in a little village 27 km from Székesféhervár called Vereb. Basically, it is a little village located near the access connecting Budapest (the capital city) and one of the oldest cities in Hungary, Szekesfehervar. It consists of less than 1000 people, so almost everybody knows everyone; even me who lived with them for less than 1 year. Every morning, I always had someone to talk to in the bus station or on the way to the bus station. People there were also openhanded;  if there’s no egg at home I could easily ask ones from my neighbours. Mostly, they built their own house, and it was not because they were poor, but only because it was a common thing to do in the region. There were also lot of fields where they mostly grew wheat and  sunflowers and another kind of oil-producing flowers.

Being accepted in Kértai family is another thing that I am thankful for during this programme. I stayed in a lovely room where I could see sunflower garden and stars scattered around the sky from the window. My family’s host also got a large garden in their yard where we could harvest various fruits and vegetables together and make bottles of jam and wine. I was so shocked to learn that they had hundreds bottles ofjam in their garage. They had been wonderful during my time in the town and made me felt like I was home. I called my host parents Apa and Anya and heartwarmingly, we always gave each other hugs and said Szeretlek (I love you) everyday. There were also some house rules I should comply to; 1) if I had any problems, I had got to share it with them 2) to be careful and 3) to be happy! It may sound simple, but actually, it was quite hard to do. I also had my private chef, Apa, who loved cooking and made me so addicted to his delicious dishes. In the first month, I was so glad knowing that Hungarian people also eat rice, (although not as much as we do) and enjoy big meals! I could not bear eating that much at the first time as I was used to the Indonesian-styled main-course-only meal time. There, they have appetizer, which is (a-l-w-a-y-s) soup, main course and dessert. I once even ate a quarter of watermelon myself.

In Hungary, I also learnt to be independent and for the first time in my life, I traveled by bus and train by myself, everyday! Although my school started at 8 o’clock, I had to wake up at 05.30 AM because I needed almost one hour to get into the city and wait for my next bus. My school’s name was Lánczos Kornél Gimnázium (LKG) and there were three other AFS students – a boy from Turkey and two girls each from Thailand and Russia-  studying in this school. We wore uniform only in special occasion and always had 15 minutes break after the end of a subject. Therefore, if  within one day I got 6 subjects, I would have 5 time of breaks (yeay!). Also, we had P.E. (Physical Education) three times a week. This almost uniform-free school felt kind of strange, though and missed wearing uniform to school. Sometimes I was crazy about what else I was going to wear to school. Every Thursday, all of the exchange students in my chapter go to my school. There are 15 exchange students (from Italy, Poland, Guatemala, Costa Rica, Japan, Hongkong, Thailand, Turkey, Russia and  Germany) who were hosted in my chapter, and on the Thursdays we were required to learn Hungarian language.

Image may be NSFW.
Clik here to view.

Making new friends coming from different cultural background

The class was taught by  Váli Neni, a German teacher who had dedicated her life for 15 years teaching exchange students Hungarian and he class was taught in 100% Hungarian!

Living in the heart of Europe that is also famous with its musical grandeur also excited me to learn more about its culture and tradition.

Image may be NSFW.
Clik here to view.

Thus, I started to learn violin at a music school located in the central of Székesféhervár and joined the dance class as well.

After all, nobody said it was easy to live in a completely different society and environment Yet, I have got to learn to be more mature, to respect differences, to value time and to strive to be happy even in the hardest moments.

Image may be NSFW.
Clik here to view.

Thank you, Hungary, for the marvelous year!

Apart from the differences, Hungarian people are kind, warm and convivial. They accept new people easily and help us go through the exchange year and immerse ourselves in the culture. Everyday was always new and highly memorable to me during 1-year stay in Hungary.

 

Photos courtesy of Aulia Ananditia

From Accounting to Pastry: Follow Your Passion!

In 2009, I came to Melbourne, Australia, the city where I currently live.

After completing my Foundation Studies at Trinity College in the same year, I was not exactly sure what I want to be my major at university. Considering that I really liked mathematics in high school, I decided to enroll into the Faculty of Business and Economics at the University of Melbourne, majoring in Accounting and Finance.

I chose Accounting and Finance as my major thinking I would be dealing almost exclusively with numbers all the way. Well, I wasn’t exactly wrong until my second year when all the heavily-theoretical subjects suddenly started to appear on my timetable. Although it did not make me instantly hate accounting, there was some doubt whether this was the right path for me. Being a wise parent as always, my mom asked me to try the professional accountant life first and see where it went from there.

Fast forward to a couple of months after graduation, I managed to get a job as an accountant at a manufacturing company where I spent several months. Not long after that, I left for another job as a tax accountant at a Public Practice in South Yarra, a suburb in Melbourne. “Not bad,” I thought. The first few months were very exciting like exploring a treasure map, which really motivated me to learn and stay in the office as long as I have to finish my job. However, after about 1.5 years working there, I began to feel that there was something missing. I felt that accounting did not really provide me with the impetus I needed to excel professionally.

Being an avid culinary enthusiast, I love baking as much as I love eating. Several years ago, baking was merely a pastime activity for me. In 2014, however, as I found myself spending more and more time baking, I started selling some of my cakes to close family and friends. Many people around me proposed the idea of doing this full-time, which prompted me to start thinking about being a pastry chef seriously. To gather a second opinion, I consulted my parents and although they were supportive, they were not 100% thrilled about the idea.

Therefore, I decided to gain some hands-on experience to gain more perspectives and help me make a decision. I was still working full-time in the office when I landed a side weekend stint at a pastry kitchen for 4 consecutive weeks. However, I was still unsure afterwards so I postponed the idea until last year when I quitted my job.

To qualify as a pastry chef in Australia, you have to either go to a pastry school or undergo a pastry apprenticeship. Ultimately, I opted for the former because it requires less time than an apprenticeship, which takes three or more years to complete.

One main hurdle is that going to pastry school is just as expensive as going to a university. After doing some research, I narrowed my shortlist down to just three candidates. First, it was Ferrandi Paris, which I came across from their student blog. The cakes they made, the French chefs they met, the pastries they ate, I really wanted to experience all of those. On the other hand, the tuition fee was really expensive and the living costs in Paris were even steeper than Melbourne.

The next school on my list was the Le Cordon Bleu Sydney. The school is well-known as one of the, if not the best, culinary schools in Australia. The tuition fee was quite similar to Ferrandi and I would have to move to Sydney, which I did not really mind.

My last option was to go to the William Angliss Institute in Melbourne. The tuition fee was cheaper and the school is located within walking distance from my apartment. Although the school is really well-regarded in Melbourne, I was still unsure so I decided to wait for few months.

Image may be NSFW.
Clik here to view.
clarinna wijaya pastry chef kitkat studio melbourne

Author at the Kit Kat Studio Melbourne

In the meanwhile, I applied for several jobs and succeeded in landing a Chocolatier position at the Kitkat Studio in Melbourne, a three-months-long pop up store installation. During this stint I experienced first-hand how tiring being a Pastry Chef could be.

It was totally not all clean and glorified like what you usually see on Masterchef. We had to wash all the dishes, then clean and polish hundreds of chocolate moulds. Nevertheless, I learned many great things and even met workmates from William Angliss who encouraged me to enroll into the pastry course at their institute. Thanks to them, now I am officially a Patisserie (Pastry) student.

Image may be NSFW.
Clik here to view.
clarinna wijaya pastry chef william angliss insitute melbourne

Author at the William Angliss Institute

This is my second month at the William Angliss Institute and so far I am loving every single second of it. All my teachers are really experienced and keen to help us. Almost everyone in my class is active, enthusiastic, and highly-inquisitive. Moreover, the kitchens where our practical classes are conducted are very well-equipped. They have everything, including the blast-chillers and dough-breakers.

When people say it is never too late to learn something new, they are right. Most of my classmates came from other professions and backgrounds, such as architecture and design. What I found interesting is that some people have even had children as old as me; therefore the conclusion is that I shouldn’t regret having to spend several years in accounting first.

To be completely frank with you, I am not sure whether I will be a great Pastry Chef or if I will do this for the rest of my life. Regardless, I am willing to take the chance.

Lastly, if you desire a career change, do not forget to do some research and gain some valuable hands-on experience beforehand. Remember that doing your hobby for several hours is completely different from doing it as a full-time job.

 

All photos were provided by the author

Edited by Hadrian Pranjoto

Kuliah Master’s Degree di Aarhus University, Denmark

Banyak yang bertanya ke saya, mengapa saya memilih untuk kuliah di Aarhus University, Denmark. Pada artikel saya bulan lalu, tentang “Kenapa Denmark?” di artikel tersebut telah dipaparkan tentang beberapa hal-hal unik yang membuat Denmark berbeda dari negara lain sebagai tempat mengenyam pendidikan maupun tempat untuk tinggal. Dalam kesempatan kali ini saya akan membahas lebih spesifik tentang Aarhus University dan bagaimana saya bisa kuliah di Aarhus University.

Image may be NSFW.
Clik here to view.

Sedikit tentang Denmark

Orang-orang Danish maupun warga asing non-Danish yang saya temui di Denmark juga sering kali bertanya ke saya bagaimana saya bisa ke Denmark dan apa saya tahu tentang Denmark ketika saya masih di Indonesia. Saya rasa bagi orang Indonesia yang belum pernah ke Denmark kebanyakan dari mereka akan menganalogikan Denmark dengan butter cookies dan Danish pastry (which is not wrong at all, as these are delicious!). Sebagian yang lain tahu tentang beberapa perusahaan yang berasal dari Denmark, misalnya Maersk atau LEGO (ya, LEGO berasal dari Denmark, bukan Inggris atau Amerika). Selain hal yang saya sebutkan di atas, banyak hal-hal lain yang menarik tentang Denmark, misalnya Denmark sebagai negara paling bahagia di dunia berdasarkan survey, kerajaan di Denmark sebagai kerajaan tertua di Eropa, arsitektur, fesyen, dan desain ala Denmark yang minimalis tapi elegan dan berkualitas tinggi, dan masih banyak hal lainnya lagi. Sebelum saya pindah ke Denmark, saya sudah mengetahui bahwa Denmark adalah“The World’s Happiest Nation” dan bahwa dunia modenya terbilang unik dan menarik. Mengetahui bahwa Denmark adalah negara paling bahagia di dunia memicu saya untuk membaca atau mencari tahu hal-hal lainnya mengenai Denmark, dan ternyata sangat banyak hal-hal positif, misalnya “work-life balance” yang sangat baik (rata-rata jam kerja kantor adalah jam 8-16) dan bahwa negara ini sangatlah aman dengan tingkat kriminalitas yang sangat amat rendah (Alhamdulillah, sampai sekarang saya tidak pernah bertemu orang yang berniat jahat maupun kehilangan barang sama sekali meskipun saya berjalan kaki sendirian di malam hari).


Kemudian, kenapa pilih Aarhus?

Sampai kemudian, saya menemukan artikel tentang beasiswa di Aarhus University pada awal 2014 ketika saya berencana melanjutkan kuliah ke jenjang S2, dan kemudian saya membaca lebih mengenai Aarhus University. Setelah saya baca lebih lanjut, saya mengetahui bahwa meskipun Denmark tidak menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa utama (bahasa utamanya adalah Danish), di Denmark dan di Aarhus University khususnya, sangat banyak program S2 yang menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar. Hal ini berarti semua materi program dan ujian menggunakan bahasa Inggris dan semua percakapan di dalam kelas juga menggunakan bahasa Inggris. Ketika membaca tentang Aarhus University, saya jadi mengetahui bahwa Aarhus University masuk ke dalam jajaran Top 100 Universities di dunia.

Setelah membaca banyak hal positif mengenai Denmark dan Aarhus University, saya mencari program S2 yang sesuai dengan minat dan latar belakang saya yaitu komunikasi, karena saya kuliah S1 Ilmu Komunikasi di Universitas Indonesia hingga kemudian saya menemukan program MA in Corporate Communication di Aarhus University di Fakultas School of Business and Social Sciences. Yang saya lakukan kemudian adalah mendaftar ke Aarhus University dengan memilih 4 program seingat saya dan melengkapi persyaratan tentunya, yaitu transkrip S1, CV, sertifikat IELTS, dan mengisi formulir. Untuk persyaratan tahun ini, mungkin bisa sedikit berbeda, jadi harap mengecek lagi. Untuk mendapatkan beasiswa, mereka menyatakan bahwa calon mahasiswa hanya perlu mendaftar untuk programnya saja dan apabila aplikasinya dinilai bagus dan layak mendapatkan beasiswa, maka mereka akan diberi beasiswa penuh yang meliputi biaya kuliah dan uang saku setiap bulan. Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai beasiswa di Aarhus University dapat dilihat di link ini http://kandidat.au.dk/en/admission/tuitionfees/

Kemudian setelah mendaftar beberapa program di Aarhus University, kita akan mendengar kabar di program mana kita diterima dan saya diterima di program yang saya inginkan, yaitu MA in Corporate Communication dengan email terpisah yang menyatakan bahwa saya diberikan beasiswa untuk kuliah di program tersebut. Lalu bagaimanakah sistem belajar dan suasana di Aarhus dan Aarhus University?

Kota Pelajar di Denmark

Aarhus adalah kota pelajar di Denmark di mana sangat banyak mahasiswa yang kuliah di kota ini, termasuk mahasiswa asing dari berbagai macam negara (kebanyakan mahasiswa asing berasal dari negara lain di Eropa karena kuliah di Denmark yang bebas biaya untuk warga negara EU). Populasi di Aarhus didominasi oleh orang berusia muda dan sangat banyak aktivitas untuk mahasiswa, baik workshops, seminars, maupun parties. Asrama mahasiswa di Aarhus jumlahnya sangat banyak dan seringkali asrama-asrama ini mengadakan parties.

Research-Based Teaching

Kuliah di Aarhus University, khususnya di jenjang S2 menekankan pada riset dengan banyak paper researches atau journals yang harus dipelajari untuk menguasai mata kuliah. Di program tempat saya belajar sejak semester 1 sudah diajarkan mengenai riset dan di beberapa mata kuliah ujiannya adalah membuat paper yang berdasarkan riset ilmiah. Untuk mahasiswa yang ketika S1-nya tidak sering membuat paper dan melakukan riset, tentunya hal ini bisa menjadi kendala atau mereka dapat menemukan kesulitan, tapi jangan khawatir karena di beberapa mata kuliah dengan ujian menulis paper, untuk pengerjaan satu paper terkadang dapat dikerjakan oleh 2 mahasiswa. Jadi selain menekankan pentingnya riset, Aarhus University dan banyak universitas di Denmark lainnya mendorong pengalaman kerja atau studi di dalam grup. Selain itu, perpustakaan kampus juga berlangganan jurnal internasional dari berbagai bidang studi yang tak terhitung jumlahnya. Di perpustakaan Aarhus University juga menawarkan workshop gratis untuk mencari literatur bagi mahasiswa dan pustakawannya juga sangat bersahabat.

Keamanan dan Kesetaraan

Seperti saya jelaskan sebelumnya di atas bahwa di Denmark sangatlah aman, keamanan juga mencakup keamanan di lalu lintas. Pengemudi kendaraan bermotor sangat hati-hati dan jumlah kecelakaan di Denmark termasuk paling rendah di Eropa. Kebanyakan orang di Denmark berkendara menggunakan sepeda, termasuk Pangeran dan Putri dari Kerajaan! (Crown Prince Frederik dan istrinya, Crown Princess Mary). Mengetahui bahwa Pangeran dan Putri saja naik sepeda menunjukkan bahwa di Denmark kesetaraan sosial sangat dijunjung tinggi, dan memang dilakukan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam dunia perkuliahan, percakapan ke dosen bersifat kasual dan tidak kaku. Mahasiswa bebas bertanya kepada dosen mengenai perkuliahan dan bahkan apabila mereka kurang setuju dengan argumen dosen, menyanggah adalah hal yang sangat lumrah.

Konsultasi Karier Gratis

Hal satu ini adalah favorit saya. Di Aarhus University terdapat Aarhus University Career Centre atau di fakultas saya terdapat pula Aarhus BSS Career yang menawarkan konsultasi karier gratis meliputi pengecekan CV dan application letter gratis dan juga mereka akan memberikan saran tentang bagaimana kita meningkatkan kualitas CV dan application letter kita saat melamar pekerjaan di perusahaan. Hal ini dapat dilakukan dengan ‘membooking’ satu sesi untuk konsultasi yang bersifat privat. Selain itu, konsultan karier di sana juga akan memberikan tips-tips interview dan saran-saran berguna lainnya. Career Centre di Aarhus University juga sangat sering mengadakan ‘career-related events’ termasuk company dating atau job fair. Beberapa events tersebut dapat ditemukan di sini untuk Fakultas Bisnis misalnya http://studerende.au.dk/en/career/bss/events/.

 

Image may be NSFW.
Clik here to view.

University Park, Aarhus University

Kampus dengan Fasilitas Modern dan Taman Cantik

Fasilitas perkuliahan di Aarhus University sangatlah modern. Semua ruangan dilengkapi proyektor dan mahasiswa di kebanyakan fakultas bisa ‘membooking’ ruangan! Memesan ruangan untuk keperluan pribadi juga termasuk, yaitu misalnya mahasiswa akan mengadakan rapat, belajar kelompok, belajar pribadi, maupun misalnya ibadah, seperti yang pernah saya lakukan. Selain itu, perpustakaan pusat memberikan fasilitas luar biasa, dari mesin fotocopy dan scanner, computer, ruang belajar ‘silent’, kantin dengan menu lezat, mesin kopi yang canggih, kursi pijat, piano elektrik, hingga play station! Bukan hanya teknologi saja yang diunggulkan, taman di kampus sangat cantik terutama ketika musim panas dengan rumput hijau, pepohonan rindang, danau dengan bebek-bebek yang berenang, dan taman ini sangat bersih dan aman.

Sekian dulu cerita dari saya. Bagi mahasiswa perempuan yang menimba ilmu seorang diri di negara asing, keamanan dan kesetaraan sangatlah penting. Selain itu, belajar di kampus berkualitas dan ranking dunia yang tinggi juga akan mempermudah kita untuk mendapatkan ‘network’ berkualitas selain memperluas wawasan internasional kita. Meskipun kebanyakan mahasiswa Indonesia belajar di negara berbahasa Inggris seperti Australia, Inggris, Amerika, dan Singapura, bagi saya untuk kuliah di Denmark justru menambah wawasan saya untuk belajar bahasa lokal karena untuk semua pendatang yang memiliki ijin tinggal diberikan fasilitas kursus bahasa Danish secara gratis. Selain itu, terdapat kemudahan lain karena warga lokal Denmark, khususnya mahasiswa dan profesional sangat lancar berbahasa Inggris. Untuk mengetahui lebih lanjut tentang Aarhus University bisa dilihat di www.au.dk dan untuk belajar di Denmark secara general dapat dilihat di http://studyindenmark.dk/.

 

Photo credit: Author’s collection

Pemilihan Program MBA (Bagian Pertama)

Halo para pembaca Indonesia Mengglobal, kenalkan nama saya Iswara Gozali. Saat ini saya bekerja di Appota, sebuah perusahaan mobile apps distribution. Sebelumnya, saya adalah seorang business process analyst di Asia Pulp & Paper dari tahun 2012 hingga 2014 dan pernah bekerja sebagai programmer di GO-JEK pada tahun 2011. Saya lulus dari Monash University dengan jurusan ilmu komputer (Bachelor of Computer Science) pada tahun 2011.

Saat ini saya telah mendapatkan unconditional letter of acceptance (LoA) dari program MBA Johnson Cornell Tech di New York City dan saya ingin berbagi cerita saya di sini dengan harapan bisa membantu kalian yang berminat mendapatkan gelar Master of Business Administration (MBA) dari luar negeri. Artikel ini akan dibagi menjadi 2 bagian. Bagian pertama akan bercerita mengenai proses pemilihan sekolah dan bagian kedua akan bercerita mengenai proses aplikasi saya.

Image may be NSFW.
Clik here to view.
Go-Jek CEO Nadiem Makarim

Go-Jek CEO Nadiem Makarim
Source: idntimes.com

Pengalaman saya berkecimpung di dunia teknologi dan menyaksikan langsung bagaimana GO-JEK membantu memecahkan masalah transportasi di Jakarta dan bagaimana Appota membantu perusahaan mobile game memonetisasi produk mereka melalui teknologi menginspirasi saya untuk melakukan hal yang sama di masa mendatang.

Ketika salah satu anggota keluarga saya kehilangan uang yang cukup besar karena investasi skema piramid, saya menjadi tertarik mendalami dunia teknologi keuangan atau yang lazim disebut FinTech yang menurut saya bisa membantu memerangi praktek investasi gadungan di Indonesia. Aspirasi saya di masa mendatang adalah membuat sebuah perusahaan FinTech di Indonesia yang dapat membantu masyarakat Indonesia di bidang investasi pribadi sehingga kejadian seperti yang menimpa keluarga saya itu dapat dicegah.

Aspirasi karir saya inilah yang membuat saya tertarik untuk mencari sebuah program MBA yang bisa membantu aspirasi karir saya tersebut dengan cara memperdalam pengertian ilmu keuangan saya dan juga mengembangkan kemampuan manajerial produk teknologi saya. Selain itu, saya juga yakin program MBA akan sangat berguna memperluas koneksi kita entah itu untuk membantu mencari mencari rekan bisnis atau investor untuk perusahaan kita.

Image may be NSFW.
Clik here to view.
Harvard Business School

Harvard Business School
Source: www.thecrimson.com

Jujur saja pilihan sekolah saya ketika pertama kali ingin mengambil Master of Business Administration adalah Harvard Business School (HBS) yang merupakan alma mater dari CEO GO-JEK, yaitu Nadiem Makarim. Melihat susahnya memasuki program MBA Harvard yang hanya menerima 1 dari 10 applicant tiap tahunnya, saya memutuskan untuk mencari tahu mengenai jasa konsultasi MBA untuk memperbesar peluang saya diterima.

Ada tiga kriteria saya dalam memilih sebuah konsultan MBA; lokasi, kualitas konsultan, dan cakupan layanan yang ditawarkan. Saya mencari konsultan MBA yang lokasinya dekat untuk memudahkan komunikasi saya dengan mereka. Saya juga mencari konsultan MBA dengan tenaga konsultan yang terdiri dari alumni Indonesia lulusan program MBA top dunia seperti University of California, Los Angeles (UCLA) Anderson dan Massachusetts Institute of Technology (MIT) Sloan. Terakhir, saya mencari konsultan yang menawarkan layanan yang lengkap, mulai dari persiapan tes seperti Graduate Management Admission Test (GMAT) dan Graduate Record Examination (GRE) hingga ke penulisan esai sekolah.

Manfaat pertama yang saya rasakan dari sebuah konsultan MBA berpengalaman adalah kemampuan mereka menilai peluang saya diterima di sebuah program MBA. Kompetisi di antara para applicant sekolah bisnis ternama seperti Harvard sangatlah ketat dan kadang ada hal-hal yang sudah tidak bisa kita ubah yang bisa dibilang membuat peluang kita diterima menjadi hampir mustahil. Beberapa contohnya adalah pengalaman kerja yang lemah atau IPK yang rendah. Penilaian dari konsultan MBA yang saya gunakan membuat saya lebih realistis dengan pilihan sekolah saya dan tidak terlalu terpaku dengan ranking MBA. Kalian dapat membaca artikel lain yang saya tulis mengenai bagaimana peran ranking MBA dalam menentukan pilihan sekolah dan berubahnya pola pikir saya mengenai ranking MBA seiring berjalannya waktu di sini.

Image may be NSFW.
Clik here to view.
Cornell Tech New Campus on Roosevelt Island

Cornell Tech New Campus on Roosevelt Island
Source: tech.cornell.edu

Saya disarankan untuk mendaftar ke program MBA Johnson Cornell Tech di New York berdasarkan tiga alasan berikut; metode pengajaran, kesempatan berinteraksi dengan banyak perusahaan FinTech, dan juga penghematan biaya. Metode pengajaran Cornell Tech dirancang sangat praktis. Mahasiswa diwajibkan untuk membuat sebuah produk teknologi di dalam proyek sekolah di mana produk tersebut akan menentukan nilai kita. Hal ini berbeda dengan tugas mahasiswa program MBA tradisional yang biasanya hanya sebatas pada presentasi strategi bisnis ke klien. New York City juga merupakan pusat FinTech di Amerika selain Silicon Valley dan merupakan lokasi kantor pusat dari Betterment, salah satu perusahaan FinTech yang paling besar di Amerika Serikat. Terakhir adalah penghematan biaya dan waktu yang bisa saya dapatkan karena program MBA Cornell Tech hanya memakan waktu setahun. Walaupun awalnya sempat meragukan Cornell Tech, saya akhirnya menerima saran tersebut.

Keputusan itu berbuah manis ketika saya menerima Letter of Acceptance (LoA) dari Johnson Cornell Tech. Tanpa panduan sebuah konsultan MBA berpengalaman yang lebih paham mengenai seluk beluk program MBA, saya yakin tidak akan melirik sebuah program MBA seperti Cornell Tech yang bahkan belum masuk di ranking MBA manapun walaupun program ini merupakan MBA yang paling cocok dengan profil dan aspirasi karir saya dibandingkan dengan universitas lain yang memiliki ranking MBA yang lebih tinggi.

Nantikan lanjutan artikel saya ini di mana saya akan bercerita mengenai proses aplikasi saya ke Cornell Tech ya.

 

Photo Courtesy: yelp.comidntimes.comwww.thecrimson.comtech.cornell.edu

Belajar Linguistik di Taiwan: Apa dan Mengapa?

Salam hangat teman-teman pembaca blog Indonesia Mengglobal. Melalui tulisan ini saya ingin membagi pengalaman pribadi saya saat mempelajari linguistik di Taiwan, salah satu negara berbahasa Mandarin yang letaknya tidak jauh dari pulau paling utara Indonesia.

Tahun 2014, saya lulus dari Program Studi Cina FIB UI setelah sebelumnya sempat belajar selama setahun di Chinese Language Center National Chengchi University (CLC NCCU) dengan beasiswa “Huayu Enrichment Scholarship” yang disponsori Kementerian Pendidikan Taiwan. Saat ini, saya sedang menjalani studi magister di Graduate Institute of Linguistics National Taiwan University (GIL NTU) dengan beasiswa “Taiwan Scholarship” dari sponsor yang sama.

Menilik latar belakang saya sebagai lulusan Program Studi Cina, tentu tidak mengherankan bila saya melanjutkan studi di Taiwan, karena Taiwan adalah salah satu negara yang bahasa resminya Bahasa Mandarin. Kalau kata teman-teman saya, “Kan bisa sekalian memperlancar Bahasa Mandarin!”. Ya, itu memang ada benarnya. Namun sebenarnya saya punya alasan lain untuk menjawab pertanyaan “Mengapa Taiwan?”, atau lebih spesifiknya, “Mengapa GIL NTU?”

Fokus Kajian

Ada 2 bidang yang menjadi fokus kajian GIL NTU, yaitu Bahasa Mandarin dan bahasa-bahasa Austronesia yang ada di Taiwan, atau yang dikenal dengan istilah Formosan languages atau bahasa-bahasa Formosa. Sebelumnya perlu diketahui bahwa Taiwan sebenarnya juga memiliki keanekaragaman bahasa. Di samping Mandarin yang merupakan bahasa resmi serta beberapa bahasa lain yang masih terhitung dekat seperti Hakka dan Hokkian Taiwan (Min Selatan), ternyata ada juga bahasa-bahasa lain yang dituturkan suku asli pulau ini, seperti Atayal, Bunun, Amis, Kanakanavu, Kavalan, Saisiyat, dsb. Menariknya, bahasa-bahasa ini sebenarnya masih satu keluarga dengan Bahasa Indonesia, Bahasa Melayu, dan bahasa-bahasa daerah lain di Indonesia, seperti Bahasa Jawa, Bahasa Bali, Bahasa Minang, Bahasa Bugis, dll. Mereka semua termasuk dalam rumpun Bahasa Austronesia. Posisi bahasa-bahasa Austonesia yang ada di Taiwan menjadi penting sebab mereka semua termasuk dalam 9 subkelompok utama dari induk keluarga bahasa Austronesia (Proto Austronesian atau PAn), sedangkan bahasa-bahasa Austronesia lain yang berada di luar pulau Taiwan termasuk ke dalam 1 subkelompok utama lain, yaitu Melayu-Polinesia. Pengetahuan mengenai bahasa-bahasa Austronesia yang ada di Taiwan inilah yang saya perlukan untuk mendukung penelitian mengenai akar kata (etimologi) yang sementara saya kerjakan dalam tim yang dibentuk Badan Bahasa Kemdikbud dengan Laboratorium Leksikologi-Leksikografi Departemen Linguistik FIB UI.

Pendekatan yang Dipakai

Di samping itu, GIL NTU menggunakan pendekatan kognitif yang menempatkan pengetahuan bahasa sebagai bagian dari kognisi atau kemampuan berpikir manusia. Perilaku berbahasa dengan kemampuan kognisi lainnya seperti berpikir, mengingat, dsb dianggap sebagai suatu kesatuan yang tidak terpisahkan. Dengan pendekatan semacam ini, bahasa dapat dikaji secara lebih holistik karena disiplin ilmu lain seperti psikologi, neurologi, filsafat, antropologi, hingga ilmu komputer juga turut dilibatkan.

Dosen dan Mahasiswa

Di antara teman-teman seangkatan program magister, saya menjadi satu-satunya mahasiswa asing karena GIL NTU memang hanya membuka masing-masing 1 kuota untuk mahasiswa asing di program magister dan doktoral. Jumlah mahasiswa yang tidak terlalu banyak di satu sisi memberikan keutungan tersediri karena rasio perbandingan jumlah dosen dan mahasiswa menjadi ideal sehingga interaksi di antara keduanya dapat berlangsung sangat intens. Dari kelas-kelas yang saya ikuti, jumlah mahasiswa yang terbanyak adalah 12 orang, bahkan ada juga yang hanya 4 orang. Dosen-dosen di GIL NTU menurut saya sangat serius, disiplin, dan punya etos kerja tinggi. Mereka juga sangat mudah ditemui dan bersedia meluangkan waktu bila mahasiswanya butuh masukan atau ingin berdiskusi. Di samping itu, setiap dosen juga memimpin satu kelompok riset berdasarkan subbidang keahliannya masing-masing, dan mahasiswa diwajibkan menjadi anggota dari salah satu grup sesuai dengan minat dan topik tesis/disertasi yang akan dikerjakannya. Ada 7 kelompok riset: kelompok pertama membidangi topik-topik seperti metafor, kognisi, dan budaya; bahasa, media, dan politik; multimodal metaphor; dan simbolisme bunyi (sound symbolism). Kelompok kedua mencakup analisis wacana dan pragmatik. Kelompok ketiga khusus menaungi topik-topik yang berhubungan dengan Bahasa Formosa; korpus Bahasa Formosa dan aplikasinya; serta tipologi bahasa (language typology). Yang keempat adalah grup fonetik yang membawahi soal bunyi-bunyian dan korpus lisan (speech corpus). Grup kelima menaungi topik perbandingan bahasa, yang di dalamnya termasuk membahas kaitan antara bahasa dan budaya. Grup keenam memiliki nama khusus, yaitu “LoPE” yang merupakan singkatan dari Lab of Ontologies, Language Processing, and E-Humanities. Topik yang dibahas dalam grup ini antara lain linguistik komputasional dan natural language processing (NLP). Kelompok terakhir adalah Brain and Language Processing Lab yang menaungi topik-topik seperti psikolinguistik, neurolinguistik, dan bilingualisme. Pertemuan diadakan secara teratur di mana mahasiswa berkesempatan mempresentasikan laporan perkembangan proyek yang sedang dikerjakan, atau melontarkan ide-ide baru maupun memberi masukan terhadap temuan-temuan yang dipaparkan teman lainnya. Kultur riset yang kondusif seperti ini menurut saya sangat baik untuk melatih mahasiswa menjadi lebih jeli melihat “celah-celah” yang bisa digali dari setiap subbidang yang akan menjadi kepakarannya.

Sekilas tentang Dinamika Perkuliahan

Mengenai dinamika perkuliahan, meskipun ini sudah merupakan kedatangan yang kedua kalinya, ternyata saya masih cukup kagok juga saat hadir di kelas perdana pagi itu. Begitu sampai di kelas, saya tambah kaget karena tahu bahwa tiga dari empat kelas yang saya ambil ternyata pesertanya dicampur dengan mahasiswa S3. Saya hanya bisa tertawa miris membayangkan harus berdiskusi menggunakan kosakata akademis dan istilah-istilah linguistik dalam Bahasa Mandarin dengan teman-teman yang pengetahuan dan pengalamannya tentu sudah jauh di atas saya. Dan benar saja, kuliah tatap muka yang didominasi presentasi individu dan diskusi materi betul-betul membutuhkan kesigapan telinga untuk menyimak isi diskusi dan lidah yang licin untuk merespon pertanyaan-pertanyaan yang kapan saja bisa dilemparkan ke kita. Masih segar dalam ingatan, di minggu-minggu awal kuliah saya hanya bisa diam seribu bahasa menyaksikan teman-teman sekelas saya presentasi dan diskusi tanpa rasa gugup sama sekali. Rasanya takut sekali mau buka mulut buat angkat bicara. Saya takut kalau kosakata yang saya pakai kurang tepat atau terlalu sederhana. Saya takut ditertawakan. Saya takut diremehkan. Tapi di atas itu semua, yang paling saya takutkan adalah saya dianggap bodoh! Logikanya, orang mana sih yang ingin dianggap bodoh? Tentu tidak ada. Tapi logika ini sebenarnya tidak sepenuhnya cocok dalam dunia belajar. Saat masih belajar, jangan pakai mental sang juara, karena tanpa disadari mental ini membuat kita menjadi terlalu fragile, sensitif, salah sedikit saja sudah takut “gelar juaranya ternodai”, padahal kesalahan justru merupakan “nafas” yang bisa membuat proses belajar kita menjadi selalu “hidup”. Pembalap sepeda yang sudah berkali-kali juara biasanya sering merasa lebih frustrasi saat dia tergelincir. Sedikit saja tergelincir bisa membuatnya merasa ada “cacat” dalam prestasinya, padahal dia lupa saat masih amatiran dulu berkali-kali jatuh pun ia tidak terlalu merasa “sakit” karena dia tahu dia masih dalam proses belajar, dia masih amatiran. Jadilah dia bangkit lagi, naik sepedanya lagi, dan latihan lagi. Dalam konteks ini, mental si amatiran justru lebih kuat, atau bahasa Jawanya lebih kendel, daripada mental sang juara. Mental si amatiran yang tidak takut “terluka” itulah yang membuat dia bisa berkembang. Berangkat dari refleksi ini, dengan menggunakan mental si amatiran, saya pun kembali melangkahkan kaki ke kelas sambil berkata dalam hati: “Sikat saja Rin! Pasti bisa!”

Sekian penggalan cerita saya mengenai pengalaman belajar linguistik di Taiwan. Bagi teman-teman yang ingin melanjutkan studi di bidang ini, ada baiknya untuk mencari tahu terlebih dahulu fokus kajian dan pendekatan apa (formal, fungsional, kognitif, dsb) yang digunakan di kampus yang teman-teman minati. Mempertimbangkan ranking jurusan/universitas memang penting, tetapi jangan jadikan itu satu-satunya pertimbangan, sebab linguistik memiliki subbidang yang tidak sedikit dengan pendekatan yang juga beragam. Saran saya, pilih kampus yang fokus kajian serta pendekatannya sesuai dengan tujuan dan minat teman-teman. Selamat berjuang!


A Survival Guide to Study Abroad

Studying abroad is a mission, a challenge and also a life-changing experience. It is bound to be one of the best phases in your life. While it’s fun to plan your dreams on how studying abroad should be before you embark upon the journey, you may find that being an international student can be arduous. Some of the biggest difficulties are language barrier and different ways of living. Remember you’re not alone. I may not be an expert, but I hope that as I have overcome challenges and observed new things in both the UK and elsewhere in Europe, I am able to share some tips here. Have a look at my guide for survival to help you cope with the pressures of being away from home.

 

Before you leave:

  • Inform yourself about the new environment

You can begin by outlining some steps you can take to fully understand about your destination country; its local culture and people. Do research by using as many different sources as possible, such as the Internet, television, magazines and newspapers. If you have any questions, I strongly advise you to ask your friends, Indonesian students or others who have been or are currently living there. They probably have better understanding and can give you a little guidance.

  • Start dealing with the language barrier

The one profoundly frustrating challenge for international students is the language barrier. A number of languages might be spoken in a single country. Make sure you know which language is mainly spoken by the locals in your host country. Keep in mind to always show respect for the local language. If English is not the first language, make an effort to learn some new words, for example how to say good morning, hello, thank you and other important pleasantries you can use in your daily interactions with the local people. Nothing sends the message that you value the diversity more than your willingness to learn about them.

  • Find your best accommodation

Looking at your finances is the first concern. You should list what your possible outgoing expenses will be, such as rent, utility bills, food and other costs. The next thing you have to think about is the location. Consider if you need to use public transportation to your host university or not. Another important factor is the type of place you prefer. What would be the most suitable for you? Perhaps you would rather  stay in a student accommodation owned by your institution than a shared flat with your friends, or the other way around. Understanding your housing preferences and needs is essential because it can really define your experience there.

  • Evaluate health insurance plans

Some countries may ask the international students to purchase a plan that meets a set list of school/government requirements. Identify the medical benefits that will be covered by your insurance plan before purchasing. Having access to nearby doctors, specialists or hospitals that accept your insurance plan is another thing you need to consider. It is imperative to ensure that the price and benefits balance to meet your needs.

You may find this link is useful for you: International Student Insurance

  • Prepare a final checklist

Get the necessary information and put together all the documents you may need to bring way ahead before the time of your departure. Making a final checklist will help you to determine whether or not you really are ready for living in a foreign country. Need a guidance? You can click Study Abroad Checklist.

 

Once you are there:

  • Keep in touch

Upon your arrival, contact your family as soon as possible to let them know you have arrived safely. Do not forget to inform your new address, phone number and other contact details to your family and friends. In addition to keeping up with others, you may need to buy a local prepaid SIM card. Choose a mobile data plan that is well worth the cost. If you haven’t heard about it, use Skype which allows you to make calls to landlines for a cheaper rate than most cell phone networks.

  • Get unpacked and settle in

Once you have got your keys, settle into your new room and unpack completely. If you need to find where to buy cheap cleaning supplies, groceries, etc., do not be afraid to ask your resident assistants, landlords or flatmates for help. Make your new place feel more like home. Also, spend some time to explore your campus and the city you will be living in.

  • Set up a bank account

This is definitely a worthwhile option for students studying abroad, especially those going for the whole year. Foreign bank accounts can solve the problem of ATM transaction fees. You may see which bank most students seem to be using and which ones have a student account option. It is all up to you and what works best for your personal study abroad budget. Based on my experience, the process for opening a student bank account is relatively simple as long as you can provide all the required documents. Therefore, you need to find out what documents your chosen bank wants you to bring.

  • Register to the Indonesian Embassy

You should know where the Indonesian Embassy is in your host country and register your stay. It is of great importance that the Embassy staff know where you are living abroad and how to contact you concerning your safety. You should also have the phone number of the Embassy in case you need to contact them.

  • Join student societies

Some of you probably come to your destination country with one thing in mind: study hard to achieve the best grade. While this is certainly important, there is more to meet the eye. I suggest you to sign up for any societies offered by your host institution or city that interests you. The fun thing I found while I was studying abroad is doing voluntary work. Not only you get to meet lots of new friends from around the world, but also you will be able to do something you have never had an opportunity to do before.

  • Make as many friends as you can

One of the most rewarding aspects of this international experience lies in the friendships you will cultivate while studying overseas. Remind yourself to step outside of your comfort zone.There is nothing wrong with going out with friends from your home country. However, only by immersing yourself in a new culture – having conversations with new people, trying the local cuisine, etc. – will you truly attain a memorable study abroad experience.

Image may be NSFW.
Clik here to view.

 

Image may be NSFW.
Clik here to view.

  • Explore the world

Do not let the fear or homesickness prevent you from enjoying the travel experience. Studying abroad is the perfect time to visit tons of new cities and countries. Take this opportunity to travel the world with no commitments but to study and learn about new cultures. A wise man once wrote, “Once you have travelled, the voyage never ends, but is played out over and over again in the quietest of chambers. The mind can never break off from the journey.” Thus, plan your trip wisely!

Overall, there are many ways that people cope, and you may discover other strategies that work particularly well for you. Taking every single chance to explore is the golden advice. I understand it is hard since I went through it by myself, but the more difficult it is, the greater your individual development will be. Just think of all the excitement you have yet to come. Make sure you live your studying abroad with no regrets!

 

Images courtesy of Yulisa Rebecca. 

How Art History Shapes My Life

The still sound of footsteps and whispered conversations echoed through a series of blank space, all bounded with white walls and crisp wooden floors. Visitors glide through the room, with sharp gazes moving from one end to the other as the dim lights set the walls aglow. The atmosphere was static but nowhere near being lifeless.

I slowly walked through a collection of centuries-old paintings, closely examining the details, the cracks that signal the ageing of the works. I was surrounded by fragments of human history, captured in forms of pigments and marbles.

Gallery visits are for me therapeutic. Not to sound pretentious, but art have given so much to me, from knowledge to appreciation, up to the building of my own principles and values.

I am one of those “hipster” students, so many of my friends would say. I major in Art History in the University of Melbourne and am the only Indonesian to take on such studies. I study the progressions of art along the ages, the material, the subject matter, the framing, the lighting, the gestures, the brush strokes. Everything that is visible in an artwork is understood in light of the invisible such as social values, allegories, moral critiques and commentary. Sounds like ‘I can bullshit my way through this degree’ kind of thing? Perhaps not that simple.

Coming to find Art History is like a falling into a rabbit hole. My adventure in wonderland began when I sought advice from my father. My moment of epiphany and the beginning of my aspiration to be a curator or patron of art didn’t come from an inspiring  gallery visit , instead it simply came from a suggestion from a person I’ve been looking up to my entire life. I was confused about what subjects to take so I narrowed it down to three: international relations, politics or philosophy. My father straight up said that I have no skills in any of those fields nor do I have the passion to pursue a career in it. So he suggested art history instead.

Typical of any newbie first year students, I thought it was a study of visual arts. In high school I took a visual arts subject  but ended up writing more about my artworks than making one. With that in mind and thinking that art history maybe a wise choice to take, I went ahead and took the subject Modern Art: Politics of the New. I can never forget the exact title of this subject and how much it influences my life today. From the moment I sit on the first lecture, I was sold. I did not understand a single thing my lecturer said. Several familiar names popped up, such as Picasso, Warhol and Duchamp, but it was challenging nonetheless as I have no prior knowledge of arts at all. One thing I know for sure stepping out of that first lecture is that the world of the arts is as confusing as ever but nothing short of exciting.

Eager to learn, I started to visit the art galleries in Melbourne to see the artworks in the flesh. I would spend hours going around a gallery and would visit at least once a week. I also noted that each visit, even to the same gallery, is a different experience. The more I know, the more I could appreciate the works. Art for me became less and less vague.

Going through the subject, I struggled. The readings were written in an archaic language, dating back to centuries ago. I had to look up the terms every once in a while and read through the texts three times just to wrap my head around it. Even then I still couldn’t understand the theories. Writing wasn’t any easier as the writing style is neither direct nor descriptive. You would think writing about artworks is simply describing and inscribing meanings into the visual details. It is not. Writing art history is far beyond that, it is a rabbit hole on its own.

With a mediocre grade to pass the subject, my art history major began. I am currently in the final semester of my bachelor degree, having learned all the nitty-gritty of the Renaissance to the Modern and Contemporary arts, yet I know my knowledge is still far from the entire scope of the arts. I still often get confused.

You may notice that I get confused a lot taking this “unusual” major. People would ask me ‘Where do you go after this? What prospects are out there? Are you planning to return to Indonesia?’ I drew a fine line to cope with my confusion  by remembering why I take the major in the first place.

Art is  a language not everyone can understand, but definitely a language that one could appreciate. As humans we have this need to understand everything. Once we don’t understand something, we simply reject it. Typically with modern art, spectators will get angry over a simple work and comment, “I could do this!”,  an oft-heard sentence which initially annoyed me.  Now that I can see the bigger picture, I guess it is a very human response. We always want to understand in order to accept or appreciate.

Art history teaches me to appreciate life and all its confusion. It teaches me the values of life. Perhaps a thing or two I learned from the arts is that defining what should be will always be a limitless action as it is always changing and nonetheless subjective. As I stand here in the gallery, experiencing these transformations of art in a millennium far after their makings, I realize that artists are as much human as I am today. They are social beings of change, and this inevitably transcends in their works. Art is never definite. Humans are never definite.

I have talked about the past and the present of my journey. How I got to art history may be of chance, but still, it shapes who I am today, it builds my character as a social being. As for the future, I have abstract thoughts on where my degree will take me.

The art world is an ‘elite’ jungle. It is highly competitive, strongly academic and incredibly subjective. Growing up in Jakarta, I didn’t have much access or knowledge of either national or international art. My parents would take me to galleries in Bali and private collections around Jakarta and Bandung, but all I can remember is their poor maintenance and lack of labels. It is true that the more curious and knowledgeable you are about art, the more you can appreciate it. The problem is that Indonesia offers no kind of platform for people to even be curious about art. There are only three Indonesian art history books published to date, the most recent in 1999.

One of the Indonesian artists, Eko Nugroho, has made his career internationally, as reflected by his designs for Louis Vuitton and his installations being displayed all over the world. The value of his artworks at the world’s leading auction house Christie’s surpassed many Asian artists. Yet, when I asked Indonesians including many of those self-proclaimed “patron of the art”,  so few know of his existence. How can an Indonesian artist be appreciated more overseas, outside of his home country?

These are the gaps I want to close in the future. I aspire to find the roots of Indonesian Art, how it has come about, and its international influences from the Renaissance all the way through the Modern and Contemporary. And when I do, I plan to publish it so that everyone, not only Indonesians but also the whole world, can at least have access to understanding art.

The number of art institutions, communities and spaces are increasing over the past few years, especially in Jakarta and Yogyakarta. There are plenty of opportunities for the art world to shine its spotlight on Indonesia. However, we have a lot of work to do before that could happen. A good archival documentation over the years is a crucial first step. Certainly, I have no doubts on the talent and rich culture that Indonesia has to offer.

Reflecting back on my journey in the rabbit hole I call Art History, I realise that I’m riding on a time machine. The past was about how I got to choose art history, the present is me graduating in less than three months and the future is, perhaps, returning to Indonesia once I’ve made my way through as an International Curator. Just like artworks, my life and journey down the rabbit hole is a work of art in itself. It has the ability to capture the fleeting nature of time, and to pause it for a moment and a lifetime. It is bringing the past to the present in an environment that aspires for the future.

Photo by the author

Edited by Hadrian Pranjoto

Mengerjakan Instalasi Pameran di Princeton University

Bulan lalu, saya dapat pekerjaan kecil-kecilan.

Ceritanya panjang. Tapi, begini ringkas ceritanya dalam satu paragraf. Etienne Turpin, peneliti Anthropocene, juga pendiri PetaJakarta.org, menyurati saya. Ia diundang berpameran di Princeton University. Pameran itu dikelola oleh Eben Kirksey, antropolog yang sedang mengajar di sana. Judul pamerannya Emergent Ecologies. Eben mengundang Etienne setelah ia melihat pameran 125.660 Spesimen Sejarah Alam yang dikelola oleh Etienne pada pertengahan 2015 lalu di Salihara. Eben tertarik pada satu karya di pameran itu, yang rupanya hasil kolaborasi Etienne dengan seorang lain yang baiknya tidak saya sebut supaya tidak merumitkan cerita yang sudah rumit ini. Kebetulan, waktu itu, saya membantu Etienne untuk mengerjakan instalasi tersebut. Tahu bahwa saya sedang berada di New York, Etienne mengajak saya untuk merancang ulang dan mengerjakan produksi instalasi tersebut. Saya menyanggupinya.

Walaupun program studi saya erat kaitannya dengan produksi pameran, dan walaupun saya sudah berkali-kali mengerjakan pameran dan hal-hal semacamnya, pekerjaan semacam ini, sekecil apapun skalanya dan sesederhana apapun idenya, sungguh tidak pernah mudah. Mawas pengetahuan teoritis saja tak akan cukup tanpa dilengkapi pengetahuan praktis, terutama dalam hal produksi. Pun karena saya berada pada konteks produksi yang berbeda—di Amerika, dengan satuan standar inci dan kaki, dan dengan mahalnya tenaga kerja sehingga segala sesuatunya harus dikerjakan sendiri—pengetahuan praktis yang saya miliki pun harus disetel ulang.

Instalasi yang akan dibuat sebetulnya sederhana. Judul instalasinya Taxonomy of Palm Oil. Materinya adalah 100 wadah plastik berisi macam-macam produk sehari-hari dan selembar kertas berisi penjelasan instalasi, keduanya diletakkan di atas multipleks. Maksud dari instalasi ini adalah menampilkan 100 produk komersial yang menggunakan minyak kelapa sawit. Ada berbagai macam produk sehari-hari yang menggunakannya, dari pasta gigi, kosmetik, deterjen, shampo, sabun, minyak goreng, biskuit, adonan kue, roti, hingga krim kopi. Minyak tersebut diproduksi dari tanaman kelapa sawit yang asal aslinya dari Afrika. Karena produktivitasnya lebih tinggi dan efisien ketimbang kelapa, kedelai, atau tanaman lainnya—dan otomatis ongkos produksinya jauh lebih murah—maka kelapa sawit jadi primadona, terutama di negara-negara tropis. Indonesia adalah salah satu negara produsen minyak kelapa sawit paling banyak. Namun, angka itu bukan berarti harus kita banggakan. Membuka perkebunan kelapa sawit berarti melakukan deforestasi. Lingkungan alam yang heterogen harus dibabat untuk membuka area produksi kelapa sawit. Tanpa perencanaan yang bijak, pembukaan perkebunan kelapa sawit akan mengurangi keberagaman flora dan fauna hutan tropis kita. Ingat berita awal April lalu tentang Leonardo Dicaprio yang terancam dilarang datang kembali ke Indonesia? Ya itu, karena ia mengkritik masifnya pengrusakan hutan Indonesia oleh perkebunan kelapa sawit ketika jalan-jalan ke Sumatera.

Kembali ke instalasi. Ada beberapa persiapan awal yang harus saya kerjakan. Pertama, saya harus memeriksa dimensi wadah plastik yang tersedia di pasaran. Saya ingin membeli langsung ketimbang membeli dari toko daring, sebab saya ingin memastikan bahwa wadah plastiknya berkualitas cukup baik untuk pameran. Rupanya, mencari wadah plastik di sini tidak semudah pergi ke Glodok atau Pasar Pagi. Berbagai toko farmasi yang saya kunjungi tidak menjual wadah plastik. Satu toko yang saya datangi di daerah Bronx menjual wadah plastik yang cukup baik, tetapi grosirannya minimal 500 botol. Harganya jadi terlalu mahal dan jumlah botolnya amat berlebihan. Mau tidak mau, saya akhirnya memesan dari toko daring. Untung saja produknya cukup memuaskan.

Mencari 100 produk yang mengandung kelapa sawit yang dijual luas di pasaran adalah tantangan berikutnya. Masalahnya, minyak kelapa sawit tidak selalu ditulis sebagai “minyak kelapa sawit (palm oil).” Ia bisa “menyamar” lewat istilah-istilah kimiawi seperti cetyl palmitate, glycerol, kernel oil, elais guneensis oil, sodium laureth sulfate, sodium kernelate, etyl palmitate, dan lain-lain. Mulanya saya mengandalkan internet untuk mencari produk-produk ini. Ternyata, yang saya andalkan via internet, justru lebih mudah dan cepat dilakukan dengan mendatangi saja pasar swalayan dan melihat produknya satu-persatu. Jadilah saya pergi berbelanja mengumpulkan 100 produk berbagai jenis. Baru kali ini saya belanja dengan memeriksa betul daftar bahan bakunya. Sudah pasti kasir di tempat saya berbelanja heran melihat barang-barang yang saya beli, terutama karena saya selalu hanya membeli satu dari setiap produk. Kwitansi belanja saya hari itu terpanjang dari yang pernah saya dapat seumur hidup.

Image may be NSFW.
Clik here to view.

Sebagian dari 100 produk yang saya beli untuk konten pameran (Foto: Robin Hartanto)

Setelah selesai berbelanja, saya mulai memikirkan multipleks dan susunan wadah plastiknya. Karena anggaran terbatas, Etienne dan saya sepakat meminjam meja yang ada di Princeton University sebagai alas untuk multipleks. Ada dua jenis meja dari Princeton University yang saya bisa gunakan sebagai “kaki,” satunya berukuran persegi 31,75 inci x 31,75 inci, satunya lagi persegi panjang 36 inci x 72 inci. Sementara, panjang satu multipleks utuh adalah 48 inci x 96 inci. Jika saya menggunakan meja persegi panjang sebagai alas, sisa multipleks yang tidak tertopang terlalu luas sehingga instalasinya bisa ringkih. Saya putuskan untuk menggunakan tiga meja persegi yang disusun memanjang menjadi 31,75 inci x 95,25 inci, sehingga hampir seluruh bagian memanjang dari multipleks akan tertopang. Saya menggunakan velcro untuk dapat merekatkan meja dan multipleks dengan baik tanpa meninggalkan bekas pada meja yang kami pinjam.

Image may be NSFW.
Clik here to view.

Saya menggunakan velcro untuk merekatkan meja dan multipleks (Foto: Robin Hartanto)

Setelah mengetahui dimensi-dimensi materi pameran, saya mulai memikirkan tata letaknya. Wadah plastik yang saya pesan berdiameter 2 inci. Saya ingin menjaga jarak antar wadah plastik agar tidak terlalu rapat, sehingga pengunjung dapat menikmati visual masing-masing produk tanpa perlu mengangkat wadah. Dengan kemampuan matematika seadanya, saya menemukan formula yang pas mantap: batas tepi 5 inci dengan jarak antar botol 2 inci. Berikut gambar rencana instalasinya:

Image may be NSFW.
Clik here to view.

Gambar rencana instalasi Taxonomy of Palm Oil (Gambar: Robin Hartanto)

Etienne menyetujui rencana tata letak yang saya buat. Tetapi kisah perjuangan saya belum selesai. Saya harus memikirkan dua hal lagi: 1) Bagaimana membawa multipleks ini dari New York ke Princeton; 2) Bagaimana menempatkan 100 wadah plastik tersebut agar sangat rapi, sebab meleset satu dari seratus saja sudah akan mengganggu pemandangan.

Kalau saja ini di Jakarta, saya punya banyak solusi untuk nomor satu. Minimal, saya bisa menyewa pick-up dan menyetir sendiri. Tapi ini di New York dan saya tidak punya lisensi untuk mengemudi di sini. Saya sebetulnya agak tidak rela juga untuk menyewa mobil, apalagi menyewa jasa pengemudi, soalnya harga sewa di sini sungguh mahal. Tapi saya tidak punya pilihan lain sebab saya harus membawa multipleks plus 100 wadah plastik sendirian dari New York. Saya coba tes mengangkat multipleks itu dan rupanya bebannya terlalu berat. Mau tak mau, saya sewa mobil dan jasa pengemudi. Agar muat di mobil sewaan, saya membagi multipleks tersebut jadi dua. Untuk hal yang satu ini, saya merasa dikalahkan oleh keadaan.

Image may be NSFW.
Clik here to view.

Setelah membelah multipleks jadi dua, saya mengecat multipleks dengan cat putih. (Foto: Robin Hartanto)

Untuk yang nomor dua, Etienne ingin agar bidang multipleks dilubangi saja menggunakan mesin CNC. Tapi rupanya setelah riset ke berbagai bengkel kayu yang menyediakan mesin CNC, harga milling CNC sungguh di luar batas anggaran. Akhirnya kami kembali ke cara yang kami gunakan di Salihara: menempelkan tutup wadah sebagai area untuk meletakkan wadah plastik. Jadilah saya memesan 100 tutup plastik tambahan.

Pun demikian, untuk menempel tutup wadah itu dengan rapi juga perlu taktis khusus. Waktu di Salihara, saya menggunakan tape untuk membatasi area yang akan ditempel. Cara tersebut menurut saya tidak praktis dan butuh kehati-hatian tingkat tinggi. Kali ini, saya memilih untuk mencetak pola di atas kertas dan melubangi bidang yang hendak jadi area tempel. Setelah terpasang, saya pindahkan pola kertas tersebut ke area yang belum terpasang. Cara itu rupanya cukup efektif.

Image may be NSFW.
Clik here to view.

Proses menempel 100 tutup wadah. (Foto: Robin Hartanto)

Pada H-1, saya mulai memasukkan isi berbagai produk yang sudah saya beli ke wadah plastik. Sejauh ini, segala sesuatunya berjalan sesuai rencana. Tapi, ada salah pengertian yang baru kami sadari di hari itu. Saya mengira Etienne akan mengerjakan label yang berisi data produk untuk ditempel di masing-masing tutup wadah, sebagaimana teks penjelasan instalasi akan dicetak sendiri olehnya. Rupanya tidak demikian. Ia meminta saya membuat labelnya. Maka pada hari itu, saya harus menyiapkan 100 label data produk, mencetaknya, dan menempelkannya di setiap tutup wadah. Sementara saya ada janji bertemu teman, saya baru bisa mulai mengerjakan semua itu di malam hari.

Setelah segala persiapan terlaksana dengan cukup mepet dan dengan jam tidur yang minimalis, jadilah saya berangkat ke Princeton University menggunakan mobil sewaan dengan segala tetek-bengek yang harus saya bawa. Saya lega dan senang betul hari itu. Instalasi tersebut selesai dengan baik. Selain itu, saya juga senang karena berhasil menculik Widya Aulia Ramadhani, teman yang saya temui pada malam H-1 itu, untuk menemani saya. Widya teman saya di studi sarjana; ia juara II Mahasiswa Berprestasi Universitas Indonesia tahun 2014, peraih Beasiswa Presiden RI, dan masih single, saudara-saudara! Ia menulis juga di Indonesia Mengglobal bulan lalu. Widya lah yang berbelanja 100 produk untuk instalasi pameran ini di Salihara, tapi sayangnya ia tidak sempat melihat hasil jadinya karena telanjur berangkat sekolah. Setelah mengetahui saya mengerjakan instalasi serupa, ia batalkan rencananya ke Washington melihat cherry blossom dan lantas ikut saya ke Princeton.

Di Princeton, saya bertemu dengan Etienne setelah terakhir berjumpa di Jakarta, di pameran 125.660 Spesimen. Saya juga berkenalan dengan Eben. Eben rupanya sungguh lancar berbahasa Indonesia karena pernah bertahun-tahun tinggal di Papua dan meneliti pelanggaran HAM dan politik kemerdekaan di sana. Pada akhir April ini, pameran di Princeton University tersebut akan dipindahkan ke Brooklyn, ke sebuah gedung tua. Eben mengajak saya untuk membantunya. Sebetulnya saat itu saya akan menjelang akhir semester dan akan pusing sembilan keliling dengan segala tugas akhir. Tapi apa boleh buat, saya begitu menikmati proses membuat pameran.

Saya menyanggupinya.

Image may be NSFW.
Clik here to view.

Penampakan wadah plastik berisi berbagai produk yang menggunakan minyak kelapa sawit (Foto: Robin Hartanto)

Image may be NSFW.
Clik here to view.

Yang ini sedikit narsis: penampakan nama saya di instalasi pameran. (Foto: Robin Hartanto)

Image may be NSFW.
Clik here to view.

Penampakan akhir instalasi beserta beberapa karya lain di pameran Emergent Ecologies. (Foto: Robin Hartanto)

 

Photo Courtesy: Author’s Collection

Living Overseas on a Budget: Is it Possible?

The word overseas is usually identical to expensive living cost. Is that true? Here are some few popular questions regarding living cost:

“How much is the living cost in <name the city>?”

“Is there any part time job available?”

As Indonesians, which purchasing power parity per capita pales compared to quite some other countries, we are often faced with those kinds of questions, especially when it comes to moving to developed countries (think of, for example, Canada, Ireland, or even Finland). The current demography of Indonesian students studying overseas may be a bit skewed towards the middle-upper class, but that doesn’t mean it’s totally out of reach for the rest of us.

Did I also say that some of us may receive our stipend on a per term basis to save transfer fee and hassle, which makes it possible to be cash-strapped nearing the exam period?

Image may be NSFW.
Clik here to view.

This single note may be enough for a month of living back in Indonesia, but how far can it stretch elsewhere?

However, there’s one thing you should (have) always remembered:

Savings = Income – Consumption

From the equation above, there are 2 ways to rely on less money back home (either scholarship or parents’ support): Make money or save money. There are a few tips I can give to make your bank notes sustain your life for longer:

  • Make money: Do part-time jobs

Part time jobs, the holy grail of university students, are actually abundant. From undergraduate research, packing burger patties (because apparently flipping burgers can be eliminated), all the way to making a Christmas tree, they pay. Rates may vary, as usual, but should be enough to supplant your stipend. One great caveat for this: You’re a student, not a full time worker. Immigration rules in various countries such as United States, Germany, and Singapore prohibit excessive part time work, however one leeway worth trying will be working full time on holidays.

  • To save or to splurge: What are the perks?

Some decisions in life are trickier to make. Not merely the fried noodle vs stewed squid conundrum (keep reading!), but also about other things. Contrary to the notion that being in a budget means penny-pinching every single time, splurging a bit may provide you with substantial benefit. Here are my two examples on splurging vs saving:

    • Just like a lot of people, I love listening to music, however there seldom are any concert for my kinds of music. So, when I heard of such concert in Singapore, I wondered if it would be great to go, and so I did. It was fantastic to hear the songs live, even more than listening to the Proms on YouTube. Did I say it’s also much cheaper yet comfortable than squeezing yourself at pop music concerts?
Image may be NSFW.
Clik here to view.

Photo of cramped standing area at a pop music concert. Courtesy of mirror.ac.uk

    • The housing dilemma. Single rooms are alluring due to the privacy offered (most rooms here are double occupancy), however with the US$75/S$100 monthly premium, it’s much better to buy a bond with that money instead. A single room may be great should I have any allergic issue (messy roommate, anyone?), or should I be the bedroom guy, but fortunately I’m out of my bedroom a lot of time, so I found out I’d be fine in double room.
Image may be NSFW.
Clik here to view.

My double occupancy bedroom.

  • Save money: Is cooking by myself actually cheaper than buying it elsewhere?

Cooking, one of the most popular ways mentioned to save money, may not be the cheapest way to dine. There are actually a lot of costs involved in cooking by yourself, compared with merely buying from stalls. Consider this example: Stewed squid with tofu and Chinese cabbage, which I cooked myself, found not to be delectable, yet quite costly.

To make such unpalatable dish, I needed to spend a lot of time (around 2 hours including travel time to supermarket) and money (around twice my normal meal price). Worse still, I should finish it before dinner to make it not become another wastage. With that much time and money spent, I should have just slept and bought my meals at hawker centres or food courts.

Cooked food prices may vary significantly between places, and as such I can’t overemphasize the importance of researching the situation in your destination (for example, Cecilia noted that cooked food is expensive in Australia while a decent meal below US$2 is still possible in other place). However, should you wish to have a simpler, (unfortunately) instant meal to burn the midnight oil (or stretch your budget a little), it’s also still possible:

Image may be NSFW.
Clik here to view.

Instant fried noodle with sardine in tomato sauce and scrambled eggs. I heard instant fried noodle is college students’ lifeline?

Bonus: Presentation on make or buy decision from one accounting class (slides 27 to 35) can be downloaded here (copyright to Rony Lim). Great to find out whether I should cook or buy my meals.

  • Save money: Use public transport (when feasible)

Public transport, despite the affordable image, may not turn out very cheap. For example, you can shell around US$2.5 per subway or bus ride* in New York or up to US$2.04/HK$15.8 per subway ride* in Hong Kong. There may be times when a taxi ride is necessary, though it should be seldom. One great example of time saving afforded by taxi: Traveling from my hall to Changi airport takes merely 40 – 50 minutes by taxi as opposed to almost 2 hours by public transport. Private transport can be justifiable in important cases such as being almost late for a date being tasked to buy and bring 500 bottles of water to the embassy ASAP (it once happened to me, for real), however sometimes the fare difference between different modes of transport can be steep, so given the time I better put the savings on nice souvenirs for my siblings rather than arrive at airport 1 hour earlier.

*highest fare for non-airport trips with highest discount applicable for university students

Image may be NSFW.
Clik here to view.

Up to US$1.6/S$2.1 per trip for systemwide travel (including bus). A better choice if I don’t need to lug 500 bottles of water

  • Save money: Cheap or free entertainment

When we’re thinking of entertainment, chances are a lot of us may relate with café, movie, concert, or amusement parks. Don’t get it wrong, there are reason why they are popular. From the Instagram-worthy pictures, sheer thrill, all the way to joining others with the same interest, they are all quite compelling reasons.

On the other hand, quite some of the popular entertainments tend to be expensive, such as Disneyland’s US$95 one day ticket, or maybe concession snacks so expensive theatres can barely live without. However, there are still a lot of affordable entertainments available at your disposal, such as:

    • Books from your institution’s library or local library. There can be some interesting things available, and even though some titles are not available, the choices are still vast enough to consider. My great examples will be an analysis on air ticket prices or the beloved book on airport planning and design which was too heavy to lug to Singapore.
    • Nice view without the fee. Parks are abundant and can be quite nice, such as New York’s Central Park. For a low fee, you can also take a cable car ride across Thames River, or you can also see Tokyo from above for free. Museums can be also great places to entertain yourself without burning your pocket, yet one thing is that I won’t squeeze myself only to get that almost perfect photo of Mona Lisa in a museum.
    • Window shopping. Learn to resist the temptation to buy things and just walk around shopping centres. If you’re lucky, you can also get free samples. Probably one of the more lame ideas, but that way you can also know more about goods prices around you as well as preparing gifts for your girl/boyfriend.

There are many ways to reduce our stipend reliance while overseas, yet don’t forget that you’re a student, not a full time worker. Devise your ways to stretch your fund, yet don’t neglect your studies over a few additional money. Lastly, you better not stretch the bank note, lest it’ll break.

See you on the next column!

 

All photos are taken by me except otherwise stated.

Solving the Dilemma of Student Halls vs. Private Accommodations

Earlier this month, I reminisced a fond memory of receiving a congratulatory email from LSE a year ago. At that time, the biggest chunk of my worry evaporated, but it was just a beginning of an even more exhaustive preparation, such as housing arrangement, visa, and studying the materials before my departure.

As the title suggests, in this post I am going to share my considerations in choosing an accommodation. If you are just about to start an intake this year, I hope you find this information useful.

“Why even bother to think of an accommodation five months before my study?”

In case this question is popping up in your mind while reading this post, let me tell you that arrangement of living in a foreign land needs meticulous assessment. You will live there at least for a year. That will be a place where you wake up every morning and head to take a rest after a long tiring day at the university. You need to be very comfortable with people who will share the same roof with you, so planning ahead is the way to go.

Below is the three questions that you can ask yourself in opting for student halls or private accommodation.

1.    With whom do I want to live?

Do you want to live with other fellow Indonesians or are you opened with new people to live in the same flat? Although you can still live with new people in private housing, students usually prefer to gather their friends as their flatmates. Imagine the perks that you do not have to explain yourself, you do not feel awkward to set up house rules, and you can cook Indonesian cuisine almost every day. Life is good, isn’t it?

Nevertheless, there is also a downside. Living with your fellow countrymen and countrywomen might trap you to the same circle of friends and make you hesitant to befriend other people. Moreover, a friend who lives in a private housing with Indonesian friends told me that you couldn’t habituate yourself speaking in English, which might not be good when you want to improve your English language ability during your stay in ythe country. Another friend of mine, on the other hand, also mentioned that when you lived with those who are not from the same university, their different academic timetables might disrupt your study time.

Unlike private housing, residing in a campus accommodation means you surrender your rights to choose who will share the same flat with you. Sometimes you are lucky, and most of the time you are not. You might feel a bit hesitant to set up house rules, such as ‘who cleans the kitchen and the bathroom?’ Not to mention, people from different countries might have different perspectives on what constitutes as ‘clean’.  Conflict thus is sometimes just inevitable.

However, living with strangers that turn to be your friends can also be an enriching experience. For example, I live in one of the campus’ hall, and my flatmates are from Taiwan, India, South Korea, Uruguay, and Wales. This experience enables me to get to know various worldviews and respect their perspectives. For example, my flatmates and I often discuss issues, such as the conflict in Israel-Palestine or air strikes in Syria. Some of us have contrasting views on this, but we did not take the debates personally. After we argued, we still could finish our Christmas dinner by drinking wine and watching “Love Actually”. Another friend of mine who also lives in the school’s flat even created a weekly rota of cooking signature dishes from their countries of origin. Who doesn’t want to taste foods from various countries?

Image may be NSFW.
Clik here to view.

Had an early Christmas dinner with signature dish from Wales.
(Photo courtesy of Josefhine Chitra)

2.    Do you want to have the accommodation ready by the time you arrive?

If you live in a university hall, you can have it ready by the time you land., whereas, those who choose private houses usually stay at hotels for few days (even few weeks) while wandering around to look for an accommodation. Although you also can have the private rooms ready, people usually ask their friends to do the viewing beforehand.

It all depends on your preference; in my case, I do not like to be in uncertainty, considering the process can take up  tofew weeks. It is  safer to know where I am going to live way before I come. Nonetheless, if you do not trust pictures and prefer to meet the landlord in person, private housing might be better option for you.

3.    What are your priorities in choosing the accommodation?

I remembered when I made a comparison table of various halls that I am interested in. In the left column, I listed all dorms and assessed it against the ranks of my priority on the right column. In my case, price came first, followed by distance to the university, whether it is an undergraduate/ graduate dorm, and self-catered/ catered food. You might have a different preference, so you can reorder or add more priorities on the column. For instance, I did not opt for private housing because usually the price still excludes electricity and internet, the tenants have to choose the service providers and take care of the utility bills tehmselvesAt this point, I did not have much time to take care of these add-ons, so for a pragmatic reason, I chose university hall for better efficiency. Furthermore, I did not want to be in an undergraduate accommodation block because (with no intention of making a stereotype) they are known to have parties almost every week, and it could affect my study time.

On the other hand, for those who value freedom of bringing friends or family to the flat might prefer to stay in a private housing. At some university hall, you have a very limited space for additional persons or sometimes you have to seek permission. If you want to bring guests to sleep over, private housing will be a better option.

All things considered, I found making this table useful because I managed to curate and read lots of information on the website, so this mapping could better situate each hall that met most of my criteria.

Image may be NSFW.
Clik here to view.

One of the perks of living in a private housing, you can invite many friends to your place for a potluck.
(Photo Courtesy of Mirza Annisa Izati)

In conclusion, there is no absolute upside or downside of living in a campus accommodation or private house. Your choice is contingent upon your preference. Also, please be mindful that my experience might speak mostly to a master and single students because those who come with spouse or children have different needs and considerations that lead them to opt for private housing. In certain cases, students bringing their family should spare some extra time to research and make a deal out of an accommodation, because some landlords have strict criteria on whether they accept a small kid or not in their flat.

 

Viewing all 1384 articles
Browse latest View live