Quantcast
Channel: Indonesia Mengglobal
Viewing all 1384 articles
Browse latest View live

Menjalani Jalan Yang Tidak Biasa di Georgetown University, Qatar

$
0
0

Banyak sekali teman-teman dan keluarga di Indonesia yang bertanya: “Sekarang kuliah di mana?” dan ketika saya menjawab bahwa saya bersekolah di Georgetown University, Qatar banyak yang lantas bingung. “Dimana itu Qatar?” atau “Apa itu Georgetown University?” adalah reaksi yang jelas terbaca dari raut wajah mereka.  Pertanyaan selanjutnya berhubungan dengan jurusan yang saya pelajari. Ketika mereka mengetahui bahwa saya belum mengambil jurusan, banyak sanak-saudara yang terkejut dengan keputusan itu dan mencoba meyakinkan saya untuk melakukan sebaliknya. Sanak saudara juga bertanya-tanya mengapa saya tidak memutuskan untuk kuliah di Inggris, Amerika atau Kanada. Benar, saya sangat bersyukur dengan beragam sekolah yang memutuskan untuk menerima saya sebagai calon mahasiswa tetapi, saya  memutuskan untuk memilih Georgetown University di Qatar karena berbagai alasan.

 

Qatar

Kampus utama Georgetown University terletak di Washington DC, Amerika Serikat. Di kampus itulah terlahir banyak nama-nama terkenal di dunia politik. Salah satunya adalah Bill Clinton, mantan Presiden Amerika Serikat yang lulus dari School of Foreign Service (SFS) di tahun 1968. Selain terkenal sebagai sekolah untuk para diplomat dan anak-anak presiden, Georgetown juga terkenal sebagai kampus aktor Bradley Cooper. Lokasi kampus di Washington DC juga sangat strategis. Ketika saya berada di Washington DC musim panas ini, terlihat jelas sekali banyak kesempatan yang tersedia untuk para pelajar seperti kerja magang, penelitian dan fasilitas untuk berbagai kegiatan sekolah. Dengan segala keunggulan kampus di AS, mengapa saya memilih kampus yang berada di Qatar? Mengapa saya memilih kampus liberal-arts yang lebih kecil dengan jurusan yang terbatas?

 

Sebelum menjawab pertanyaan ini, saya ingin menulis tentang Qatar Foundation, prakarsa Yang Mulia Sheikha Mozah bint Nasser, istri Emir dari Qatar yang sebelumnya. Beliau mempunyai visi untuk mengundang universitas-universitas top dunia untuk membuka kampus di Qatar untuk menyediakan universitas kelas dunia dengan standar yang sama dengan kampus ‘asli’ nya, saking setaranya, ijazah saya pun akan tercantum Washington DC dan bukan Qatar. Dengan visi itu, beliau ingin para pelajar dunia untuk datang ke Qatar tanpa membingungkan kemampuan membayar uang kuliah. Dengan itu, Qatar Foundation menyediakan bantuan finansial dan juga beasiswa  untuk para pelajar di sembilan kampus yang terletak di Education City, Doha. Sembilan kampus ini terdiri dari Virginia Commonwealth, Texas A&M, Carnegie Mellon, Northwestern, University College London, Georgetown, Qatar Faculty of Islamic Studies, HEC Paris dan kampus kedokteran Cornell University. Jadi, sangat tidak terasa bahwa kampus saya sangat kecil, hanya bersama dengan 260 pelajar lain saja, karena saya juga banyak berjumpa dengan pelajar lain yang menempuh studi di kampus tetangga.

 

School of Foreign Service in Qatar (SFS-Q)

Ada beberapa hal yang menarik minat saya untuk memilih kampus Qatar di Georgetown university, diantaranya, rasio mahasiswa dan profesor di SFS-Q sangat rendah. Karena kelas-kelas cenderung kecil, interaksi bersama dosen juga menjadi lebih sering. Semua professor saya tahu nama saya dan saya juga sering ke kantor mereka untuk bertanya dan berdiskusi. Mereka juga sangat senang sekali untuk menolong pelajar mereka. Karena kelas saya sampai tahun ke dua rata-rata hanya terdiri dari 18-20 pelajar, dosen bisa mengajar setiap mahasiswa secara pribadi dan juga bisa membimbing mahasiswa  yang hendak menulis makalah akademik dan pelbagai hal lainnya.

 

Selain itu, banyak juga kesempatan untuk melanglang buana keluar kampus. Pelajar SFS-Q bisa menjelajahi negeri lain melalui berbagai program SFS-Q seperti Zones of Conflict, Zones of Peace di mana mahasiswa diajak mengunjungi negara-negara  yang pernah mengalami konflik bersenjata seperti Israel, Palestine, Rwanda, Timor-Leste, Germany, US-Mexico border dan mempelajari bagaimana sebuah komunitas menangani sebuah konflik atau bagaimana cara menangani berbagai hal setelah konflik tersebut selesai. Melalui Community Engagement Program, musim panas tahun depan, saya bersama dengan beberapa murid lain akan ke Nepal untuk membangun sebuah sekolah yang runtuh setelah diguncang gempa bumi di bulan April. Semua program ini tidak memungut biaya apapun, hanya aplikasi dan esei yang harus diisi. SFS-Q juga sering sekali mengundang tokoh-tokoh penting dunia untuk memberikan ceramah seperti Bapak B.J. Habibie. Minggu ini saya juga berkesempatan untuk makan siang bersama Christine Lagarde, Managing Director dari International Monetary Fund.

 

Alasan berikut yang mungkin sudah bosan didengar oleh para pembaca adalah keragaman kultur di Qatar dan universitas saya. Teman-teman dekat saya di kampus datang dari Mesir, Mexico, Algeria, Sudan, Denmark dan negara-negara lain. Diversity inilah yang membuat experience saya di SFS-Q sangat menarik karena setiap diskusi, di dalam atau di luar kelas, kita selalu membawa pengalaman kita di negara masing-masing. Saya juga tidak harus baca berita dunia sering-sering karena teman-teman saya sendiri adalah sumber yang cukup!

 

Kurikulum Inti

Jujur, yang membuat saya tertarik untuk mendaftar ke Georgetown University adalah kurikulum inti universitas. Jadi di SFS nya Georgetown University, ada modul yang wajib  dipelajari selain pelajaran-pelajaran dari jurusan itu sendiri. Kurikulum inti ini terdiri oleh mata pelajaran ekonomi, filosofi, teologi, sastra, politik,  sejarah , urusan luar negeri (international affairs), map of the modern world dan bahasa asing yang harus dikuasai. Requirement terakhir ini menurut saya sangat unik dan penting sekali di dunia kita sekarang yang multikultural dan global. Jadi semua mahasiswa di SFS harus lancar di dalam bahasa selain bahasa Inggris jika mereka ingin lulus, dan jika tidak terpenuhi, mereka tidak akan lulus. Karena requirement ini, saya sangat kagum dengan pelajar di kampus saya. Keren sekali jika saya berjalan di kampus dan mendengar pelajar Pakistan berbicara dalam bahasa Perancis dengan teman saya dari Denmark, atau teman Qatari saya dan adiknya yang fasih dalam bahasa Mandarin, Jerman dan Perancis namun tidak bisa bahasa Arab. Kurikulum inti ini biasanya dipenuhi dalam 2 tahun pertama, namun tidak harus asalkan diselesaikan sebelum tamat kuliah.

 

Menurut saya, kurikulum inti ini sangat penting. Dengan mempelajari berbagai macam mata pelajaran, saya lebih tahu lebih tentang banyak hal-hal yang meliputi dunia kita ini. Misalnya di kelas filosofi saya belajar tentang filsafat yang telah berfikir dan bertanya ‘kenapa kita butuh pemerintahan?’ Pertanyaan seperti ini dan yang lain-lain membuat saya dan teman sekelas berdiskusi tentang peran pemerintah di hidup kita; di kelas History of South Asia saya belajar tentang agama Buddha, Hindu, Jain dan gimana mereka tumbuh dan mempengaruhi masyarakat Asia; di kelas International Trade saya belajar mengapa negara mengenakan tariff impor dan apa dampaknya di negara yang menggunakannya; dan di kelas International Relations, saya mempelajari teori-teori penting yang saya bisa menerapkan serta membuat saya lebih berwawasan tentang isu-isu kontemporari seperti konflik di Syria, Yemen dan laut Cina selatan. Karena kurikulum inti ini sangat membuat seseorang well-rounded, banyak orang yang menjuluki School of Foreign Service nya Georgetown University sebagai sekolah ‘untuk para calon diplomat.’

 

Tertarik untuk mendaftar di Georgetown University, Qatar?


Pengalaman Sekolah Teater di Luar Negeri

$
0
0

Nama saya Vania.  Saya ingin  bagi tips dan pengalaman nih, buat kalian yang memiliki passion di teater, sampai bela-belain mau kuliah teater di luar negeri seperti saya. Yuk simak ceritanya!

Ketika saya memilih untuk  mengambil sebagai jurusan kuliah, orang tua saya, terutama ibu saya, tidak  setuju akan pilihan ini. Mereka khawatir mau kerja apa nanti. Saya malah disuruh untuk mengambil jurusan film, tetapi saya bilang kalau saya tetap ingin kuliah di teater. Setelah lama berdiskusi, akhirnya mereka setuju walau masih dengan berat hati.

Tips pertama supaya buat kuliah kalian lancar, khususnya di luar negeri: Pick your own passion dan major, karena kalian yang kuliah dan menjalankan hal tersebut, bukan orang lain.

Mungkin kalian nanya, kenapa sih saya ingin belajar tater di luar negeri? Jawaban saya pasti: saya ambil teater karena saya punya passion untuk mengajarkan teman-teman saya di gereja acting skills yang baik dan benar, supaya ketika kita berkarya untuk Tuhan dan jemaat di gereja, kita berikan mereka yang terbaik, bukan akting yang abal-abal. Jadi awal mulanya saya tertarik pada teater itu karena Drama Ministry di gereja saya. Dari situlah saya  ambil jurusan teater di SMA saya (waktu itu saya ambil jurusan Bahasa atau Arts, maka dari itu ada penjuruan sesuai dengan minat masing-masing dan akhirnya keterusan sampai saya kuliah) .

Saya udah beritahukan orang tua saya bahwa saya tidak ingin  kuliah teater di Indonesia karena saya merasa kalau memang ingin belajar teater atau akting  yang bagus, seharusnya di luar negeri sehingga kita bisa dapat pendidikan secara keseluruhan. Di Indonesia, saya belum merasakan itu.

Akhirnya ibu saya mendaftarkan saya di Lasalle College of the Arts di Singapore. Saya tahu bahwa pilihan ibu saya adalah sekolah arts yang bagus. Saya ingat, pada waktu itu Lasalle College of the Arts masih baru buka.  Saya menempuh performing arts foundation dengan jurusan  teater  selama satu tahun, dan sempat juga mendapatkan beasiswa dari pemerintah Singapore. Namun, saya hanya bertahan selama 1 tahun dan 6 bulan lamanya di sekolah tersebut, dikarenakan apa yang saya pelajari tidak sesuai dengan tujuan utama saya, yaitu teater untuk Drama Ministry.

Akhirnya saya putuskan untuk berhenti sejenak dan mengambil kesempatan ikutan Actors Program di Amerika. Saya tinggal di Burbank, Los Angeles selama 3 bulan. Pada waktu itu, mata saya dibuka dari segi keterampilan sosial, kemandirian, financial literacy, bertemu temen-teman baru, dsb. Tapi ini semua diluar Actors Program tersebut ya.

Setelah saya pulang ke ke Indonesia, saya berpikir apakah benar passion saya di teater? Saya sempat berpikir untuk mengambil multimedia dan broadcasting. Saya juga sempat ikut program memasak selama satu tahun di Jakarta.

Suatu hari, saat saya  sedang menonton Teater Koma di Salihara, saya diingatkan kembali akan passion saya yang sesungguhnya. Baru sampai Salihara dan vibe teaternya, saya langsung merasakan perasaan ‘I am home’. Saya merasa seperti anak hilang yang bertemu dengan ibunya lagi. Dari situlah saya semakin yakin bahwa teater memanglah passion saya, khususnya teater untuk Drama Ministry.

Dari situlah saya mulai mencari program kuliah teater di luar negeri, tetapi kali ini adalah pilihan saya sendiri. Saya mencari tempat kuliah yang memiliki program Drama Ministry sehingga saya bisa membagi pengetahuan tersebut dengan teman-teman gereja saya, supaya akting mereka makin bagus. Ketika saya sedang membuka email, tiba-tiba muncul iklan kecil  ‘Study Drama Ministry in Australia’. Saya sangat senang dan langsng klik, munculah website Wesley Institute, yang sekarang namanya menjadi Excelsia College.

Excelsia College adalah sebuah institusi swasta di Sydney yang menerima murid internasional dan memiliki program sesuai dengan passion saya, yaitu teater untuk Gereja. Akhirnya, institusi tersebut adalah tempat saya bertumbuh dan mendapatkan gelar BA Dramatic Arts (Theatre Practice).

Di Excelsia College, walau universitas ini berlatar belakang Kristen, tetapi terbuka untuk umum. Disini saya belajar teater dari segi aspek yang berbeda. Dosen-dosen saya mengajarkan teater  dengan cara ‘holistic approach’ sehingga secara kedewasaan dan pengetahuan saya terus bertumbuh dan menjadi mandiri. Saya adalah satu-satunya orang Indonesia di sekolah itu.

Di Excelsia, satu kelas maksimum hanya 20-30 orang, jadi ukuran kelas yang dekat dan intimate sekali. Kami benar-benar mempelajari semua performance technique secara mendetail dan persahabatan teman-teman sekelas juga sangat erat sekali.

Kuliah teater di luar negeri, khususnya di Excelsia, ternyata tidak segampang yang saya pikir. Banyak tantangannya, khususnya kedisplinan atau professionalism dan bahasa. Saya pikir bahasa inggris saya sudah paling bagus dari antara semua teman-teman saya  di Indonesia ternyata lafal saya masih belum jelas dan masih banyak yang harus dipelajari.

Namun karena holistic approach tersebut, saya belajar sendiri dan teman-teman sekelas saya yang murid lokal juga membantu saya untuk artikulasi dan pronunciation. Bahkan, mereka ingin saya untuk mengajarkan mereka Bahasa Sunda dan Bahasa Indonesia. Bayangkan saja  bule menyebutkan ‘Wilujeng Sumping’ dan ‘Hatur Nuwun’ berkali-kali! Disekolah ini pula, saya sadar kenapa selagi di Actors Program di Amerika saya tidak lulus audisi untuk mendapatkan agent di Hollywood. Ternyata lafal saya masih belum jelas. Dosen ‘voice’ saya memberikan buku latihan untuk latihan lafal sehingga saya bisa jelas. Tanpa saya sadarkan, ternyata latihan untuk lafal berguna sampai sekarang loh… Banyak dari mahasiswa dan mahasiswi Indonesia yang terampil di reading and writing, tetapi masih kurang di lafal dan conversation.

Jadi begitulah teman-teman, perjalanan saya dalam mendapatkan gelar teater di luar negeri! Keuntungan yang didapat, jurusan teater itu sangat fleksibel. Kamu bisa kerja di bagian marketing, guru drama, creative director, guru bahasa inggris, sutradara, stage manager, lighting designer, sound designer, banyak deh! Di Excelsia, kamu bisa belajar sesuai dengan minat kamu ketika memasuki level dua. Saya sempat memilih fotografi , produksi video, set design, acting, directing, scriptwriting, film production, dsb.

Semoga cerita saya bermanfaat untuk teman-teman sekalian. Sekarang saya sudah balik ke Indonesia and berharap untuk ikut kontribusi keterampilan saya dalam lingkup seni di Indonesia, khususnya seni teater! Salam Mengglobal semuanya!! ☺

Photo courtesy of: Grobes Theater by eigner Quelle

Mengenai Studienkolleg

$
0
0

Artikel ini membahas lebih lengkap tentang Studienkolleg.

Para pelajar Indonesia dengan ijazah SMA atau sederajat yang ingin studi S1 di Jerman diwajibkan untuk terlebih dahulu mengikuti kelas persiapan masuk universitas atau pre-university course  yang disebut Studienkolleg. 

Pengecualian adalah beberapa program studi internasional yang menggunakan bahasa pengantar Inggris, yang masih sangat terbatas jumlahnya untuk jenjang S1. Studienkolleg berlangsung selama setahun.

Tergantung hasil tes masuk dan kebijakan masing-masing Studienkolleg, mahasiswa yang memiliki kemampuan jauh di atas rata-rata dapat diizinkan mengikuti Studienkolleg hanya setengah tahun saja.

Jenis-jenis Studienkolleg

Universitas di Jerman terdiri dari Fachhochschule (FH) dan Universität (Uni). Itu sebabnya Studienkolleg juga terdiri dari 2 macam: Studienkolleg FH dan Studienkolleg Uni. Pemegang ijazah Studienkolleg FH hanya diperbolehkan mendaftar ke FH saja, sementara pemegang ijazah Studienkolleg Uni diperbolehkan mendaftar baik ke FH mau pun Uni. Ijazah Studienkolleg berlaku di universitas seluruh Jerman. Perbedaan antara FH dan Uni secara umum bisa diilustrasikan sebagai berikut:

Beberapa jurusan hanya ada di FH, seperti desain, dan beberapa jurusan hanya ada di Uni, seperti kedokteran. Lulusan S1 dari FH bisa melanjutkan S2 di Uni dan sebaliknya. Namun lulusan S2 dari FH tidak bisa langsung melanjutkan S3 di Uni, tergantung kebijakan profesor masing-masing. Perbedaan lebih rinci mengenai FH dan Uni dapat dibaca di situs DAAD: Institusi Pendidikan Tinggi di Jerman.

Studienkolleg juga terbagi-bagi menjadi beberapa kelas (Kurs) sesuai dengan jurusan kuliah yang hendak ditempuh:

Pelajar Indonesia dari jurusan IPA di SMA diperbolehkan memilih dari semua jenis kelas Studienkolleg. Pelajar dari jurusan IPS atau bahasa hanya diperbolehkan memilih kelas yang ada hubungannya dengan mata pelajaran di SMA. Informasi lebih merinci mengenai Studienkolleg serta lokasi-lokasinya di seluruh Jerman dapat dibaca di situs DAAD: Studienkolleg dan Studienkollegs.de.

Cara mendaftar Studienkolleg

Perlu diingat bahwa pada umumnya calon mahasiswa tidak bisa mendaftar langsung ke Studienkolleg melainkan harus mendaftar ke salah satu FH atau Uni yang ada di negara bagian tempat Studienkolleg itu berada. Pengecualian di beberapa Studienkolleg, terutama Studienkolleg swasta, calon mahasiswa dapat langsung mendaftar ke Studienkolleg itu sendiri tanpa harus melalui FH atau Uni. Agar tidak salah langkah, calon mahasiswa wajib mencari informasi dari situs Studienkolleg yang diminatinya.

Contoh: Budi ingin mendaftar untuk kelas T-Kurs di Studienkolleg Hannover yang merupakan Studienkolleg Uni. Alur perjalanan Budi hingga masuk Studienkolleg adalah:

  1. Memilih salah satu institusi pendidikan yang ada di negara bagian tempat Studienkolleg Hannover berada, yakni Niedersachsen.
  2. Ada banyak FH dan Uni di Niedersachsen yang menawarkan program studi teknik. Misalnya Budi memilih  Uni Hannover.
  3. Setelah melihat-lihat di situs Uni Hannover, Budi tertarik dengan program studi Mekatronik di Uni Hannover.
  4. Budi kemudian mendaftar di Uni Hannover untuk program studi Mekatronik di Uni Hannover.
  5. Jika syarat-syarat dokumen terpenuhi, Uni Hannover akan mengirimkan surat undangan tes masuk di Studienkolleg Hannover. Akan tertera juga dalam surat bahwa jika Budi berhasil masuk, menyelesaikan dan mendapat ijazah Studienkolleg dengan nilai yang ditentukan, Budi akan langsung diterima menjadi mahasiswa jurusan Mekatronik di Uni Hannover.
  6. Surat undangan tes masuk tersebut dilampirkan oleh Budi sebagai salah satu syarat dokumen untuk mengajukan visa studi di kedutaan besar Jerman.
  7. Sesampainya di Hannover, dengan membawa surat undangan, Budi mengikuti tes masuk Studienkolleg di sesuai jadwal yang ditentukan.
  8. Setelah lolos tes masuk, Budi dapat mengikuti Studienkolleg di Hannover selama setahun atau tergantung nilai tes masuk Budi, Budi berkemungkinan diperbolehkan untuk „lompat kelas“.

Ujian masuk Studienkolleg

Calon mahasiswa disarankan mendaftar dan mengikuti tes masuk Studienkolleg sebanyak mungkin agar memiliki „cadangan“ yang cukup. Calon mahasiswa yang dalam 2 semester berbeda telah gagal lolos tes masuk Studienkolleg tidak diperbolehkan untuk menempuh studi S1 di Jerman. Artinya, jika seorang calon mahasiswa gagal lolos tes masuk Studienkolleg di semester A dan masih juga gagal di semester B, calon mahasiswa ini dipersilakan pulang ke Indonesia dan tidak diperbolehkan menempuh studi S1 di Jerman. Akan tetapi calon mahasiswa ini diperbolehkan kembali ke Jerman untuk menempuh studi S2 di kemudian hari. Baik di semester A mau pun B, calon mahasiswa diperbolehkan mengikuti tes masuk sebanyak-banyaknya.

Sekali pun memiliki peraturan yang ketat, ujian masuk Studienkolleg tidaklah seseram itu. Ujian Studienkolleg terdiri dari ujian bahasa Jerman dan ujian matematika (kecuali G-Kurs dan S-Kurs). Untuk beberapa kelas terdapat juga ujian bahasa Inggris. Calon mahasiswa dari Indonesia tidak perlu khawatir dengan ujian matematika dan bahasa Inggris karena pada umumnya tingkat kesulitan ujian tersebut sesuai kemampuan pelajar lulusan SMA dari Indonesia. Untuk ujian bahasa Jerman, calon mahasiswa disarankan untuk menyiapkan diri dengan banyak berlatih mengerjakan contoh-contoh soal tes masuk Studienkolleg (bisa didapat di situs tiap Studienkolleg).

Kegiatan di Studienkolleg

Studienkolleg menerapkan sistem absensi dan jadwal pelajaran yang terstruktur dari Senin hingga Jumat, dimulai pada umumnya pukul 8 pagi hingga 1 atau 2 siang. Ada kuota kehadiran yang harus dipenuhi setiap mahasiswa untuk bisa „naik kelas“ atau menulis ujian di akhir semester. Setiap kelas di Studienkolleg biasanya terdiri dari 15 hingga 20an orang yang datang dari bermacam-macam negara. Sama seperti sekolah, guru-guru di setiap pelajaran akan memberikan tugas atau ulangan di tengah semester. Ada juga karyawisata. Dalam setahun ada 4 kali liburan sesuai dengan musim, masing-masing sekitar 2 minggu, terkecuali liburan musim panas yang berlangsung selama sebulan.

Biaya Studienkolleg

Studienkolleg yang dikelola pemerintah menerapkan biaya yang sama seperti universitas, yakni 200-300€/semester. Setiap mahasiswa Studienkolleg juga mendapatkan fasilitas yang sama seperti mahasiswa universitas, termasuk diperbolehkan mengakses koleksi perpustakaan universitas, potongan harga yang diberikan di kantin universitas dan fasilitas transportasi dalam kota dan/atau antar kota.

Pasca Studienkolleg

Setelah menempuh Studienkolleg, mahasiswa wajib mengikuti ujian akhir kelulusan Studienkolleg yang disebut Feststellungsprüfung (FSP). Mata pelajaran yang diujikan sesuai dengan mata pelajaran yang dipelajari selama Studienkolleg. Jika tidak lulus, mahasiswa memiliki 1 kesempatan lagi untuk mengulang ujian semester berikutnya setelah mengikuti satu semester tambahan di Studienkolleg. Jika tidak lulus juga, mahasiswa dipersilakan kembali ke Indonesia dan tidak diperbolehkan menempuh studi S1 di Jerman.

Setelah lulus ujian FSP dan mendapatkan ijazah, mahasiswa dapat segera masuk universitas yang sedari awal didaftarnya (dalam kasus Budi adalah jurusan Mekatronik di Uni Hannover) atau dapat juga mendaftar ke jurusan lain di institusi pendidikan seluruh Jerman yang sesuai dengan kelas serta jenis Studienkolleg yang telah ditempuh.

INTRODUCING INDONESIA MENGGLOBAL’S NEW TEAM!

$
0
0

We are happy to announce Indonesia Mengglobal’s new team members for 2016!

Please join us to welcome the new team and bid farewell to our wonderful alumnae who have done a fantastic job! All of us are eager to serve you in the coming year by providing insightful content from our contributors and columnists, as well as offering useful information that facilitates studying overseas.

General Manager

Tiffany Robyn Soetikno

Team Leaders

  • Editor-in-Chief: Artricia Rasyid
  • Head of Communication: Steven Tannason
  • Head of Mentorship Program and Partnership: Santi Dharmawan

Advisory Committee

  • Veni Johanna
  • Martin Tjioe
  • Donny Eryastha
  • Stevia Angesty

Technical Directors

  • M. Redho Ayassa
  • Adam Pahlevi

Content Directors

  • North America: Daniel Suryanata
  • UK/Europe: Najwa Sungkar
  • UK/Europe: Citta Widagdo
  • Australia: Hadrian Pranjoto
  • Asia: Hening Citraningrum

Columnists

  • North America: Robin Hartanto
  • UK/Europe: Josefhine Citra
  • UK/Europe: Ethenia Windaningrum
  • Australia: Mary Rasita
  • Asia: Eric Valega

Communications Team

  • Communication Director – Social Media: Arya Satya Nugraha
  • Communication Director – Events: Bima Aryuma

Mentorship Chair

Brigita Darminto

Partnership

Ari Dwijayanti

Alumni

  • Christina Juwita
  • Mega Mariesta Dewi
  • Jaya Setiawan Gulo
  • Maria (Sasha) Tjahjadi
  • Adi Wijaya Gani
  • Cecilia Liando
  • Nandra Galang Anissa
  • Khairunnisa Usman
  • Naftaly Kitty
  • Raymond Henka
  • Alicia Kosasih

Again, we are eager to serve you in the coming year and we are always welcome for feedbacks/comments! Do follow us on Social Media to be updated on our activities!

Twitter :  @Indomengglobal 

Facebook : Indonesia Mengglobal 

Youtube: Indonesia Mengglobal

Google+ : Indonesia Mengglobal

Proposal yang Memenangkan Perhatian

$
0
0

Komai Fellowship dari Hitachi Foundation

Saya seorang dosen tetap program studi Jepang UI yang sedang cuti tugas belajar untuk menempuh pendidikan doktoral di Japanese Modern Literature Program, Graduate School of Letters, Hiroshima University. Melalui tulisan ini, saya ingin berbagi pengalaman mengenai perolehan hibah Komai Fellowship dari Hitachi Foundation Juli-Agustus 2015 yang lalu.

Bagi dosen dan/atau peneliti, mendapatkan dana hibah (dalam maupun luar negeri) akan berdampak secara signifikan dalam karir. Tentu saja dalam jangka panjang dana hibah yang diperoleh hendaknya dimanfaatkan untuk proyek-proyek pengabdian bagi masyarakat (pengmas) sehingga dampak itu dapat dirasakan manfaatnya oleh orang banyak. Namun tidak dapat dipungkiri, bagi dosen dan/atau peneliti yang masih hijau seperti saya, pengalaman memperoleh dana hibah akan mempercantik CV dan menjadi poin plus yang dipertimbangkan tim penilai saat membaca aplikasi (beasiswa, misalnya) kita.

Komai Fellowship dari Hitachi Foundation adalah hibah yang diberikan khusus untuk dosen bidang ilmu sosial dan humaniora di universitas-universitas di Asia Tenggara yang penelitiannya berkaitan dengan Jepang. Untuk informasi lengkap, silakan buka situs Hitachi Foundation di: http://www.hitachi-zaidan.com/global/scholarship/activities/active03.html

Dua proposal untuk Dua Tujuan Berbeda

Salah satu syarat terpenting yang harus dipenuhi ketika mengajukan aplikasi Komai Fellowship adalah Letter of Acceptance (LoA) dari profesor di Jepang yang akan bertanggungjawab menjadi supervisor kita selama mengadakan penelitian di Jepang. Artinya, penerima hibah sudah memiliki rencana yang jelas akan mengadakan penelitian di universitas mana dan di bawah bimbingan siapa. Untuk itu, setelah membaca dengan teliti persyaratan apa saja yang membuat kita eligible untuk mengajukan aplikasi Komai Fellowship, langkah pertama yang harus dilakukan adalah menghubungi profesor di Jepang yang sebidang dan mempunyai minat yang sama dengan kita. Perlu diketahui bahwa kemampuan berbahasa Jepang bukanlah keharusan untuk pertimbangan hibah Komai Fellowship. Tetapi, karena program ini turut melibatkan profesor di Jepang, pastikan bahwa beliau bersedia membimbing peneliti asing yang tidak mampu berbahasa Jepang.

Berburu profesor yang bersedia membimbing kita adalah proses yang membutuhkan kesabaran ekstra. Maka, sediakan waktu paling tidak sehari penuh untuk googling di internet mengenai profesor di Jepang yang penelitiannya sebidang dengan kita. Ketik saja tema penelitian kita sebagai kata kunci ketika googling. Bisa jadi profesor yang mungkin berjodoh dengan penelitian kita tidak hanya satu. Perlu dicek lagi CV-nya beliau-beliau itu dan afiliasinya di universitas mana. Kalau sudah menyeleksi kira-kira beberapa profesor yang paling cocok, hubungilah beliau-beliau itu melalui e-mail. Biasanya informasi mengenai e-mail para profesor ini dicantumkan di situs universitas.

Terus terang saya beruntung tidak membutuhkan waktu lama untuk berburu profesor karena bidang penelitian saya sangat spesifik. Jadi, ketika saya mengetik tema penelitian saya sebagai kata kunci, nama dan afiliasi profesor ini langsung keluar. Saya juga beruntung karena profesor ini langsung menyatakan kesediaan untuk membimbing saya.

Hal yang perlu diingat adalah etika dalam berkorespondensi untuk pertama kalinya dengan profesor. Ada baiknya dalam e-mail perdana tidak hanya memperkenalkan diri, tetapi sekaligus mengirimkan CV dan proposal kita sebagai bahan pertimbangan beliau.

Menulis proposal adalah hal yang paling tricky menurut saya, terlebih dalam hal ini ada dua pihak yang akan menerima proposal saya; 1) profesor di Jepang; dan 2) tim penilai di Hitachi Foundation. Menurut saya, menulis proposal untuk profesor jauh lebih mudah jika dibandingkan proposal untuk ke tim penilai Hitachi Foundation. Bagaimana pun, profesor yang sebidang dan memiliki minat yang sama dengan kita pasti paham dengan apa yang akan kita bahas, sehingga untuk memenangkan perhatian beliau adalah bagaimana penelitian kita dapat memberikan kontribusi baru dalam bidang ilmu kita.

Proposal untuk Profesor

 Tidak ada format khusus untuk proposal yang akan dikirimkan ke profesor. Format bebas asalkan memenuhi standard umum penulisan proposal (latar belakang, hipotesis, rumusan masalah, tujuan penelitian, metode penelitian, langkah-langkah penelitian, dan daftar pustaka). Hanya saja berdasarkan pengalaman dan sepengetahuan saya, profesor di Jepang lebih menyenangi penelitian yang dilandaskan pada penelitian terdahulu atau dalam bahasa Jepang dikenal dengan istilah senkoron (先行論). Senkoron agak berbeda dengan kerangka konseptual yang selama ini kita kenal. Kerangka konseptual lebih berkaitan dengan teori atau pendekatan yang kita gunakan, sementara senkoron adalah penelitian yang pernah dilakukan orang lain yang temanya berkaitan langsung dengan penelitian kita; hipotesis bisa sama bisa tidak, metode bisa sama bisa tidak. Dengan kata lain, senkoron sifatnya lebih spesifik dibandingkan kerangka konseptual. Berdasarkan senkoron ini pula kita dapat meletakkan posisi penelitian kita di antara sekian penelitian dengan tema sama yang pernah dilakukan sebelumnya. Tentunya akan ada poin plus jika kita dapat menyebutkan kebaruan dalam penelitian kita sebagai bentuk kontribusi pada bidang ilmu yang kita geluti.

Apabila profesor sudah bersedia membimbing kita. Mintalah LoA kepada beliau. LoA ini juga tidak ada format khusus, yang penting menyebutkan kesediaan beliau dalam membimbing kita selama mengadakan penelitian di Jepang (lihat gambar 1). LoA ini yang akan kita sertakan dalam aplikasi Komai Fellowship. Berhubung pengiriman LoA asli butuh biaya, jelaskan kepada profesor bahwa kita bersedia membayar biaya pengiriman (Alhamdulillah waktu itu profesor saya menolak tawaran saya untuk membayar biaya pengiriman, hehehe).

Mengingat proses panjang mulai dari berburu profesor sampai mendapatkan LoA, buatlah timeline agar tidak terburu-buru saat mengajukan aplikasi Komai Fellowship (deadline biasanya 31 Oktober).

 Proposal untuk Hitachi Foundation

Jika urusan dengan profesor di Jepang sudah selesai, tibalah waktunya menulis proposal untuk tim penilai Hitachi Foundation. Tidak ada lembar khusus proposal dalam dokumen aplikasi Komai Fellowship. Apa yang mau kita teliti dan signifikansi penelitian kita digabung ke dalam formulis aplikasi (lihat gambar 2 dan 3), jadi tentu saja kita tidak bisa copy-paste proposal yang sudah kita buat begitu saja ke fomulir aplikasi . Di sini dibutuhkan trik karena memenangkan perhatian tim penilai dari pemberi dana tidak sama dengan memenangkan perhatian profesor.

Sebagai orang yang menggeluti bidang ilmu yang dianggap abstrak dan dampaknya tidak langsung dirasakan masyarakat (baca: ilmu sastra), menulis proposal untuk mendapatkan hibah butuh kerja keras ekstra. Istilahnya, perlu memeras otak untuk meyakinkan pemberi dana bahwa apa yang kita teliti tetap punya dampak, paling tidak kontribusi di dalam debat akademis yang sifatnya lebih luas (tidak hanya pada ilmu sastra). Penting bagi kita untuk mengikuti logika pemberi dana: mereka ingin agar uang mereka digunakan untuk hal yang bermanfaat (bukan untuk alasan ingin main di Jepang, hehehe).

 Tips-tips Penulisan Proposal

Dengan demikian, hal dasar yang membedakan antara proposal untuk profesor dengan proposal untuk tim penilai adalah universalitas tema. Kalau ke profesor, kita bisa sespesifik mungkin, tetapi jangan gunakan trik yang sama untuk pemberi dana. Mereka belum tentu paham dengan apa yang akan kita teliti (dan mereka tidak akan peduli). Mereka hanya ingin tahu apakah penelitian kita dapat memberi kontribusi umum. Di sini, justru kita harus menempatkan penelitian kita dalam kerangka konseptual dan perdebatan akademis mutakhir. Berdasarkan pengalaman saya, saya mencoba menempatkan tema penelitian saya dalam tema universal yang  berterima dalam bidang ilmu sosial dan humaniora pada umumnya (sejarah, sosiologi, antropologi, dll). Dengan menyentuh tema universal, saya sekaligus berusaha meyakinkan bahwa bidang sastra hanyalah salah satu ‘alat’ yang dapat digunakan untuk mengkaji tema tersebut.

Berkaitan dengan universalitas tema, hindari jargon-jargon berlebihan, terutama yang spesifik di bidang kita. Sekali lagi, tim penilai belum tentu paham dengan apa yang akan kita bahas. Jika proposal kita bertabur jargon, jangankan terdengar sophisticated, yang ditakutkan mereka malas membaca proposal kita. Gunakan bahasa yang sederhana saja, sebab yang penting adalah posisi penelitian kita dalam perdebatan akademis.

Sebagai penutup tulisan, saya ingin membagi satu rahasia dapur. Ketika saya menyerahkan laporan penelitian saya di kantor Hitachi (dilanjutkan dengan ngobrol santai), saya sempat bertanya apa yang membuat mereka bersedia memberikan dana hibah ke saya. Mereka menjawab bahwa mereka dapat merasakan passion saya melalui proposal serta jawaban-jawaban saya dalam wawancara kandidat. Selain itu, mereka juga lebih senang memberikan dana hibah kepada peneliti yang ‘mempromosikan’ Jepang dalam perdebatan akademis yang universal, dan bukan menekankan pada keunikan Jepang. Maksudnya apa?

Mereka tidak ingin Jepang hanya dikenal dengan gemerlap budaya pop ataupun informasi usang yang berulang, terutama berkaitan dengan pandangan bahwa seolah-olah Jepang merupakan negara dengan budaya paling unik sedunia. Sebaliknya, mereka ingin Jepang ditempatkan secara proporsional dalam perdebatan akademis, karena mereka butuh gagasan segar para peneliti asing yang mampu melihat Jepang dari kacamata berbeda :)

 

Semoga sukses!

***

(Disclaimer: Tulisan saya murni berdasarkan pengalaman pribadi. Saya tidak menjamin jika langkah-langkah yang saya sebutkan dalam tulisan ini akan memuluskan jalan dalam mendapatkan hibah karena adanya faktor lain di luar kekuasaan kita)

Content edited by Artricia Rasyid
Photo Courtesy: Author’s Collection & Creative Commons

Membagi Waktu Antara Kelas, 2 Pekerjaan, dan Memimpin Organisasi Mahasiswa Selama Kuliah

$
0
0

The many resources available at the University of Toronto (UofT) ignited this spirit in me to explore beyond the classroom walls. As a senior at the University of Toronto, I worked, taught, and lead the Indonesian Student’s Community at UofT. My recent interest in the financial field has led me to accept an analyst position at a hedge fund; where I would come in 2-3 days a week for a full day of work. I’ve always enjoyed teaching and thus decided to accept a teaching position at school; where I would teach a finance class once a week. And throughout the past 3 years, I have been actively involved in the Indonesian Student’s Community at UofT and was encouraged by the seniors to take on a leading position. On top of all that, I was enrolled in a full course load.

Trinity College Quad at the University of Toronto

Only by combining technical knowledge from academics, with experience outside the classroom was I able to have a richer learning experience. Working in teams, performing in high-pressure environments, as well as dealing with difficult clients are only a small part of what I learned outside the classroom. However, the fact that I was getting paid meant that so much was expected of me as opposed to the academic setting; where I paid to learn, here I was paid to learn.

Having said this, continuous class participation, networking attendance, and involvement in clubs, societies, and competitions have led to the job offers. Mind you that I’m not here to dismiss the importance of school. In fact I would not have received these offers without it. For those of you without any work experience or leadership roles, remember that it’s never too late to start. There are plenty of opportunities as long as you’re willing to dedicate yourself to a cause. And for those intending to take on the same challenge, I would like to leave you with three important tips I have found very helpful.

1. Understand your end goal, but be open to new ideas.

Fisher Rare Library at the University of Toronto

This will help you build a framework for decision making and keep you focused on your goal amid trend waves. This is not to say that you shouldn’t be open to new ideas. But it’s really your judgement call combined with experience.  Aside from the responsibilities I chose to bear, I was asked lead as the finance director of the undergraduate commerce society. I was also invited to represent the school in numerous global competitions such as the CFA Research Challenge and the Rotman International Trading Competition. These offers may lead to interesting opportunities I must say, but knowing my limits, I kindly declined. I was lucky enough to be able to seek counsel from those that went beyond me.  But most importantly, having clearly defined goals helped me narrow down my options.

 

Remember also that you have limited time. It is therefore important to prioritize. This can be done easily when you understand your goals. When I agreed to take on the load, I was ready to say goodbye to much of my social life. For me, it was a sacrifice worth making because I understood that I needed to develop certain skills to reach that goal. It’s important to note that people’s goals vary and something I value highly may be worthless for others. So be careful to whom you seek counsel to.

2. Know your limits, both physically and mentally

Activities at University of Toronto

Many were the days when I felt so sleep-deprived that I forgot how it feels to have enough sleep. When that time comes, I suggest that you take the much needed break. Recharge by doing something you love with somebody you love. As for me, I enjoy spending time in the squash court, running, biking and a lot of other outdoor nature related activities (when the weather permits, which doesn’t happen quiet often in Toronto). I also go out on a food binge with my close circle. In addition, there’s always something happening in Toronto. Even when you’re not in the city, there are plenty of campus events and facilities you can make use of. Go out and explore.

Even machines need their maintenance. But make sure you don’t get carried away by your down time. Be aware of your responsibilities and reschedule your tasks to ensure timely completion.

3.       Don’t be thoughtless

Sometimes you get so caught up with trying to get the work done.  You lose so much of your focus when sleep deprived and this leads to careless errors or what I call thoughtless mistakes. These mistakes come in many forms. In my case as an analyst, I was able to identify data that were outliers and this led me to conclude that my team was not using the right data for our analysis. I escalated this problem to my manager and we steered our analysis in a different way.

Or let’s say you have a retail job and your manager asked you to do a stock take on an item. Let’s say your stock take this year totaled to 100 products when the previous year’s stock take recorded 500. This should prompt you to question the difference. Why the drastic change? Was it because we sold more? Or did we trim down our inventory this year due to changes in policy?

Here are some tips on how you could avoid these thoughtless mistakes:

Clarify your task or work objectives with your senior. Make sure you know what sort of output they expect and always perform a sanity check.

Questions to ask when performing sanity checks:

  • Do the numbers make sense?
  • In what way will my output be utilized by others? How will my output be somebody else’s input?

This is important primarily because:

  • You don’t want to make a fool of yourself in front of your seniors because people’s perception of you is skewed towards your last performance.
  • You get brownie points from those around you for spotting these errors. In my case, it was noticing that we had used the wrong data for our analysis.

This rule is applicable again to all aspects of life. Don’t’ be thoughtless in your relationship with your colleagues, friends and family. This attentive attitude made a positive difference in how I respond to situations thrown at me and people around me.

Regardless of the challenges you decide to take on, put 110% into everything. Discipline goes a long way and don’t forget to be daring while you can.

 

Photo credit pinterest.com, Dailymail.co.uk, blogut.ca, personal collection.

Nyemplung di Kanada timur: Apa sih rasanya sekolah di ‘antah berantah’?

$
0
0

Kebanyakan orang yang dengar kata-kata ‘New Brunswick’ biasanya bertanya, “dimana itu?” atau “kenapa kamu pilih sekolah di ‘antah berantah’?”

Ya, tahun 2013 kemarin saya lulus dengan Bachelor of Arts di jurusan Jurnalistik, serta Honours di jurusan Hubungan Internasional dari St. Thomas University, di Fredericton, New Brunswick, Kanada. Tepatnya Atlantic Canada – sebutan untuk provinsi-provinsi yang berbatasan atau berada di Laut Atlantik. Almamater saya sudah lebih dari seratus tahun umurnya, bertahan dengan spesialisasi di Liberal Arts untuk level S1, dan sekitar 2,000 hingga 3,000 murid per tahun.

New Brunswick sering di sebut ‘antah berantah’ atau ‘desa’ karena memang populasi nya kecil – tidak sampai satu juta orang dan Fredericton populasinya hanya sekitar 60,000 orang. Tapi saya sudah tinggal di provinsi ini lebih dari enam tahun, banyak yang bertanya, ‘memangnya enak tinggal di tempat kecil?’

Setiap tempat bagi saya punya sisi positif dan negatif. Dalam hal kuliah dan bekerja, saya menikmati sekali waktu saya disini. Beberapa poin mengenai kuliah akan saya ulas dibawah:

Fokus – Karena tinggal di Fredericton itu tidak seperti di kota besar, dimana banyak sekali pilihan kegiatan di luar sekolah yang bisa diikuti para pelajar. Di Fredericton juga banyak kegiatan dan saya orang yang suka bergaul, tetapi pilihannya lebih sedikit dibanding kota-kota metropolitan seperti Toronto, Montreal, atau Vancouver. Karena itu, saya jadi lebih mudah fokus terhadap pendidikan saya. Selain itu, di kota kecil pun banyak kesempatan berprestasi di kampus, misalnya dengan mengikuti program model UN, dimana murid-murid diseleksi untuk mewakili universitas di Harvard National Model UN.

Gampang Menabung – Karena di kota kecil seperti Fredericton pilihan pertokoan lebih sedikit, dan barang-barang paling unik biasanya bisa ditemukan di toko secondhand atau thrift store dengan harga murah, saya jadi bisa lebih mudah mengatur pengeluaran.

Komunitas yang Ramah – Komunitas kecil biasanya lebih ramah, sama juga di Fredericton. Sering sekali saya disapa orang tak dikenal yang sedang jalan atau lari pagi. Bukan hanya itu, networking pun lebih mudah karena banyak orang yang kenal satu sama lain dan saling memperkenalkan. Bantuan pun tidak susah didapat. Saya kenal dekat dengan professor-profesor saya, antara lain karena sering berpapasan juga.

Dekat dengan alam – Propinsi ini masih hijau sekali, sampai-sampai, waktu saya dan ibu saya akan mendarat untuk pertama kalinya, ibu saya panik. Dari atas pesawat baling-baling, yang dilihat hanya hijau. Ibu saya bertanya, “kamu yakin ada universitas disini?” Ternyata ada! Buktinya, sekarang saya sudah sarjana, hehehe. Tetapi, tanpa hutan beton, Fredericton justru memiliki sungai yang membagi  kota menjadi dua. Seru sekali bermain kayak dan canoe, dan berjemur di pantai di musim panas. Banyak sekali lahan hijau untuk sekedar tidur-tiduran menikmati udara hangat sambil mendegarkan musisi yang bermain dalam festival music lokal. Juga banyak jalan khusus melewati hutan dan perumahan untuk para pelari, pejalan kaki dan yang suka bersepeda.

Nyemplung dalam budaya unik Kanada – Walaupun budaya Kanada sangat multicultural dan beragam, di New Brunswick populasinya masih mayoritas penduduk-penduduk keturunan Eropa, khususnya Inggris dan sekitarnya, dan Prancis. New Brunswick juga tempat tinggal beberapa suku First Nations atau aboriginal Amerika Utara, seperti Mi’kmaq dan Maliseet. Disaat liburan natal dan paskah, saya sempat mencoba kemping di tengah hutan saat bersalju, bermain ski-doo, belajar ice skating, mencicipi sirup maple langsung dari pohonnya dan sebagainya. Sedikit sekali orang Indonesia disini. Waktu saya kuliah, di kampus saya dan kampus sebelah, University of New Brunswick yang hampir tiga kali lebih besar, hanya ada tiga murid Indonesia. Empat kalau menghitung murid blasteran yang hanya pernah tinggal di Indonesia dua tahun. Cari makanan Indonesia pun susah, kecuali Indomie dan kecap manis yang dijual di toko milik orang Malaysia. Jadi, mau tidak mau, saya pun bergaul dengan orang-orang dari berbagai negara, dari ujung Afrika sampai ujung Asia. Saya mencicipi makanan-makanan buatan teman-teman saya tersebut. Perspektif budaya saya tertantang dan pikiran saya tambah terbuka. Dan sekarang saya ketagihan makanan khas negara-negara Afrika barat!

Tapi, dingin! – Ya, di Fredericton lebih dingin daripada kota kota besar seperti Toronto. Saya sekarang sudah berekspektasi cuaca -30 derajat Celsius dan salju sampai setengah badan saya kalau musim dingin. Tapi untuk saya, musim dingin pun seru karena penuh dengan aktifitas seperti skating dan tobogganing (meluncur diatas papan dari atas bukit bersalju). Saat bunga-bunga mulai mekar kembali dan orang-orang mulai pakai celana pendek, rasanya nikmat sekali! Senyum sumringah, sampai merasa kepanasan di tengah musim panas, hehe.

Terjun di tempat baru itu bisa mengerikan dan membingungkan, tapi asal kita membuka diri, kota kecil pun bisa jadi sangat menyenangkan. Jangan sungkan mencoba belajar di New Brunswick atau ‘antah berantah’ lainnya, siapa tahu Anda jatuh cinta!

 

Photos:

Tim St. Thomas untuk Harvard National Model UN 2012

 

Bersama mantan international student advisor St. Thomas, Judy Coates, dan ibu saya

 

Di halaman depan kampus bersama ibu dan adik saya

 

Photo Courtesy: Author’s Collection

Q&A: Membawa Keluarga Saat Studi Lanjut di Luar Negeri

$
0
0

Membawa keluarga saat studi lanjut di luar negeri tentu sebuah keputusan yang memerlukan berbagai pertimbangan. Kali ini Indonesia Mengglobal berbincang dengan Iryanti Nata yang membawa serta kedua anaknya saat melanjutkan studi S3 di Taiwan.

Halo, bisakah Anda menceritakan sedikit tentang diri Anda pada rekan-rekan pembaca Indonesia Mengglobal?

Saya Iryanti Fatyasari Nata. Sejak tahun 2000, saya menjadi staf akademik di Program Studi Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Lambung Mangkurat, Kalimantan Selatan. Untuk memenuhi kualifikasi sebagai tenaga pendididik, pada tahun 2008 saya memutuskan untuk studi lanjut ke jenjang S3 di jurusan Teknik Kimia, National Taiwan University of Science and Technology (Taiwan Tech), Taipei, Taiwan. Saya memperoleh gelar PhD pada tahun 2011.

Anda dan suami memutuskan untuk membawa keluarga saat melanjutkan studi di Taiwan. Apa yang mendasari keputusan tersebut?

Seorang ibu pastilah selalu ingin bersama anak-anaknya, apalagi saat usia mereka adalah usia yang masih membutuhkan bimbingan orang tua. Sebelum studi lanjut ke jenjang S3, saya dan suami mengikuti short course di University of Sydney, Australia selama kurang lebih 2,5 bulan.  Niat kami saat itu sekaligus untuk penjajakan studi lanjut dan melihat segala kemungkinannya. Saat itu anak-anak kami titipkan pada orang tua kami. Tetapi yang kami rasakan saat itu, bukan berkonsentrasi mengikuti programnya namun terus teringat dengan anak-anak. Sejak saat itu kami pun memutuskan jika melanjutkan sekolah S3 anak-anak harus turut serta. Untuk itu sekolah yang kami tuju harus memenuhi kriteria yang kami inginkan, artinya sebagai mahasiswa diperbolehkan saja membawa serta keluarga.

Bagaimana pertimbangan Anda dan suami dalam memilih negara tujuan dan pembimbing?

Sebelum melakukan penjajakan studi lanjut di Australia, kami telah mendaftar di Taiwan Tech. Pemilihan Taiwan Tech sebagai tujuan kami merupakan masukan dan dukungan dari dosen pembimbing kami pada saat S2 di Institut Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya. Kami kemudian dinyatakan diterima di Taiwan Tech sebagai mahasiswa doktoral dengan beasiswa dari pemerintah Taiwan. Tetapi ternyata kegembiraan itu hanya sesaat, pada saat pengurusan visa, ternyata aturan dari negara tersebut tidak memperbolehkan membawa serta keluarga/anak jika orang tuanya belum satu tahun tinggal di Taiwan. Mempertimbangkan ini, akhirnya keputusan yang kami ambil adalah suami akan berangkat duluan dan saya menyusul setahun kemudian beserta anak-anak. Saya yakin ini adalah jalan terbaik buat kami sekeluarga, walapun suami sementara waktu terpisah. Waktu setahun tersebut juga sangat memberikan manfaat untuk mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan. Misalnya, suami sudah mempunyai gambaran tentang pembimbing yang cocok untuk saya dengan kondisi keluarga, sehingga dapat mengkomunikasikan hal ini dengan pembimbing agar mengerti dengan kondisi kami, di mana kondisi tersebut diharapkan tidak mengurangi tugas dan kewajiban sebagai seorang mahasiswa doktoral.

Bagaimana cara Anda membagi waktu antara tanggung jawab sebagai mahasiswa doktoral dan sebagai seorang istri dan ibu?

Konsekuensi yang saya hadapi dengan keputusan membawa serta anak-anak adalah harus dapat mengatur waktu untuk peran saya sebagai seorang mahasiswa dan seorang ibu. Strategi yang saya gunakan adalah memaksimalkan waktu yang saya miliki saat berada di kampus. Saya terbiasa membuat jadwal apa yang akan saya lakukan di setiap harinya, sehingga saya dapat mengontrol kegiatan apa saja yang akan saya kerjakan. Pagi hari ketika anak-anak berangkat ke sekolah, saya juga berangkat ke kampus dan mengerjakan tugas saya di kampus hingga pukul 4 sore. Selanjutnya saya dan suami menjemput anak-anak sekolah dan kemudian menghabiskan waktu yang tersisa untuk keluarga. Anak-anak kami bersekolah di Gongguan Kindergarten and Elementary School yang lokasinya tepat di belakang kampus. Semua aktivitas yang dilakukan tidak lepas dari dukungan suami, kami dengan bahu membahu menyelesaikan semua tugas kami sebagai orang tua. Pada akhir minggu kami memanfaatkan waktu untuk refreshing, baik dalam bentuk kegiatan belajar sambil bermain, travelling di Taiwan, dan aktivitas lainnya yang dapat menyegarkan kembali semangat kami untuk memasuki hari pertama di minggu berikutnya.

Karena anak-anak Anda masih dalam usia sekolah, hal apa saja yang Anda pertimbangkan dalam memilih sekolah bagi mereka di negara tujuan?

Pemilihan sekolah untuk anak-anak juga merupakan prioritas bagi kami. Dengan adanya jeda waktu setahun saat suami berangkat terlebih dahulu, suami dapat mencari sekolah yang cocok untuk anak-anak. Kendala utama memang bahasa. Di balik kendala ini, terselip kemudahan yang sangat kami rasakan saat itu. Salah satu rekan yang juga menempuh studi lanjut bersama keluarga di Taiwan memperkenalkan kami pada sekolah (saat itu TK) yang salah satu pekerjanya adalah tenaga kerja Indonesia, sehingga untuk tahap awal komunikasi dapat berjalan. Diperlukan waktu 4 bulan bagi anak-anak untuk dapat berkomunikasi dengan baik dalam bahasa Mandarin.

Pada saat itu usia anak-anak kami 5 tahun dan 2 tahun, sedangkan untuk mendaftar di public school usia anak haruslah minimal 5 tahun. Karenanya kami memilih private school, juga karena kami tidak ingin memisahkan mereka dengan memasukkan mereka ke sekolah yang berbeda. Kami melihat pada kondisi awal mereka merasa nyaman jika bersama-sama. Pada usia 7 dan 5 tahun, barulah mereka kami masukkan ke public school, di mana saat itu sudah tidak ada kendala komunikasi. Kami merasa lega melihat tumbuh kembang mereka.

Apa yang Anda lihat menarik dari pendidikan anak-anak Anda di Taiwan?

Berpijak dari apa yang kami lihat, rasakan dan jalankan, sistem pendidikan yang berbeda membuat kami belajar banyak tentang cara, metode/teknik pengajaran, serta etika yang sudah ditanamkan pada usia dini di sekolah. Contohnya membuang sampah pada tempatnya dengan memperhatikan jenis sampahnya, menjaga kesehatan dan kebersihan diri sendiri, kemandirian, juga budaya antri. Tidak dapat dipungkiri bahwa dengan kemajuan teknologi yang tinggi, ada pengaruh pada pola dan kualitas sistem pendidikan. Khusus untuk siswa pendatang, pihak sekolah memiliki toleransi yang baik dalam masa penyesuaian sampai siswa tersebut merasa nyaman dan menikmati sekolah barunya. Keterlibatan orangtua juga sangat ditekankan, hingga terjalin komunikasi antara siswa-guru-sekolah dan orang tua. Dari segi kesehatan, setiap semester dilakukan general check-up untuk seluruh siswa, dan dari sini dapat dilihat betapa fokusnya mereka menangani generasi mudanya sebagai cikal bakal pengganti untuk generasi berikutnya. Yang juga tidak kalah pentingnya adalah silaturahmi dengan teman sejawat dan sesama orangtua siswa dengan komunikasi melalui surel maupun media sosial.

Pengalaman apa yang paling berkesan untuk Anda selama melanjutkan studi di Taiwan?

Pengalaman sekolah di luar negeri merupakan hal yang sangat berharga buat kami. Hari demi hari yang kami lalui memberikan pengalaman yang berbeda dan sangat berharga, karena di setiap kegiatannya memberikan hasil yang tak terlupakan baik di kampus, di rumah maupun di sekolah anak-anak. Menikmati kemudahan dengan sistem pendidikan yang baik, sarana transportasi umum yang nyaman dengan teknologi tinggi, dan pemandangan alam yang indah menjadi hal yang sangat mengesankan untuk kami. Ada pula pengalaman terjangan taifun yang hampir setiap tahun melalui Taiwan.

Apakah Anda memiliki saran untuk rekan-rekan pembaca Indonesia Mengglobal yang juga ingin membawa keluarga saat studi lanjut ke luar negeri?

Tidak perlu takut dan ragu untuk membawa serta keluarga dalam studi lanjut. Perlu tekad dan niat yang kuat untuk menjalani sebagai seorang mahasiswa dan orang tua. Manajemen waktu dan komunikasi dengan pembimbing sangat penting untuk dapat menjalankan dua amanah tersebut secara seimbang. Kunci utamanya adalah tidak menjadikannya beban, menikmati dalam menjalaninya, melakukan yang terbaik, dan selalu memohon kepada-Nya agar dimudahkan dalam menjalankan amanah. Semua akan indah pada waktunya, semakin jauh kita mencari ilmu, semakin banyak pengalaman yang kita himpun untuk mengisi ruang waktu kita.

 

——————–

Kredit foto: Iryanti Nata


Sukses Menulis Esai untuk Institusi di United Kingdom

$
0
0

The format, objective, and assessment criteria of essays written for British institutions are somewhat different compared to that from any other parts of the world, especially Indonesia. During the pursuit of study in the UK, the first semester is both the most critical and challenging chapter for Indonesian students since they have been ‘raised’ in a completely poles apart education system. Even for those whose English comprehension is already above average, getting a Distinction or Merit is never a guarantee.

In British essay writing, being straight to the point and following the rule of arguing coherently and analytically are key, and failure to recognize these and act in accordance with them is one of the factors obstructing perfectly capable and bright students from reaching their academic potential. The main objective, therefore, is to be clear and concise so that your readers can follow your arguments smoothly, and are not distracted by superfluous padding.

Therefore, before submitting a mid-term of final paper, make sure your essay:

  • has a position on the essay topic, which is derived from these four steps:
    • 1) Reflect on your personal outlook
    • 2) read widely and diversely on the topic and surrounding issues
    • 3) Reconsider your views on the topic in the light of what you have read
    • 4) Take a position and give logical and articulate validation for it.
  • starts by presenting the issue and question (usually, British essay topic starts with a question) and gives the readers a signpost of what they should be expecting from the essay. Thus, in the beginning, it is important for the writer to also provide the outline structure of the essay, including; some explanation of what you understand by the title, which issues would be discussed first, theories used, the analyses part as well as where they are leading you to (this can be your guide to compose a good thesis statement in the introduction part!)
  • take each of the main points in the thesis statement and develops them with evidences, using clearly defined paragraphs. It is highly recommended to finish by comparing and contrasting the different arguments and making a choice with the supporting facts and findings.
  • gives a firm or tentative answer to the question posed in the beginning. In the conclusion, try to draw out the most significant points that have been made in the essay. This is where writers re-state their position in the writing in regards to the findings, analyses and facts discussed in the body paragraphs.
  • does not include any new materials at the concluding part. Instead, try to propose ideas and areas highly suggested to be further consideration.
  • acknowledges the source of any ideas included in the essay. Plagiarism is strictly unacceptable everywhere in the academic world. Harvard style of referencing is usually most preferred in British universities.
  • uses clear, straightforward language and avoids the use of obscure or complex words and phrases that might potentially confuse the readers, but shuns away from slang and abbreviations.
  • includes only materials relevant and explicitly linked to the essay title. Keep descriptive writing to a minimum and do not digress unnecessarily no matter how sophisticated you think your essay would sound with it. In British essay writing, the how, why and significance of an issue is always more important than the what.

All in all, preparation and enough research are profoundly crucial in the making of an eloquent, British-styled essay. However, if you think about it, the secret formula to winning British essay writing is actually very simple; you adopt a position, tell the readers what you want to do, and do it! And as long as you wind up with a beginning (the introduction), a middle (the body paragpraphs), and an end (the conclusion), you cannot go wrong. A lot of students are concerned about their writing style, but keep in mind; your words reflect your thoughts and if you have a clear plan and a solid grasp of the material, then you will have very little trouble writing with intelligibility and coherence.

Reference:

Academic Development Directorate of SOAS, University of London  –  www.soas.ac.uk/skillforsuccess

 

 

Image courtesy of Najwa Abdullah Sungkar. 

Tidak Hanya di Amerika: Pengalaman Master di Melbourne Business School

$
0
0

I came to Australia in June 2011 straight after graduating from my high school in Surabaya to pursue my Bachelor of Science (Information Systems) at the University of Melbourne. The underlying reasons were that University of Melbourne provided high-quality and internationally-recognised education which was relatively more affordable than the top universities in the US or UK. Furthermore, it is also supported by the fact that Melbourne is one of, if not the most, livable cities in the world which is also such a cultural melting pot where we can meet people from virtually any cultural backgrounds from hundreds of country around the world. Moreover, Melbourne is the sports capital of Australia, the home of the Australian Open tennis tournament and the Albert Park Formula 1 Grand Prix. Lastly, if you love drinking coffee/having brunches/taking food photos for your Instagram or Path then Melbourne is your promised land due to its reputation as one of the cafe and coffee Meccas of the world. In fact, lo and behold, Melbourne has been voted as having the world’s best coffee.

Fast forward to three years later. After completing my Bachelor degree and getting a green light from my parents, I decided to further my education by taking a two-year Master of Management (Marketing) at Melbourne Business School (MBS) – University of Melbourne starting from February 2014. My consideration was that I needed more business acumen to complement my Bachelor of Science degree in order to improve my employability. Also, just like what my favorite YouTuber, Casey Neistat, said, “If you don’t really know what to do, college can be a really nice place to find that”, I was not really sure of what I wanted to do in life and wanted to keep my career options open. Therefore, I was eager to look for new opportunities to develop myself further during my masters.

As a part of their course structure, MBS offers on-site intensive subjects called Melbourne Business Practicum (MBP) and Global Business Practicum (GBP) during the summer and winter holidays. In groups of four, the selected students are able to experience the business practices and culture of a Melburnian or overseas company, respectively. I have had the opportunity to participate in both of these subjects, MBP in summer 2015 and GBP in winter 2015. For MBP, our objective was to assist Envato, one of the leading startups in Australia, with their international expansion plan. Several months later, I enrolled into GBP in Malaysia where the project objective for our team was to produce a market entry plan for Bayer Healthcare. Those projects were extremely challenging but rewarding, as I was able to work with competent and determined teammates solving hard problems and dealing with various setbacks, such as constantly-changing requirements, data inaccuracies, or even sheer physical exhaustion due to the long hours. All-in-all, I really recommend taking these highly competitive subjects if you plan to study at MBS.

 

Hadrian Pranjoto Global Business Practicum University of Melbourne

Author with his GBP team

On the flipside of all the academic works at university, it is worth noting that university life is so much more than getting good scores and maintaining lecture attendance. The people we meet and the novel experiences we gain will help shape ourselves as an individual, both personally and professionally. An exciting way to gain new experiences and meet new people is by getting out of our comfort zone is through involvements in various extracurricular activities. At the University of Melbourne itself, there are myriad interesting student organisations and societies which we can join, including globally-known names such as AIESEC, TEDxUniMelb , and Enactus. In addition, there are also several prestigious consulting clubs, such as 180 Degrees Consulting, Global Consulting Group, and Melbourne Microfinance Initiative where you can network with advisors from reputable consulting or audit firms. Drawing from my own experiences at AIESEC and Enactus, it is often very competitive to join these organisations due to their high recruiting standards and the vast number of interested applicants. However, if we succeed in being one of the committee members, we would be able to work alongside highly-motivated and driven individuals while simultaneously practicing what we have learned in class to solve real-world problems and contribute back to society.  Eventually, these extracurricular activities help provide a well-rounded resume which maximises our employability.

Hadrian Pranjoto Enactus University of Melbourne

Author among the Enactus committee members

 Another perk of going to the University of Melbourne is the opportunity to get involved in its budding startup community which is supported by the Melbourne Accelerator Program (MAP), University of Melbourne’s own startup incubator. During my last year at MBS, I had the privilege to be able to have a stint at a MAP-supported startup called Mobilkamu.com. By working in a rapid and dynamic startup environment, I was able to practice dealing with extreme uncertainties and deferring gratifications, which I feel have improved myself both personally and professionally.

Author with the Mobilkamu.com team

To sum it all up, getting a degree overseas is a big life investment, for it takes up quite a significant chunk out of our time and wealth. Thousand miles away from our home and family, we will be forced to leave our comfort zone. It might be extremely challenging initially, but as we adapt and grow stronger, we will be able to see things from different perspectives, gain extremely valuable insights, and be a better person as a result.

As a grown-up man who have completed two university degrees in Melbourne, I feel that those five-and-a-half years have helped me prepare to face the trial and tribulations of the so-called “adult life”. I have become a more open-minded and mature individual who is also able to think critically and see the both sides of the coin. Personally, I am really thankful for all the privileges and experiences I had in the Land Down Under and I wish the best of luck for those who are about to tread a similar path.

The opportunities are out there and it is all up to us to seize them. Remember, life begins at the end of your comfort zone.

Godspeed.

Photo Courtesy: Author’s Collection

Get Away from Me: Managing Homesickness as an International Student

$
0
0

Welcome back to school! : Probably one of the most dreaded sentence a student need to face throughout his/her study.

 

With new semester coming, it’s time to go away from the abundance of love and amenities provided at home and return to the reality of our life as students (as well as start taking my tenure as a columnist here in IM). Granted, studying should be an enriching experience, but just like any experience of going away from home, homesickness can start to creep in and probably it’s one of the later things you want to get to ruin your enjoyment.

Homesickness definitely need to be a part of any overseas (or at least out of region, for those who are still in Indonesia) studying experience because it’s a sign that we’ve stepped out of our comfort zone, and also something one must have experienced at least once in a lifetime. By now the famous how-if should come: How if I’ve studied out of region/overseas but yet to feel it? There are three possibilities that may arise:

  • You haven’t stepped out of the comfort zone (which arguably is one of the side effects of making ourselves feeling at home while overseas, such as by making a stockpile of things reminiscent of home as if it’s almost apocalypse)
  • You’ve been out of region/overseas for too a while (let time and therefore homesickness show itself, otherwise ask again to yourself)
  • You’re somehow desensitized to it due to moving to too many places (plot twist: how if you ever get such that opportunity to stay at so many places like him?)

There are some awesome articles made at IM regarding this topic containing some of the more popular suggestions like bringing remnants of home, planning on things to do, and doing things you love to do. There are of course a lot of tips to mention when it comes to such topic, but let’s delve deeper into some popular (and less popular) ideas to handle homesickness:

 

Packing remnants of home.

One of the most popular things to mention when it comes to managing homesickness, this deserves a separate article since I find this to be quite a complicated issue (so stay tuned!) However, some awesome tips of mine will be:

  • Bring only what you can use. Without doubt, the last thing you want when unpacking is finding something you’ll never use.
  • Is it available for sale there at a reasonable price? Ditch it. Save your luggage allowance and pack other more useful items (or better, save your strength for unpacking).
  • Is it too valuable to be lost? Ditch it as well (except if you can hug it all the way, of course). Some luggage handles are more sly than others, so save yourself from that risk and move on.
Eric's drawing when he was in junior high school.

My piece of art. Looking a bit childish, yes, but nonetheless it’s still my work, so it’s also too valuable to be lost.

 

Doing something while you’re studying.

Once you’ve stepped into your second (or nth) home, there are many things you can do to survive studying overseas (is it that bad chances are you can’t survive?) or when we miss Indonesian friends. Except you stay at a niche area among Indonesians, chances are there should be some Indonesian students associations around, either university-based (ex.: PINTU in my current university and NTUST-ISA for my editor’s alma mater), or country-based like PPI … (name the countries here) which may come in awesome when we need help. Just like all awesome things, though, they start to decrease in awesomeness as you use it more and more (back to economics class: law of diminishing return). It’s not to say that you should stay away from ISAs for they provide nice opportunities to mingle with others and maybe seek for opportunities back in Indonesia, but my word of caution on it is that just as much as it’s great, you don’t want the feeling of merely studying in Indonesia again while you’re overseas.

Studying overseas is a great opportunity to know other people of different backgrounds, so when there’s the chance, just take it. Talking about knowing others, did I say I knew my neighbours and when a cat came in front of my room, I knocked their room so when they opened it I instantly ran into my room as the cat entered their room? Not the purpose of knowing others, for sure, although at the same time they can be also great enough to be the mind-saving force (My hall’s cat isn’t life-threatening, but on a silly note I’m afraid of cats).

Photo of one of Eric's hall's patron cats

My hall’s one of two patron cats. Photo courtesy of NTU Cat Management Network (yes, it’s one of the co-curricular activities here!)

An awesome point made by Robyn in her article in my view is exploring the surroundings. Since you want to get the feel of where you’re living now and be slightly more familiar with it, it can be an eye-opener on how the whole area functions. Some examples that I’ve done include taking a quite long, almost 8-shaped route mostly by bus in Singapore commemorating my 18th birthday (see here for photo and remarks), traveling to downtown alone on multiple occasions, travelled across the Causeway, and even took the downtown <–> airport public bus several times to get a glimpse of the east area. Photo of Eric's "joy ride" for 18th birthday

Almost 8-shaped due to my insistence of boarding at interchanges, otherwise it’ll look even better. But anyway, the trip took me in total 6 hours, which made it like a joy ride.

One tips from Matthew that I found useful: Share your experience. Experiences are meant to be savoured and shared (since we only die once), so when you have some bitter experiences like rejected by your crush, burned out due to the plethora of assignments, or even simply missing home, a pair of ears listening works marvels to sooth your mind, so reach out to someone you trust and share your problems to her/him.

 

Second last ditch: Get your fix of home comfort or move to a more familiar country.

The appeal of home is probably as wonderful as the sight of land after weeks of sailing across the ocean. When you’ve tried so many ways to cure homesickness yet found no avail, one way to solve it will be to get a leave and return home. Nowadays there are a lot of ways to fly back to the patronage of our parents, but of course some ways are better than others. Laborious routing and fare search is often involved, though keep in mind of its ending: the (golden) ticket back home.

Upon reaching home, savour the best your family’s hospitality has to offer and think of ways to solve homesickness. Here are several reasonable choices I found:

  • Taking exchange opportunities. Craving for travel? Look for countries allowing for easy movement around like countries in Schengen area (staying in German yet interested on having a day trip to Paris?) or Southeast Asian countries (not that easy due to physical barriers, yet as Indonesians we’re still blessed with free travel to SE Asian countries). A great event that I could take by leveraging the latter: a volunteering event by one of NTU’s co-curricular activities in Cambodia.
  • Transferring to nearer places. Missing plush beds and warm hugs? Home is only a few hours away. How about strong-tasting foods? Should be only a short stroll. Asian countries with its rapid growth also start to be a thriving area for education. With various universities putting their foothold in Asia including Monash at Malaysia and NYU at Shanghai as well as some of the better universities in the world based in Asia like NUS and HKUST, it’s no doubt that quality education shouldn’t need to call for a full day of surviving in a cramped metal tube. Moving to a more familiar place may not be a homesick-free option, but nonetheless can reduce it to some extent.
Photo of Changi Airport T3

A few hours away from the cushy bed and the joy of staying with family.

These things, though, are not to be taken with a grain of salt since both calls for a tedious process which should at least involve course matching, moving out and in procedures, bureaucratic issues (if applicable, e.g. scholarship or bond), and possibly long waiting time). For that reason, I suggest you to consider this idea quite carefully. Any more awesome ideas for this? Just share with me on email.

 

Moving back to Indonesia for good? Last thought: Why do you study overseas in the first place?

If you ever need to consider this, chances are you should have tried all other options available. It’s time to rethink why do you study overseas in the first place: Is it because you want to explore more opportunities outside? Better education? Acquire a more global network? More capable of adapting to different culture? Anything else?

Whatever your reasons are (except due to your parents’ whim), there are always compromises between studying overseas and staying back, which after all goes back to what are you pursuing in life. Having parents in need of constant care? Then by all means focus on caring them. Got some cool startup growing very fast? Not to worry, some of the better known founders are dropouts (though for most, properly structured education will be a more feasible idea). There are, however, things that can wait. The thought of returning home can actually wait as well if you’ve been overseas for only a very short time yet you’ve already caught some acute homesickness (but don’t wait for too long either since by that time returning will also be detrimental) Marriage is also something that can wait as well since chances are you’ll need to make a living. :-p

 

All in all, homesickness is something I would like to say, however small it is, expected and even necessary just like how our body needs small amount of minerals like calcium; yet as it’s not prescribed by anyone else but yourself, it’s also something highly personal since some of the common patterns may not apply to some people (ex.: me bringing in very few items reminding of home, or maybe some of my acquaintances not joining ISAs at all). As such, the onus is also on you to find out your homesickness’ severity and therefore its remedies. My concluding words will be: Be bold, express yourself, and you’ll find comfort in yourself.

See you on the next column!

Belajar Melalui Bicara

$
0
0

Ketika memulai kuliah pascasarjana di Amerika Serikat, satu hal yang menjatuhkan mental belajar saya adalah kelas seminar. Saya memahami seminar sebagai bentuk penyampaian materi satu arah dari pemateri ke para peserta. Ia biasanya cenderung formal, diadakan di ruangan yang relatif besar, dan diikuti oleh puluhan hingga ratusan peserta. Sesi tanya jawab, sekalipun hampir selalu jadi menu wajib di seminar, hanyalah semacam santapan pencuci mulut setelah pemateri menyajikan segala buah pikirannya.

Saya mulai curiga saat membaca silabus yang diberikan dosen di kelas hari pertama. Di lembar kertas itu tertulis bahwa penilaian proses belajar akan dilakukan dengan menimbang dua aspek: 50% partisipasi kelas dan 50% paper akhir. Jika seminar bersifat satu arah, bagaimana bisa dosen menilai partisipasi mahasiswa? Silabus kelas-kelas lain menyertakan hal yang kurang lebih sama, malah dengan ekspektasi akan “partisipasi” yang lebih rinci:

Vigorous, collegial, and well-prepared participation is expected in all class meetings. Liveliness, insight, and generosity are vital parts of a good seminar atmosphere.”

Selepas kelas saya bertanya ke teman yang pernah kuliah di Amerika Serikat. Pastilah ia heran melihat saya kebingungan. Kelas seminar, jelasnya dengan perlahan agar saya dapat mencernanya, mengutamakan diskusi sebagai kunci pembelajaran. Tiap peserta harus melahap segala materi yang sudah diberikan jauh-jauh hari. Jangan terlalu berharap dosen akan menyuapi kita dengan segudang pengetahuan. Hampir tidak akan ada paparan panjang dari dosen apalagi presentasi Powerpoint. Di kelas, para pesertalah yang bertukar wawasan dan pemikiran. Setiap pertemuan akan diisi dengan diskusi, diskusi, dan diskusi.

Bayangan saya sebelumnya akan kelas seminar runtuh di tempat. Buat saya ini kabar buruk. Persoalannya, tiga dari empat kelas yang saya ambil adalah kelas seminar. Saya lelet dalam membaca, sementara di setiap pertemuan tiga hingga lima bacaan menanti. Tapi untuk perkara ini, saya pikir dengan agak berat hati saya masih bisa menebus waktu membaca dengan waktu tidur. Yang paling bikin runyam adalah jika saya mesti bicara. Modal kosakata bahasa Inggris saya pas-pasan. Kemampuan gramatikal saya berantakan pula. Belum lagi sejumlah tes karakter sudah membuktikan bulat-bulat bahwa saya berwatak pendiam. Paripurna sudah seluruh hal yang akan membuat saya bungkam seribu bahasa di kelas. Bagaimana bisa saya melewati semester ini dengan damai tenteram sentosa?

***

Model kelas seminar sangat umum di dunia akademik Amerika Serikat. Metode pembelajaran ini sering juga disebut Socratic seminar. Nama ini merujuk pada Sokrates, filsuf Yunani yang kerap kali mengandalkan dialog untuk menggali pemikiran lawan bicaranya. Serupa dengan model investigasi Sokrates, tujuan kelas seminar adalah menstimulasi pemikiran kritis melalui proses dialektika antar peserta.

Apa yang hendak dicapai di kelas seminar bukanlah satu fakta tunggal. Malah, transmisi fakta bukan hal yang utama; lebih penting dari itu adalah eksposisi pemikiran masing-masing peserta akan fakta tersebut. Dengan mengungkap pemikiran beserta segala argumentasi yang menyertainya, tanya-jawab, sahut-menyahut, hingga bantah-membantah pun terjadi. Tak jarang, ketidaksepakatan satu sama lain membuat suasana jadi intens. Tetapi kontestasi pemikiran ini adalah untuk mendudukkan—bukan menundukkan—pendapat. Tiap peserta berkesempatan mengungkap serta menantang ulang segala nilai, prinsip, dan argumen yang ia pegang. Dengan demikian, setiap peserta bisa memahami baik pemikirannya sendiri maupun pemikiran-pemikiran lain, serta mematangkan sikapnya dengan lebih kritis.

Peran dosen dalam kelas seminar bukan sebagai kunci jawaban. Dosen, sekalipun bertugas memandu diskusi, hanyalah salah satu peserta diskusi. Sebaliknya tiap mahasiswa, sekalipun hanya salah satu peserta diskusi, berperan aktif membangun dialog yang produktif. Posisi duduk diatur dalam komposisi melingkar agar setiap orang memiliki jarak yang relatif sama. Baik dosen maupun mahasiswa lantas bertanggung jawab untuk mendorong percakapan ke arah yang lebih dalam sekaligus terbuka. Kata “terbuka” di sini amat penting, sebab kelas seminar, sekali lagi, bukan ditujukan untuk menghasilkan jawaban yang esa.

Metode ini terdengar amat ideal untuk pembelajaran di jurusan saya yang bukan ilmu eksakta. Tapi sungguh, bulan-bulan awal perkuliahan saya serupa masa-masa menjalani neraka tujuh tingkat. Saya memahami tak sampai setengah dari seluruh percakapan di kelas karena kendala bahasa, apalagi yang digunakan adalah bahasa pascasarjana dengan istilah-istilah ala GRE yang selalu sukses bikin dahi saya mengernyit. Di kelas, saya nyaris tak bicara. Teman-teman saya amat mulus dalam menyampaikan pemikirannya. Mereka tanpa ragu mengutarakan pendapat yang berlawanan dengan orang lain. Kultur diskusi tampaknya sudah jadi makanan sehari-hari mereka. Sementara saya tergagap-gagap buat bicara satu kalimat saja. Mau bicara pun pakai angkat tangan segala. Performa terbaik saya hanyalah tiga-empat kalimat sepanjang dua jam pertemuan di tiap kelas, itupun biasanya hanya mengulang apa yang ada di bahan bacaan—minim pendalaman.

Di tengah segala kepusingan saya, saya mendapatkan anjuran yang sedikit banyak menolong agar tidak tertekan dengan keadaan. Forget about the good. Tips ini saya baca dari buku orientasi yang diberikan oleh kampus saya. Sebetulnya saya malas betul membaca tips-tips, tapi gara-gara anjuran itu begitu kontekstual dengan situasi, saya jadi mengingatnya dan rupanya lumayan terbantu berkatnya. Penjabaran tips itu begini:

Good is what we all agree on. Growth is not necessarily good. Growth is an exploration of unlit recesses that may or may not yield to our research. As long as you stick to good, you’ll never have real growth.”

Forget about the good. Anjuran berharga yang saya temukan di buku orientasi kampus.

Saya mulai mengarahkan ulang orientasi belajar saya. Saya memikirkan berbagai strategi untuk berkembang ketimbang untuk cemerlang di kelas.

Salah satunya, saya menyiasati cara saya belajar. Saya membuat catatan dari setiap bacaan, dan dalam format yang lebih sistematis dari cara saya mencatat biasanya. Beberapa bacaan saya telusuri dua kali: yang pertama agar saya memahami dan yang kedua kali agar saya dapat membangun pemikiran saya sendiri dari merespons bacaan tersebut. Setelah semua bacaan saya tuntaskan, saya menyisakan sedikit waktu lagi untuk mematangkan poin-poin yang menurut saya potensial untuk diangkat di kelas.

Di kala rehat, saya mulai biasakan menonton siaran-siaran televisi Amerika, selain untuk relaksasi haha-hihi, juga untuk melatih kemampuan mendengar. SNL, The Daily Show, The Tonight Show, The Late Show, dan berbagai show lainnya saya langgani di Youtube. Kadang-kadang kalau sedang berjalan sendirian, saya kerap juga monolog di jalan dalam Bahasa Inggris, sekadar buat latihan bicara. Tentu saat tidak ada orang lain di sekitar, agar tidak disangka gila.

Lambat laun, saya mulai menikmati kelas seminar. Proses membaca prakelas dan diskusi selama kelas membuat pengetahuan yang saya dapat lebih mengendap. Saya mulai memahami percakapan yang terjadi di kelas dengan lebih utuh. Walaupun gramatika bahasa saya masih tetap salah-salah, saya mulai lebih aktif dan percaya diri dalam mengutarakan pendapat. Selama semester pertama yang telah saya lewati, proses pembelajaran ini, saya kira, lebih berarti ketimbang hasil akhir yang saya dapati.

Saya memasuki semester kedua dengan lebih woles. Saya memberanikan diri untuk mengambil kelas seminar untuk semua kelas saya. Kadang-kadang di kala melamun, saya teringat lagi anjuran itu. Forget about the good. As long as you stick to good, you’ll never have real growth.

 

Photo Courtesy: Author’s Collection

Help Us Make IM Better!

$
0
0

Not too long ago, I was reminded of why we do what we do here at Indonesia Mengglobal (IM). An acquaintance mentioned how IM has helped her in choosing where to go for university, and that IM has given her fresh perspectives on different aspects of studying abroad.

Whether it is a guide on how to prepare for IELTS, advice on how to get scholarships, an inspiring personal story of a dream come true, non-academic benefits of studying abroad or our Mentorship Program, we are happy to have curated content you love and deliver it at the moments that matter.

This year, we are committed to serving you better by curating and delivering more relevant and engaging contents!

Please help us in doing so by setting aside three minutes of your day to fill in our reader’s survey.

Again, many thanks for being a loyal Indonesia Mengglobal reader!

 

The featured image was taken from Creative Commons.

Turning ‘Acquaintances’ to ‘Friends’

$
0
0

Moving abroad to study and settling with different education system could get us overwhelming. At first, we may feel excited to explore every corner of the city we live in, but as time progresses and we are occupied with workloads, our honeymoon phase wanes. A breakdown such as home sick or a break-up with our LDR partner may take place too and loneliness is just inevitable. At our lowest point, we are in dire need to have our closest support system. Unfortunately, they are all thousand miles away. Hence, we need to build your new support systems. While it is understandable to naturally befriend other Indonesians or people from similar backgrounds or region, most students stuck with this circle and afraid to step out from the comfort zone and mingle with diverse people.

This phenomenon can still be observed even in my university, London School of Economics and Political Science, of which student’s composition comprises of 70% international students. Of course having inner circle with people we find ourselves most comfortable with is unavoidable. Regardless where we live, we will always find that one clique. Nevertheless, that should not hinder us from mingling with people from other countries and background. In fact, this is one of the perks of studying abroad; where we are exposed to various culture and worldviews through people we come across. Let’s remind ourselves again about the reasons behind our decision to study abroad in the very first place! Chances are, we think about gaining global network.

Mind you though, in this post I am not propagating that having international friends is better than Indonesian ones. Instead, we should treat them equally.

We all may feel hesitant to start a conversation with foreign speakers, either due to cultural differences or language barriers, but this feeling is not exclusive to us. Most of our friends also come from different countries and this might be also their first time living abroad. From my experience studying in London, it is rare to find people who know each other before coming to the university. Therefore, this is the good news: everyone starts making friends from scratch! There is no boundary of us joining their peer groups.

Having acknowledged the virtue of having friends from various backgrounds, I hereby share some tips on how to increase the chances of turning your ‘acquaintances’ to ‘friends’.

1.     Be genuine in starting a conversation

Starting a conversation can be as simple as ‘’hey, I like your outfit today!’’ or ‘’I find your argument in the class very sound’’ or try this typical Londoners’ pick-up line ‘’Do not you think the weather today sucks and the wind is so gusty?’’ If you eat alone in a cafetaria, try to take off your headsets and say “hi” to the person in front of you. If you are queueing for two hours to enter a party, tap shoulder of a person in front of you and start complaining together. I have done this and it worked! I got my very first Tahitian friend from this queue conversation. There are million ways to strike a conversation with new people as long as you are genuine to talk with people.

I met with my very first Tahitian friend from two hours queue to a party

2.     Be a good listener

Have you ever felt annoyed in a conversation where the person you talked with, just kept bragging about her/himself? Well, I have.  Do not be too self-centric in a conversation. You do not need to tell new acquaintances your long list of achievements. You want to make friends, not to impress your potential employer. Instead, try to show your interest in them by asking about what they like to do in spare times. Establishing human-level conversation is a corner stone of continuous friendship.

3.     Join student societies or other interest groups

If you like sports, why not joining your school’s sport clubs? If you are keen to learning social enterpreneurship, expose yourself to like-minded individuals. The upside of joining student societies is you can also have social outing together.

I had a discussion in Holocaust Museum Israel during Interfaith trip from LSE

4.   Follow-up your acquaintances

During orientation week, you will meet lots of friends. It seems that you have default answers for questions like ‘where are you from?’, ‘ what did you do before coming here?’, ‘when did you arrive here?’. Out of many people you talk to, you may find few of them fun and interesting. So, what should you do next? Make sure you exchange contact details, either phone numbers or Facebook. You might not be able to see them everyday, but you can invite them to grab a coffee or have a nice lunch at campus. If you forget someone else’s name, it is also perfectly normal to ask them again. Do not worry. People do it to me often and I also do that.

5. Food unites people

If you can cook, do not hesitate to invite people from your department to your potluck party. If you cannot cook –like me- you can always take your friends to taste Indonesian cuisine in a restaurant. Since studying abroad is tough, you can also find any possible reason to celebrate life! Invite them to spend Chinese New Year/ Christmas/ Ramadhan/ Thanksgiving/ Valentine’s day together.

 6.  Explore the city together

Students in the UK/ European countries usually experience various benefits from the magic card, a.k.a: student ID card. For instance, I watched a 65 Pounds-Philharmonic Orchestra for only 4 Pounds! You can invite people from your study group or your flatmates to watch movies, play, visit museum and exhibition.

Thanksgiving dinner with friends from the same major

Keep in mind, though that you need to draw a line in your efforts to make friends. If you do not enjoy going to a bar or do not drink alcohol, never force yourself to do so. In making friends, you do not need to impress people or pretend to be the cool kid. Just be honest and upfront that you do not drink alcohol and believe me, people will respect that. I never encounter friends here who mock or bully others just because they do not drink. However, if you do find people like that, then you know they cannot upgrade their status from your ‘acquaintances’ to your ‘friends’.

 

Arts is (NOT) a Degree of Unemployment

$
0
0

I have one message for all of you who are currently doing a Bachelor of Arts degree, or planning to do so in Australia. Brace yourself for the following questions:

“Why came all the way to Australia to study Arts?”

“Are you not scared of being unemployed?”

“What are you going to do with your degree?”

These questions are the equivalent of the “Kapan kawin?” (“When will you get married?”) question from the relatives we only meet once in a blue moon during kondangan (wedding reception) or the holiday season.

During my four-year stay in Australia to pursue my Bachelor of Arts, I was always swamped with those kinds of question.

Hence, I’m writing this piece to share with you some thoughts to correct those condescending misconceptions.

Let’s start by helping people get to understand the term “Arts” better. The Bachelor of Arts degree  is not a Fine Arts or Art (without the “s”) degree which teaches you how to draw, paint, or sculpt. The degree of Arts, on the other hand, is one that teaches critical thinking, effective writing, and problem analysis, all within a broad range of subjects, from political science, sociology, cultural studies, to art history.

So the answer is, no, you are not going to be the next Leonardo Da Vinci. You can, however, be an expert in Leonardo Da Vinci’s paintings throughout the Renaissance era, and that is something to be proud of.

In terms of employability, it would be unfair to say that an Arts degree holder would eventually end up working at a fast food chain, taking drive-through orders all-day long. To be fair, I don’t have anything against this job. Everyone is doing their best to pay the bills, aren’t they?

If you’re looking for a poster girl for Arts-graduate-turned-millionaire, I am not one. I am still working 9 to 5 (7, to be honest) like everybody else, but hey! I am employable! So will you!

Mary Rasita looking rather proud at her Bachelor of Arts graduation ceremony

However, I can give you household names. On the local scene, take example of our former Foreign Affairs Minister, Marty Natalegawa. He obtained Arts degrees in Philosophy, Politics, and Economics to doctorate level.

Have you ever heard of Nadiem Makarim? The founder of GO-JEK, our much-beloved mobile app, graduated with a Bachelor of Arts degree in International Relations and Affairs.

On a global scale, we have Kevin Rudd, an Arts graduate in Asian Studies who was also Australia’s former Prime Minister. Furthermore, we have David Cameron, a Bachelor of Arts graduate in Philosophy, Politics, and Economics, who is now the Prime Minister of the United Kingdom. I could further jot down other names such as J.J Abrams, Hilary Clinton, Oprah Winfrey, Madeleine Albright and the list goes on.

(Fun fact: do you know that Kenneth Chenault, the CEO of American Express, is a Bachelor of Arts graduate in History?)

Finally, whether you are doing an Arts, Business, Engineering, or a Design degree, it does not really matter what people say about it as long as you believe in what you do, obtain as much knowledge as you can, and work hard to achieve your mission. Also, think highly of what you aspire to do in the future. Granted, nobody really knows what they want to do in life. However, before making any decision, try to get to know your ability, passion, and the prospect out of each degree that you are going to pursue.

I personally decided to do Arts for certain several reasons. First, I’ve always been fascinated by literature, humanities, and observing people in general. Hence, I decided to study Arts in Media and Politics because they combine my interests: humanities, literature, and observation. Consequently, it is fair to say that I love my current job. Not only because I am a fan of the industry in general, but also because my undergraduate and postgraduate studies in Arts have prepared me well to excel at my job. Also, I am aware of my limited ability and interest towards mathematics, the law of physics, or the chemical elements periodic table.

(Fun fact: Both of my parents are mechanical and industrial engineering graduates)

Therefore, if you have decided to study (or if you are doing) an Arts degree in Australia, do not let other people take you down with their harsh and condescending words. You will see a lot of jokes on student-run University Facebook parody pages with their amateur memes. Again, simply take it with a grain of salt. Study hard, join the communities on campus, and seize any chances you can get to help you sharpen your skills, experience, and CV in general.

So, the next time someone tries to undermine your choice with their remarks on your Arts degree, just bite back,

“Sorry if my degree makes you uncomfortable. I’m just trying to be the next (pick one: J.J Abrams/Oprah Winfrey/Kevin Rudd/Nadiem Makarim). Now if you’ll excuse me, I have a critical analysis essay on medieval history to finish.”

Photo provided by the author

Edited by Hadrian Pranjoto


Kenapa Denmark? Hal Unik Saat Kita Tinggal dan Belajar di Denmark

$
0
0

When this article is written, I have been living in Denmark for 1.5 year and now I am studying Master’s in Corporate Communication at Aarhus University, Denmark. When people knew that I moved to Denmark, both my friends in Indonesia and new friends that I met here in Denmark were quite surprised as to why I chose to live or to study in Denmark. I meant, I think we are all know, that the most attractive study destinations for foreign students are usually the English speaking countries like England, United States, Australia, and Singapore. Otherwise, for Indonesian students if they want to study to a non-English speaking country, many of them would choose Germany, Netherlands, or Japan.

So why is it Denmark then? Denmark is a small country situated in northern Europe with approximately 5 million populations, doesn’t sound very international, and seems like cold (because it is in the north). Below I will mention you some of the things that I hope would intrigue your mind and probably are appealing enough for you to consider moving here.

1.      Free healthcare for all residents

When I applied for my student visa in Indonesia, I did not need to take care about insurance matter at all (but not for tourist visa applicants). This is because when you are going to live in Denmark for quite a long term, which could be for studying, working, accompanying spouse, or family reunion, you will get your yellow card with CPR number (registration number for residents) that is functioned as a health card to get a free healthcare. This healthcare includes doctor consultation, surgery, X-ray, and even staying in hospital (tooth care or dentist is not included). I remember when I was in Indonesia, my family and I avoided to go to the doctor if it was just for a little health issue, like cold or headache because the doctor consultation simply would cost money, but knowing that the healthcare in Denmark is free, when I called my Mom saying that I had a headache or flu, she then said “Just go to the doctor there, it is free, right?”

2.      The flat hierarchy and low power distance

I remember when I was studying in Indonesia, we always addressed our lecturer with “Pak”, “Bu”, or the informal way would be at least “Mas” and “Mbak”. And I guess in many other countries, you should address your lecturer with “Professor”. Here in Denmark, you could just call your lecturer’s name directly, for instance “Michael” or “Lene”. At first it felt a bit weird, but here how it works in every situation is just simply with less hierarchy in both academic and workplace settings. The way to address people is one of the examples, the other examples include how you could talk, discuss, or even argue with them. In the class if you want to give inputs or you disagree with your lecturer, it is acceptable and they would love to hear your reasons and be opened to that.

3.      Group work

In Denmark and other Scandinavian countries, group work is strongly emphasized in the educational system since elementary school until higher education. I think that when I was studying my bachelor degree in Indonesia at University of Indonesia, we also had many group works and many of them were graded. But here, even when sometimes the grade is only determined by the final exam, we still have group works and group discussions in the class. The most shocking part that I first heard about group work is that you are allowed to work in group to write your thesis (both in Bachelor and Master’s Degree), usually for maximum three students in one group; and this is really working together for the same thesis title and project, but you will just be graded individually at the end.

4.      Three times exam attempts (!!!)

In many and most other countries in the world, in university level, when you have an exam then you are failed, then you are simply failed and have to wait for quite long like in the next semester/year to take a re-exam, which is sometimes you are also obliged to participate in the same class for the same subject again. While here in Denmark, the exam attempts are three times, so if you are accidentally failed or are not ready for the first attempt of the exam, you could just utilize and maximize your performance for the next attempt. Even sometimes for some students who are not ready for the exam, they will just hand in a blank paper, and then they will be automatically failed and will be registered for the re-exam. The first re-exam will usually take place in the next 2-3 months and in most cases the students are not required to attend the same class again. Denmark is really concerned about social well-being of the people while also try to be efficient at the same time.

5.      The unique grading scale

The most commonly used for grading and GPA is A to E, and GPA scale of 4.0, but this doesn’t apply in Denmark. Here they have 7 scale grading system, from -3, 0, 2, 4, 7, 10, and 12. You would need to get the minimum grade of 2 in order to pass the subject and of course the maximum grade that you could have is 12, not 10. At first when I heard about this, I felt that this was very weird, because there is a minus grade (-3) and 12 is actually the maximum point. Many Danes here also have no idea why they should use this, so don’t ask me why.

6.      Education is free for Danish and EU citizens

As an Indonesian, I am studying in Denmark with a scholarship, but for every Danish citizens they are entitled for a free education until Master’s degree and they will be paid or receive money from the government for studying that is around DKK 5,000 or EUR 700 per month. And for EU citizens, studying in Denmark is also free and they could receive money as well from the government, but they have to work for certain amount of hours per week to be eligible to receive this student grant from the government. This student grant is not a loan, so they don’t have to return it after they graduate. That is why there are so many European students studying in Denmark, which top-ups the quality of education’s reason, of course. For taking PhD in Denmark, PhD students = work full-time. This means, they will be paid as working full-time for the university and this applies for all nationalities.

7.      Five weeks of paid leave and one year of both maternity and paternity leave

In other countries like in Asia and United States, on average, employees are entitled to get paid leave for 12-18 days per year. How about in Denmark? As written by the law, companies grant five weeks of paid leave for all full-time employees. Fortunately, many established companies add bonus by extending the paid leave to six weeks, so this means you could have a long holiday and travel as far as you want. Also for maternity leave, in Denmark and other Scandinavian countries, they are very generous in giving this as a part of their social system. Both the mother and father could take leave for the new-born baby at the same time for the first 14 weeks, then they should take turn or split for the next 32 weeks, which can be extended by another 14 weeks. And this is just for one child, so of course if they get more children, they are entitled to get other weeks of maternity and paternity leave. In this way, parents could really take care of their children and both parents and children could have a better well-being. Also, for the Danish citizens when they have children, they will get support by the government for every baby or little child they have. I guess Denmark could be one of the best countries to raise children and with everyone believes in the value of work-life balance.

8.      Gender equality

In Denmark, gender equality is a very important issue and this will affect so many things. I just mentioned that father could also take paternity leave and this is one of the examples. Since childhood time, girls and boys are trained to be equal and they will have interaction each other. Girls and women are taught to maximize their potential, while boys and men are taught to know on how to treat these women. More and more companies in Denmark are promoting gender-balanced composition in senior leadership position and gender equality in the recruitment process or staffing. In Denmark, it is also normal if for instance, the wife or the girlfriend earns more salary than the husband or the boyfriend. In this condition, the men are not feeling socially or psychologically embarrassed at all. Most of the men in Denmark can cook and would be willing to cook for their partner and the whole family. They would also be willing to do cleaning and other household tasks. While for women, many of them are quite strong both physically and mentally and they are very independent. For instance, it is quite common to find women do gardening in household context and if in general there are women work in restaurant or warehouse and there are heavy boxes that need to be lifted, they could do this themselves without asking for men’s help. However, if it is something mechanical like repairing cars and something very physical like assembling cupboard, this type of works will still be done by men.

9.      Great English speaking skill

When you think that in non-English speaking countries the English skill of the locals is bad, it doesn’t apply in Scandinavia. One of the most surprising things when I arrived in Denmark was that the locals speak very good English and there have never been any problems to speak in English with them. This also applies to most of the elderly. The old people in Denmark are also good in speaking English, especially those who live in a large city. However, in most of the times when the locals (strangers) communicate with me, in university, in the shops, restaurants, etc, at first they will speak in Danish, because in Denmark there are many Vietnamese who first came as refugees few decades ago; so they do this to make me feel included as a part of the society (in case I were a Vietnamese or Danish citizen in an Asian look).

10.  On a side note: Tall and blonde men and women

By average, I think in Scandinavia both the men and women are generally taller than in any other countries. For men, 180 cm is not considered as tall, because there are many others whose heights are almost or more than 2 meters. And most of the locals are blonde with blue eyes. If this sounds exotic for you, then you should definitely consider moving or trying to visit here.

So these are the facts which I thought could be interesting for you to consider studying or working in Denmark. As always, shoot me an email or comment below if you have any questions.

Five Things Not To Do When Looking For Your First Job

$
0
0

What do you want to do after graduation?  If you are thinking of doing a full time job – you are in the right place.  Reading as much as you can about the process by reading articles such as this would arm you with the tools you need to be successful in your job search.  After all, your first job will have a huge impact on what you will do later on in your career.  In this article, we will talk about the major pitfalls that you need to avoid so that you can prepare for a smooth transition to that dream job straight out of school.  For your reading pleasure, we highlighted top five pitfalls:

  1. Procrastinate
    Procrastination is typically your biggest, worst obstacle to your first job.  There are always seemingly more pressing matters to do than researching and submitting your job applications: a dinner party to attend, groceries to do, or a room to clean up.  Remember that most US-based employers start hiring a whole year prior to your starting work date.  This means that you need to start applying by the time you enter senior year.  Plan to write your cover letter and resume early in the game and make sure to have people you trust review them a few times.  Keep your eyes on the prize.

  2. Be a perfectionist.
    Some say that perfectionism stems from the desire to procrastinate.  You take days to write a perfect email before sending it out.  You feel like you need to make a perfect elevator speech before talking to potential employers.  You hold back from talking to a gorgeous guy/girl because you want to think up the ultimate pickup line.  When you try to be perfect, you end up delaying action to the point where you may never start.  This mentality is more dangerous than procrastination because with perfectionism, you may feel that you are working very hard but never actually getting things done.  Just do it.

  3. Skip Networking
    Many students cringe at the thought of going to networking events or writing that first cold email to reach out to a professional.  But like many cliches in life, it’s a cliche because it has proven time and time again to be useful and true.  I have seen my peers land their dream jobs because of their willingness and persistence to reach out and maintain that network.  My classmates landed extraordinary first job at a top Wall Street firms because they did what many of their peers failed to do: they wrote that first cold email and made that first cold call to make genuine connections, expressed their drive and motivation by asking relevant questions, and learning from top professionals in the field.  Related to points #1 and #2, they got right into the task without hesitation or delay.

  4. Be a Grade Geek
    Having a high GPA will get you interviews.  But the things you do outside of class are the things that will get you the job.  Why? Because these activities are the things that you remember and talk about in your job interviews.  If you are interested in working with an investments manager, do your own investing or join a club to see how the investing process works.  If you want to work at a big engineering firm, build something you can be passionate about.  If you just don’t know what you want to do in the future, go join clubs that sound interesting to you – get out of your comfort zone, make friends outside of your circle of friends, read books that fascinate you, and devote to your learning.  You will be miles ahead of your peers in the job market when you do because by getting involved, you have demonstrated that you are motivated, curious, hard-working, and interesting.  The breadth of your experience will show during your interview — and there is no other way around it other than actually getting involved!

  5. Stress Out
    What do you do when there are 3 job application deadlines, 2 midterms, and 4 papers due in one week?  Stress is a natural and perfectly normal reaction, but being overwhelmed by the things you need to do will only hurt your productivity.  Take a deep breath and schedule a realistic game plan.  Take this as a lesson learned and plan ahead for the next rounds so that you can get everything done without being pressured by time.

Think about how you can avoid these pitfalls and think about how you would design your life differently after reading this piece.  Read rule #1.  Happy hunting!

 

Photo credit: https://www.businessmarketingblog.org/

Mengenal Asia lewat TF LEaRN Programme di Singapura

$
0
0

Siapa yang tidak pernah mendengar tentang sekolah prestisius di Asia yang bernama National University of Singapore? Berlokasi di negeri singa yang masuk kategori The Four Asian Tigers, NUS secara konsisten bertengger di peringkat atas universitas terbaik dunia, dengan peringkat 12 versi QS World University Rangkings dan peringkat 1 Asian University Rangkings di 2015-2016. Alhasil sebagai negara tetangga, banyak pelajar Indonesia yang menempuh studi S1, master, sampai doktoral di sana.

Di tahun 2012 lalu, saya mendapatkan sebuah kesempatan untuk melakukan program pertukaran (exchange) di NUS dengan beasiswa dari Temasek Foundation, sebuah perusahaan Singapura yang bergerak di bidang investasi di Asia. Lewat program TF LEaRN (Temasek Foundation Leadership and Regional Networking) yang bekerja sama dengan universitas-universitas besar di Asia, 35 mahasiswa undergraduate yang lolos seleksi mendapatkan kesempatan belajar di tiga universitas di Singapura, yaitu: National University of Singapore (NUS), Nanyang Technology University (NTU), dan Singapore Management University (SMU). Proses pendaftarannya bisa dibaca di tautan ini.

Beasiswa yang diberikan Temasek Foundation untuk program TF LEaRN di tahun 2012 adalah sebesar SGD 6,000. Dengar-dengar di tahun 2016 ini sudah bertambah jadi SGD 6,500. Jumlah yang cukup besar untuk kesempatan belajar yang juga sangat besar. Tidak hanya mengikuti perkuliahan yang bisa ditransfer kredit, peserta juga mendapatkan kesempatan untuk melakukan community service di NGO lokal, pengembangan kapasitas kepemimpinan oleh fasilitator ahli, kunjungan ke perusahaan-perusahaan besar di Singapura, serta terlibat dalam proses sebuah simposium internasional yang menghadirkan keynote speaker ternama termasuk duta besar negara-negara Asia.

Terus, apa saja kesempatan-kesempatan langka yang bisa didapatkan lewat TF LEaRN? Ini dia, coba ya saya ingat-ingat kembali.

  • Kegiatan Akademis & Non-Akademis di NUS

Saya mengikuti seleksi program TF LEaRN lewat Pusat Studi Asia Tenggara UGM. Oleh karena itu, bidang studi yang saya ambil selama satu semester di NUS adalah studi Asia Tenggara, di bawah Faculty of Arts and Social Sciences (FASS). Sistem belajar FASS terdiri dari dua sesi: kelas dan tutorial. Di dalam kelas, ada profesor yang mengajar seluruh kelas besar dalam dengan materi perkuliahan, kemudian kelas besar tersebut dibagi-bagi menjadi beberapa kelas tutorial. Tutorial diadakan di hari lain dengan format focus group discussion dan presentasi mahasiswa.

NUS mengembangkan sistem portal digital untuk pendukung kegiatan akademik, namanya Integrated Virtual Learning Environtment (IVLE). Setiap materi kuliah, tugas, rekaman webcast seminar, akan masuk ke dalam IVLE. Begitu pula dengan hasil ujian dan peringkat kelas. Ini artinya, harus rajin-rajin update secara mandiri dengan menggunakan akun mahasiswa, karena ruang diskusi virtual sangat intens dibangun di sini. Bahkan, feedback tugas dari dosen pun disampaikannya lewat IVLE.

Selain kehidupan akademis, keuntungan menjadi mahasiswa pertukaran adalah punya banyak ruang untuk mencicipi kegiatan non-akademis seperti organisasi mahasiswa, kegiatan kampus, dan fasilitas-fasilitas penunjang kampus lainnya. Saya sempat beberapa kali bergabung dalam kegiatan NUS Southeast Asia Society, NUS Astronomy Society, dan NUS Symphony Orchestra. Selain itu, fasilitas-fasilitas kampus yang canggih-canggih wajib dimaksimalkan, contohnya internal shuttle bus yang efisien, perpustakaan yang nyaman dengan akses ke jurnal internasional yang luas, fasilitas olahraga di recreation centre, museum dan pusat budaya yang sering mengadakan pameran dan konser gratis, serta student residential college yang sudah seperti kota sendiri sangking lengkapnya fasilitas dan sistem organisasi yang mereka rancang.

  • Community Service dan Interaksi dengan Masyarakat Lokal 

Para penerima beasiswa TF LEaRN mendapatkan pembekalan kepemimpinan lewat workshop selama dua hari penuh yang memuat materi kepemimpinan, aktivitas tim bonding, dan kegiatan sosial. Tujuannya adalah mempersiapkan tim untuk pemberdayaan masyarakat jangka pendek selama studi di Singapura, dan jangka panjang untuk jadi referensi yang bisa dibawa pulang ke negara asal.

Dalam workshop ini, kami melakukan sosialisasi tentang air kepada masyarakat di lingkungan yang memiliki kebutuhan distribusi air bersih. Proyek sederhana yang kami sebut “Water Project Campaign” ini dirancang untuk melatih kerja sama tim, karena kami harus merancang pesan dan media kampanye, turun ke jalan, mengetuk-ngetuk pintu rumah orang untuk membagi-bagikan air bersih. Lumayan menantang, soalnya di negeri orang!

Kegiatan kerelawanan dijadikan sebagai salah satu indikator kunci performance di TF LEaRN. Uniknya, ada sebuah portal bernama SG Cares, yang membantu menghubungkan orang-orang yang mencari kesempatan menjadi sukarelawan, dengan platform-platform non-profit yang sudah teregistrasi. Banyaknya jumlah pendaftar dan adanya kuota relawan di setiap tempat ini cukup membuat deg-degan. Dalam proses pendaftaran lewat SG Cares, saya sebagai calon relawan harus memilih preferensi kegiatan dan waktu, kemudian preferensi tersebut dicocokkan dengan kriteria organisasi yang diinginkan oleh pendaftar.

Saya kemudian mendapatkan konfirmasi dari admin SG Cares tentang kesempatan menjadi relawan di Void Deck Art Gallery, sebuah proyek sosial yang diadakan oleh komunitas Social Creative untuk merealisasikan galeri seni di lingkungan masyarakat menengah ke bawah. Berlokasi di sebuah komplek perumahan di Pipit Road, MacPershon, saya bergabung bersama relawan lainya merenovasi galeri seni sederhana dengan tema “Tribute to Victor Van Gogh.” Galeri seni ini sudah dibuat sejak tahun 2011 untuk edukasi sosial agar masyarakat di lingkungan ini melek seni. Selain bekerja dengan tim Social Creative, saya dapat berinteraksi dengan masyarakat yang tinggal di sekitar galeri, yang ternyata terhibur dengan kedatangan teman-teman baru.

Selain Void Deck Gallery, saya juga daftar jadi relawan untuk proyek “Chalk it Up!” yang diselenggarakan Asian Civilization Museum. Tantangannya sederhana: menggambar dengan kapur di lapangan museum untuk memecahkan rekor pola geometris Islam terbesar di Singapura. Tak disangka, kegiatan yang dilakukan di akhir pekan ini juga dijadikan ajang berkumpul keluarga-keluarga di Singapura. Dalam kesempatan ini, banyak sekali interaksi dengan residen lokal yang saya gunakan untuk menggali pengetahuan tentang budaya Singapura sekaligus memberikan pengetahuan tentang Indonesia dalam percakapan kasual.

Interaksi dengan residen lokal juga difasilitasi oleh TF LEaRN lewat host-programme. Setiap peserta inbond dipasangkan dengan peserta outbond yang merupakan warga negara asli Singapura. Saya menghabiskan momen lebaran dengan keluarga angkat saya yang multikultur, peranakan Melayu dan India. Ini adalah bagian dari pertukaran budaya yang saya sukai: sebuah kesempatan langka merayakan momen penting di negeri orang, walau harus menahan rindu dengan keluarga di rumah dan memutuskan untuk tidak pulang ke Indonesia.

  • Kesempatan Berjejaring dengan Para Profesional

Sebagai penerima beasiswa dari Temasek Foundation, tentu saja ada kesempatan untuk mengenal lini bisnis yang mereka lakukan. Temasek memiliki afiliasi dengan berbagai perusahaan besar di Singapura. Seluruh awardee TF LEaRN dapat mengikuti sesi Temasek Learning Journey, yang terdiri dari audiensi dengan para pemegang kepentingan strategis di bisnis, serta field study ke perusahaan-perusahaan rekanan Temasek. Dalam field study, mendapatkan kesempatan untuk mengintip dapur CapitaLand dan Singapore Airlines.

Selain kunjungan bisnis, kami juga dilibatkan untuk mengorganisir agenda rutin ASEAN Learning Journey. Ini adalah sebuah simposium yang dihadiri oleh CEO Temasek Foundation, duta besar Singapura untuk Indonesia, duta besar Indonesia untuk Sigapura, CEO berbagai bisnis sosio-entrepreneur, perwakilan fakultas NUS, serta perwakilan International Relations Office NUS. Proses persiapan acara ini pun akhirnya menjadi ajang kerja sama tim dalam proyek profesional berskala internasional. Simposium ini sekaligus jadi final remark program TF LEaRN yang kami lalui selama satu semester di NUS. Sebuah perjalanan manis yang kaya dengan pembelajaran dan pengembangan diri. Perjalanan yang tidak hanya memperdalam pengetahuan regional sebagai generasi muda Asia, melainkan juga menambah jejaring profesional di negara-negara tetangga yang lebih suka saya sebut lingkar pertemanan.

Sampai saat ini, saya selalu punya jawaban yang sama untuk pertanyaan, “Why Singapore?”

“Because it’s NUS! Because it’s TF LEaRN!” dan mengutip kata-kata teman satu program saya, Lilian Wong, “it’s not only about Singapore, but also about Indonesia, Malaysia, Brunei, Phillippines, Laos, Thailand, Vietnam, Cambodia, India, Japan, Korea, and China.”

 

Krefit foto: Shofi Awanis

Belajar Epidemiologi dan Membangun Bangsa

$
0
0

“The work of epidemiology is related to unanswered questions, but also to unquestioned answers.” Patricia Buffler

Banyak orang bertanya apa itu epidemiologi kepada saya. Kebanyakan bingung ketika saya menjawab kalau saya mengambil kuliah jurusan epidemiologi. Ada yang menebak apakah berhubungan dengan epidermis? Kulit manusia? Tumbuh-tumbuhan? Atau penyakit epidemik? Setidaknya tebakan terakhir lebih mendekati kebenaran. Secara singkat, epidemiologi adalah ilmu yang mempelajari bagaimana suatu penyakit dapat muncul di masyarakat, pada kelompok tertentu, dan mengapa hal itu dapat terjadi. Informasi epidemiologi inilah yang kemudian akan membantu para pemangku kebijakan dalam hal pengendalian penyakit dan perencanaan kesehatan.

Epidemiologi merupakan ilmu dasar kesehatan masyarakat, proses penyelesaian masalah, serta kunci dari pelayanan kesehatan dan pencegahan penyakit. Epidemiologi mampu memaparkan asal mula penyakit, bagaimana penyakit dapat menyebar di masyarakat, seberapa besar kejadian penyakit pada spesifik populasi, faktor apa saja yang dapat mempengaruhi kejadian penyakit dan wabah, serta bagaimana cara mengendalikan penyakit tersebut. Secara sederhana, epidemiologi merupakan kunci penting untuk memahami penyebaran penyakit serta menciptakan kesehatan pada masyarakat luas.

Saya sendiri tertarik mempelajari epidemiologi setelah saya ditakdirkan tidak lulus menjadi mahasiswa kedokteran. Suatu hikmah sehingga saya berpikir keras keilmuan apa yang kira-kira akan memberikan banyak manfaat di bidang kesehatan. Saat itu saya juga merasa tertantang karena peminat epidemiologi begitu sedikit di antara mahasiswa fakultas kesehatan masyarakat lainnya, ditengah rumor yg beredar bahwa ilmu epidemiologi bukanlah hal yang mudah untuk dipelajari. Akhirnya setelah saya membulatkan tekad menjajal ilmu tesebut, tak berapa lama hati saya tertambat untuk lebih jauh lagi menguasai ilmu ini.

Perjalanan “cinta” epidemiologi saya tidak berakhir di bangku S1. Saya ditakdirkan melanjutkan kuliah S2 di Imperial College London dengan jurusan MSc. Modern Epidemiology. Saat ini, saya pun tengah berjuang menyelesaikan program doktoral saya di UCL dengan jurusan Infectious Disease Epidemiology and Population Health (epidemiologi penyakit menular dan kesehatan populasi). Hal ini bukan tanpa alasan. Ada banyak teman saya yang berpindah jurusan saat melanjutkan jenjang studi nya. Namun saya justru semakin mantap, seakan telah menemukan passion yang tepat dan visi yang mantap dalam hidup saya.

Pengalaman penelitian saya setelah lulus sarjana membuat saya banyak berinteraksi dengan peneliti-peneliti internasional dalam lingkup Asia Tenggara dan Eropa. Teringat betul, sebuah projek riset di bidang Influenza yang saat itu sedang booming-booming nya dikarenakan munculnya wabah H5N1(flu burung) dan H1N1 (flu babi) membuat saya lebih mantap untuk melanjutkan studi epidemiologi. Di akhir riset ini, ilmu modelling dalam epidemiologi dapat meramalkan seberapa besar kejadian flu burung di masyarakat jika penyakit ini mewabah, jumlah obat-obatan yang diperlukan, pada hari keberapa kapasitas rumah sakit akan penuh, tenaga dokter dan staf pelayanan kesehatan minim, dsb. Semua dapat diprediksi menggunakan ilmu epidemiologi.

Hal ini pulalah yang membuat saya mantap untuk melanjutkan studi di UK, dimana kampus-kampus ternama dunia berada. Saya mendapat tawaran di beberapa universitas dan akhirnya mantap memilih ICL dengan jurusan Modern Epidemiology nya. Saya mengakui bahwa perkembangan ilmu epidemiologi di Indonesia belum sepesat yang ada di UK. Saya dapat mengatakan, belajar di UK merupakan sebuah kesempatan besar untuk dapat mereguk nikmatnya ilmu pengetahuan. Saat teknologi dan fasilitas yang diberikan begitu memudahkan pengajaran. Belum lagi ditunjang dengan etos kerja disiplin dan dinamika keilmuan yang terus berkembang. Sehingga tidak salah jika kita belajar di UK berarti kita belajar ke salah satu sumber terbaik ilmu pengetahuan.

Penelitian S3 saya saat ini pun tidak lepas dari pentingnya ilmu epidemiologi. Belajar dari nol bagaimana harus mengendalikan penyakit pada populasi. Bahkan jika penelitian saya berhasil, ini dapat menjadi kasus pertama di dunia untuk mengeradikasi penyakit hepatitis C pada populasi. Eradikasi berarti kita meniadakan penyakit atau membuat tidak adanya penyakit sama sekali pada masyarakat. Butuh kerja keras memang, namun itulah sifat dasar epidemiologi.

Epidemiologist (ahli epidemiologi) begitu dicari di negara-negara maju. Karena mereka begitu paham bahwa epidemiologi adalah kunci pencegahan penyakit yang terjadi di masyarakat. Saya melihat kinerja dan sumbangsih ahli epidemiologi begitu besar di negara-negara Eropa dan Amerika. Mereka bekerja sama erat dengan kementrian kesehatan negara setempat, memberi masukan-masukan berdasarkan fakta lapangan, lalu kebijakan yang dihasilkan akan berdasar pada masukan ahli epidemiologi yang telah melalui penelitian-penelitian panjang.

Saya berharap besar bahwa keilmuan yang tengah saya pelajari saat ini sedikit banyak akan dapat memberikan sumbangsih perubahan kepada Indonesia. Membawa angin sejuk kebermanfaatan demi seluas-luasnya kemaslahatan. Karena bahagia itu, sesederhana bermanfaat bagi sesama, mengangkat derita mereka yang papa, menjawab permasalahan berbekal ilmu yang ditempa. Karena saya percaya, buah karya kitalah yang akan membangun bangsa, menyemai asa, dan menggapai cita.

The best among you are those who bring greatest benefits to many others”. –Nabi Muhammad SAW-

 

Tips Beasiswa LPDP, Kita Semua Bisa!

$
0
0

Pada kesempatan lalu, Indonesia Mengglobal sudah pernah membahas tentang proses seleksi beasiswa LPDP. Dalam kesempatan ini, Bayun Binantoro, mahasiswa Master of Science (Biotechnology) di University of Melbourne yang juga merupakan penerima beasiswa LPDP batch ke 15, akan membagi pengalamannya dalam memperoleh beasiswa tersebut.

Meskipun baru mulai diadakan pada tahun 2012, popularitas program beasiswa Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) semakin naik belakangan ini. Hal ini terutama dikarenakan peran beasiswa tersebut dalam membantu memberangkatkan para muda-mudi Indonesia menuntut jenjang ilmu pascasarjana ke hampir seluruh penjuru dunia. Meskipun saya tidak mengetahui secara persis jumlah total penerima beasiswa ini, sebagai gambaran besar saja, pada periode penerimaan tahun 2013-2014 LPDP memberikan 4.580 orang kesempatan untuk melanjutkan kuliah menggunakan dana yang dikelola oleh Departemen Keuangan ini. Jumlah tersebut terbilang fantastis untuk sebuah lembaga pengelola dana pendidikan dalam kurun waktu sesingkat itu.

Semenjak menempuh pendidikan sarjana di Universitas Soedirman (Unsoed) tahun 2004, saya sendiri sudah bermimpi untuk melanjutkan gelar master ke luar negeri melalui jalur beasiswa. Agar impian ini tidak menjadi angan semata, saya berusaha mencari informasi di jejaring internet, bertanya kepada teman, dan membeli buku-buku yang berisi kiat-kiat mencari beasiswa. Bagi saya, sekolah ke luar negeri bukan hanya untuk keperluan belajar, namun juga demi membuka wawasan dan perspektif saya tentang dunia.

Penulis (tengah, baju ungu) bersama para penerima LPDP di Melbourne

Berdasarkan pengalaman pribadi dan juga hasil diskusi dengan sesama penerima beasiswa, sebenarnya memperoleh beasiswa LPDP tidak sesulit yang diperkirakan karena beasiswa ini tidak memiliki kuota. Dengan kata lain, asalkan Anda memenuhi kualifikasi dan lulus tes, Anda bisa mewujudkan mimpi Anda belajar di salah satu institusi perguruan tinggi negeri terbaik dunia. Berikut ini, saya akan bagi beberapa tips yang berguna dalam menjalani tahap-tahap seleksi beasiswa LPDP:

1. Tahap Seleksi Administratif

Tahap ini adalah tahap paling pertama sebelum calon penerima beasiswa menjalani tes yang sesungguhnya. Percaya atau tidak, meskipun kelihatannya simpel, banyak peserta yang gugur hanya gara-gara tidak memenuhi persyaratan. Saran saya adalah Anda harus baca dan perhatikan baik-baik semua persyaratan administrasi. Setelah itu, Anda harus lengkapi, cek ulang dan pastikan semua yang dibutuhkan telah siap untuk dikirim atau diunggah ke website resmi LPDP. Jangan sampai Anda gugur hanya karena lupa mengunggah surat rekomendasi, misalnya. Pada saat saya melamar beasiswa LPDP ini di tahun 2014, ada dua jalur utama yang dapat kita tempuh, jalur “tanpa LoA (Letter of Acceptance)” dan jalur “LoA”. Sesuai namanya, tanpa LoA dari universitas tujuan pun kita masih bisa mendaftar LPDP, namun sebisa mungkin Anda berusahalah untuk mengantongi LoA universitas tujuan demi memperoleh daya tawar lebih, apalagi jika universitas tersebut termasuk salah satu universitas-universitas terbaik dunia. Selain itu, apabila Anda resmi jadi awardee setelah mengantongi LoA, Anda tidak perlu repot lagi mencari universitas dan bisa langsung berangkat.

2. Tahap Wawancara

Menurut saya, setelah Anda lulus tahap seleksi administrasi, 50% dari keberhasilan Anda mendapatkan beasiswa LPDP ditentukan oleh tahap wawancara ini. Dalam kesempatan inilah saatnya Anda meyakinkan tim panelis bahwa Anda layak menerima beasiswa prestisius ini. Tim panelis yang biasanya beranggotakan tiga orang ini terdiri dari para profesor, dosen ahli, psikolog dan staff LPDP. Mereka akan bertanya seputar kualifikasi Anda, alasan Anda ingin belajar di universitas yang Anda pilih, esai Anda mengenai kontribusi untuk Indonesia, dan rencana Anda setelah menempuh studi dan kembali ke Indonesia. Saran saya adalah, pertama Anda harus tenang dalam menjawab pertanyaan para panelis. Kedua, kuasailah esai yang Anda tulis dan buatlah elevator pitch yang meyakinkan agar panelis mantap dalam memilih Anda. Ketiga, antisipasilah pertanyaan-pertanyaan yang mungkin muncul dengan membuat daftar pertanyaan berdasarkan resume dan esai yang telah Anda buat. Satu lagi, sering-seringlah melakukan latihan wawancara dengan bantuan teman atau keluarga.

3. Tahap LGD (Leaderless Group Discussion)

Tahap ketiga ini sama pentingnya dengan tahap kedua dan menurut saya juga menentukan 50% dari keberhasilan Anda mendapatkan beasiswa ini. Setalah wawancara, sejumlah awardee (10-13 orang) akan ditempatkan dalam sebuah roundtable discussion dengan satu tema spesifik, biasanya seputar isu-isu yang sedang hangat dibicarakan di Indonesia. Tiga orang psikolog sebagai pengawas akan melihat dan menilai bagaimana kita mengekspresikan ide, berdiskusi, dan menawarkan solusi atas masalah yang jadi topik diskusi. Saran saya, karena sifatnya leaderless, berusahalah untuk menjadi seorang moderator untuk memperoleh nilai lebih di mata pengawas. Inilah kesempatan Anda untuk menunjukkan kemampuan Anda dalam mengatur dan memfasilitasi jalannya diskusi agar lebih teratur. Selain itu, biasanya beberapa orang akan terlihat sangat aktif dan mendominasi pihak lain yang lebih pasif. Sebagai seorang moderator, usahakanlah supaya semua orang mendapatkan giliran berbicara. Setelah itu, rangkumlah kesimpulan yang telah dicapai dalam diskusi tersebut. Terakhir, berpendapatlah sekreatif mungkin. Jika Anda hanya menyetujui dan mengkopi ide solusi dari peserta lain, Anda akan terlihat tidak kontributif. Sebaiknya carilah pemecahan masalah dengan perspektif yang berbeda namun tetap efektif.

4. Tahap PK (Persiapan Keberangkatan)

Menurut saya tahap terakhir ini sifatnya lebih ke arah formalitas semata karena saya hampir tidak pernah mendengar ada awardee yang dibatalkan beasiswanya karena gagal lolos tahap ini. Pada intinya Tahap PK ini fungsinya adalah untuk mempersiapkan para awardee sebelum sepenuhnya fokus ke studinya masing-masing, baik di dalam ataupun di luar negeri. Selain itu, di tahap ini bakal ada sedikit penggemblengan karakter dan nasionalisme agar nantinya para awardee tidak akan lupa akan janjinya berkontribusi balik untuk Indonesia. Saran saya, meskipun kemungkinan kecil Anda batal menerima beasiswa LPDP di tahap ini, tetap ikutilah semua kegiatan dengan khidmat dan antusias. Para calon awardee akan mendapatkan kesempatan untuk bertemu tokoh-tokoh hebat, para pahlawan Indonesia modern seperti Anies Baswedan dan Ridwan Kamil. Tokoh-tokoh panutan inilah yang diharapkan bisa menjadi inspirasi Anda untuk nantinya berkontribusi balik ke Indonesia.

Saya harap tulisan saya ini dapat memotivasi Anda untuk berusaha memperoleh beasiswa LPDP. Sebagai rakyat Indonesia, ingatlah bahwa beasiswa ini berasal dari Anda sendiri dan ditujukan juga untuk Anda karena beasiswa ini merupakan bentuk nyata reward yang bisa Anda dapatkan dari hasil membayar pajak bulanan.

All in all, remember to find your passion and go for it!

 

Photo provided by the author

Edited by Hadrian Pranjoto

Viewing all 1384 articles
Browse latest View live