Quantcast
Channel: Indonesia Mengglobal
Viewing all 1384 articles
Browse latest View live

Pengalaman Kuliah di International Islamic University Malaysia

$
0
0

Hubungan Indonesia dan Malaysia memang terkadang asam manis. Ketika keduanya kurang harmonis, ini berdampak kepada kehidupan bernegara antar rakyatnya juga. Gejolak hubungan antara kedua negara ini tak lantas membuat semangat saya patah begitu saja untuk mengejar gelar yang lebih tinggi di Negeri Jiran, Malaysia. Tidak bisa dipungkiri bahwa sebenarnya Malaysia dan Indonesia adalah dua negara tetangga yang memiliki kesamaan bahasa, budaya, ras, agama, bahkan sistem paguyuban yang diterapkan dalam kehidupan sosial mereka.

Memutuskan untuk pindah dan kuliah di Malaysia sudah menjadi pertimbangan saya sejak saya masih duduk di bangku SMA. Bagi saya, bersekolah di luar negeri akan memberikan manfaat yang lebih besar untuk prospek karir ke depannya ataupun jaringan koneksi yang lebih luas. Saat ini saya menuntut ilmu di International Islamic University Malaysia (IIUM).

Sejak pindah dan kuliah di Kuala Lumpur, banyak persepsi kurang positif yang bemunculan dari beberapa teman dan tetangga, misalnya sekolah di Malaysia itu sekolahnya TKI, nggak keren, kualitas pendidikannya tidak lebih bagus daripada Indonesia.

Mengingat begitu banyaknya pandangan yang kurang sesuai, maka berikut saya uraikan beberapa fakta yang mungkin belum banyak anak Indonesia tahu tentang indahnya kuliah di Malaysia.

Negeri yang Islami

Dibandingkan dengan Indonesia, Malaysia jauh lebih Islami dalam hal kehidupan bernegara dan sosialnya. Di IIUM sendiri, nilai-nilai Islam sangat diterapkan dalam kehidupan kampus. Salah satu contohnya adalah budaya ujian di kampus. Budaya mencontek yang dulu sering saya temukan waktu sekolah di Indonesia, tidak saya temukan di IIUM. Setiap quiz, mid-term, atau final exam, biasanya exam committee cukup menuliskan kata-kata, “May be I can’t see you, but Allah certainly sees you” di layar besar depan kelas atau hall.  Selain itu, tidak diperbolehkannya mahasiswa dan mahasiswa berdua-duaan di setiap sudut kampus juga menjadi perhatian khusus yang membuat teman-teman merasa nyaman tinggal di kampus. Jika ada mahasiswa dan mahasiswi berdua-duaan oleh security kampus, maka mereka akan disidang dan dijatuhi hukuman sesuai peraturan kampus dan agama Islam. Selain itu, diwajibkan bagi seluruh mahasiswi menggunakan hijab. Dengan adanya perturan seperti ini maka mahasiswi non-Islam pun juga diwajibkan untuk menggunakan hijab. Bahkan tidak jarang, banyak diantara mereka yang akhirnya memeluk Islam dan kebanyakan dari mereka adalah mahasiswi dari China.

Kehidupan Mengglobal

Nyamannya tinggal di negeri Islami seperti Malaysia menarik banyak warga asing untuk tinggal dan berkeluarga di Malaysia. Sebagai contoh, jumlah mahasiswa internasional yang berkuliah di kampus saya lebih dari 45% dari total mahasiswa yang ada. Kebanyakan mereka adalah pendatang dari Timur Tengah, Eropa, Amerika, India, Jepang, Bangladesh, Rusia, China, juga Indonesia. Jadi suasana kehidupan belajar dan berteman pun sangat beragam. IIUM sendiri merupakan kampus negeri satu-satunya di Malaysia yang memiliki proporsi mahasiswa asing terbanyak jika dibandingkan universitas-universitas negeri lainnya.

Kehidupan mengglobal IIUM ini ternyata menarik perhatian banyak dunia luar untuk terus mengajak kerja sama dalam hal pengembangan sumber daya manusia. Sebagai contoh, setiap tahun pemerintah Afganishtan memberangkatkan sekitar 300 pemudanya untuk kuliah di IIUM. Selain itu, pemerintah Palestina pun juga memberikan beasiswa penuh setiap tahunnya bagi mahasiswa Palestina untuk belajar di IIUM. Hal ini dimaksudkan agar IIUM bisa membentuk karakter pemimpin yang cerdas dan Islami.

Dalam hal prestasi di tingkat internasional, banyak sekali mahasiwa IIUM yang berhasil mencatatkan namanya sebagai juara di berbagai kejuaraan tingkat dunia. Sebagai contoh adalah sosok pemuda asal Malaysia yang berhasil menjadi “Asia’s Best Debater” di tahun 2015, yakni Syed Saddiq Syed Abdul Rahman. Dia merupakan sosok pemuda yang tidak hanya berhasil mempengaruhi kehidupan kampus IIUM tetapi dia juga berhasil mempengaruhi kehidupan politik di Malaysia. Pasalnya, selain dia merupakan pelajar IIUM, dia juga merupakan salah satu anggota partai politik di Malaysia.

Kehidupan Kuliah yang Trilingual (Bahasa Melayu, Bahasa Inggris, dan Bahasa Arab)

Pesatnya perkembangan Malaysia di semua sektor membuat Malaysia menjadi salah satu negara yang warga negaranya mampu menguasai 3 bahasa, yakni bahasa Melayu, bahasa Inggris, dan bahasa Arab. Bahasa Melayu dianggap sebagai bahasa utama serta bahasa resmi pemerintahan, dan bahasa Inggris serta bahasa Arab untuk sektor pendidikan. Untuk kuliah di universitas di Malaysia juga perlu menggunakan skor TOEFL atau IELTS, karena hampir seluruh universitas di Malaysia sudah menggunakan pengantar bahasa Inggris dan bahasa Arab (sebagian). Bahkan kebijakan Menteri Pendidikan Malaysia yang baru adalah mewajibkan seluruh jenjang pendidikan di Malaysia mulai dari SD hingga PhD menggunakan bahasa Inggris. Jadi walaupun bahasa resmi mereka adalah bahasa Melayu, tetapi jika teman-teman memutuskan untuk kuliah di Malaysia, teman-teman tetap menggunakan bahasa inggris. Alhasil, esensi lingkungan belajar internasionalnya sangat terasa.

Di IIUM sendiri karena besarnya proporsi mahasiswa asing dibanding mahasiswa Malaysia, maka bahasa Inggris dan bahasa Arab wajib digunakan dalam kehidupan kampus maupun kehidupan sehari-hari. Sebagai informasi tambahan juga, jumlah mahasiswa Indonesia yang belajar di Malaysia, sebagian besar adalah pelajar IIUM. Bahkan berdasarkan survei PPI Malaysia, PPI-IIUM merupakan PPI dengan anggota terbanyak dibanding PPI dari universitas lain di Malaysia. Sampai sekarang, total anggota PPI-IIUM mulai dari level Foundation hingga PhD adalah sekitar 900 mahasiswa.

Sistem Transportasi Terintegrasi yang Murah

Murah dan nyamannya transportasi umum di Malaysia adalah salah satu alasan rendahnya tingkat kemacetan di ibukota negaranya, Kuala Lumpur. Sebagai contoh, teman-teman cukup membayar RM 1 untuk naik Rapid KL untuk sekali jalan atau sekitar RM 1-3 untuk naik LRT dan monorail, tergantung jauh-dekatnya jarak yang ditempuh. Jadi sebagai mahasiswa, harga ini sudah sangat murah meriah. Bahkan, bagi pelajar ataupun mahasiswa, kita juga bisa membeli kartu jalan khusus pelajar atau mahasiswa, biasa disebut “myrapid pelajar”, dengan potongan harga hingga 50%. Kartu ini berlaku untuk semua perjalanan baik itu RapidKL, LRT, BRT (Bus Rapid Transit), Sunway Line, hingga Bus Service. Dengan potongan yang besar ini, tentu kita bisa menghemat untuk perjalanan lainnya.

Selain itu, sistem tiket yang mudah membuat para penumpang sangat terbantu jika ingin bepergian menggunakan transportasi umum. Sistem swadaya yang sudah berlaku sejak 1998 ini sangat efektif dan efisien. Ditambah lagi penggunaan bahasa Inggris di setiap sudut pengumuman sangat memudahkan penumpang asing untuk tidak mengganggu penumpang lainnya dengan sering bertanya alamat atau tujuan.

Kesamaan Kuliner

Persamaan budaya antara Indonesia dan Malaysia membuat banyak pelajar Indonesia jarang mengalami culture shock untuk masalah makanan. Hal ini karena miripnya rasa makanan Malaysia dengan Indonesia, bahkan teman-teman juga bisa menemukan banyak restoran Indonesia yang ada di Malaysia. Tidak hanya mirip, harganya pun juga relatif terjangkau bagi dompet mahasiswa, apalagi jika teman-teman memutuskan untuk tinggal di asrama kampus, harga makanan jauh lebih murah dibanding tinggal di luar kampus. Jika memutuskan untuk tinggal di asrama kampus IIUM, maka teman-teman bisa pergi ke Cafeteria Mahallah Ali, di sana terdapat banyak sekali makanan Indonesia dengan harga terjangkau. Cafetaria ini mulai buka pukul 04.00 pagi hingga pukul 2.00 pagi (22 hours). Untuk masalah harga, cafeteria ini merupakan cafeteria dengan harga paling murah dengan kualitas A.

Di IIUM terdapat tim penilai khusus cafeteria yang tugasnya untuk menjaga kepuasan pembeli dengan memberi penilaian terhadap kualitas makanan dan kebersihan lingkungan. Tim penilai cafeteria ini akan memasang stiker besar yang bertuliskan A, B, C, atau D. Jika cafeteria ini memiliki kebersihan yang terjaga, kualitas makanan yang baik, sistem penjualan yang baik dan pelayan yang ramah, harga yang terjangkau, serta beragamnya jenis makanan, maka tim penilai akan memberikan label A di depan pintu masuk cafeteria. Tetapi sebaliknya jika cafeteria tersebut kurang memenuhi persyaratan tim penilai cafeteria, maka mereka tidak akan segan-segan untuk menempelkan stiker D yang artinya tidak direkomendasikan.

Kehidupan Kuliah yang Murah

Sesuai dengan data dari mjeducation.com, Malaysia merupakan negara ketiga terfavorit tujuan pelajar Indonesia untuk kuliah setelah Australia dan Amerika. Jika dibandingkan dengan kedua negara tersebut, maka uang kuliah di Malaysia jauh lebih murah dengan standar pendidikan internasionalnya. Keunggulan kuliah di Malaysia adalah pendidikan yang menggunakan pengantar bahasa Inggris, rujukan jurnal internasional, professor lulusan dari universitas terbaik di dunia, hingga lulusannya yang sering mendapatkan beasiswa untuk kuliah lanjut di kampus bergengsi dunia seperti Harvard University, Oxford, hingga Cambridge. Biaya kuliah di jurusan Ekonomi IIUM sendiri untuk undergraduate adalah RM 12,595 untuk satu tahun pertama. Sedangkan untuk level post-graduate dan doctoral tergantung dari masing-masing jurusan dan credit hours yang harus diselesaikan.

Budaya Antre

Mungkin tidak hanya di Malaysia, di negara lain seperti Amerika, Negara Uni-Eropa, antre sudah menjadi hal yang biasa, tetapi bagi negara ASEAN, budaya antre masih sangat sulit untuk diterapkan. Malaysia adalah negara kedua setelah Singapura yang berhasil menerapkan budaya antre dalam kehidupan sosialnya. Jadi kamu akan lebih tertib jika kamu memutuskan untuk tinggal dan kuliah di Malaysia. Untuk di IIUM sendiri, budaya antre ini diterapkan dengan 2 sistem. Yang pertama adalah penggunaan sistem nomor antrean. Biasanya mesin pencetak nomor antrean akan terletak di pinggir pintu masuk, sehingga memudahkan mahasiswa jika ingin mengambil nomor antrean. Kebiasaan antre yang seperti ini akan banyak ditemukan dalam sistem administrasi perkuliahan. Contohnya adalah pengambilan student visa di kantor imigrasi, konsultasi masalah admission di Admission Division, dan konfirmasi pelanggaran peraturan kampus di Security Division.

Untuk sistem antre yang kedua lebih mengedepankan kesadaran diri, artinya tidak ada nomor antrean yang harus diambil. Hal ini dijumpai pada pembayaran makanan di kantin, peminjaman buku dengan mesin otomatis, printing, dan lain sebagainya.

Ini adalah pengalaman saya selama tinggal di Malaysia. Semoga tulisan dapat menjadi rujukan jika pembaca Indonesia Mengglobal berencana kuliah di Malaysia.

Have a wonderful day and welcome to Malaysia.

Malaysia is truly Asia.

 


Kuliah di Aarhus University dengan Strategic Scholarship

$
0
0

Banyak yang tidak tahu kalau Aarhus University (AU) menawarkan kesempatan beasiswa untuk mahasiswa yang berminat kuliah di Denmark. Berikut akan saya coba jelaskan mengenaibeasiswa yang ditawarkan Aarhus Universty untuk program pendidikan pascasarjana.

Cerita saya di Denmark bermulai ketika di tahun 2014 Aarhus University mempunyai program beasiswa“Strategic Scholarship for Indonesia and Chinese Students in 2014”. Bisa ditebak dari namanya kalau beasiswa ini ditujukan khusus untuk mahasiswa dari Indonesia dan Tiongkok, dengan tujuan untuk menjalin hubungan kerjasama AUdengan universitas-universitas di kedua negara tersebut. Beasiswa ini hanya untuk program master yang bahasa pengantarnya menggunakan bahasa Inggris di empat fakultas, yakni Arts, Business and Social Science, Science and Technoogy, dan Health. Beasiswa ini meliputi biaya pendidikan di luar buku serta tunjangan hidup tiap bulan.

Namun, di tahun 2015 kemarin, program ini berganti nama menjadi ”Strategic Scholarship” dan memperluas sasaran penerima beasiswa, yakni pelajar dari seluruh negara kecuali negara anggota Non-EU/EEA dan Swiss. Jika saya bandingkan, sebenarnya tidak ada perbedaan yang berarti dalam hal persyaratan pendaftaran jika dibandingkan dengan program beasiswa yang saya terima di tahun 2014. Dibawah ini akan saya jelaskan kriteria beasiswa, serta proses pendaftaran.

Kriteria beasiswa

–     Seleksi berdasarkan kualifikasi akademik dan diperuntukkan khusus untuk program master yang menggunakan bahasa inggris. jangan khawatir karena mayoritas program master yang ditawarkan AUmenggunakan bahasa pengantar jadi banyak pilihan jurusannya tidak sempit. Untuk melihat jurusan yang ditawarkan bisa klik link ini

–    Beasiswa meliputi bebas biaya kuliah dan biaya tunjangan hidup selama maksimum 23 bulan masa pendidikan. Harap diperhatikan beasiswa tidak mencakup biaya tiket pesawat, dan biaya pengurusan visa

–    Proses aplikasi beasiwa digabung dengan proses penerimaan mahasiswa baru. Jadi calon mahasiswa mendaftar ke AU, dan jika diterima baru di-review dari dokumen aplikasi ke universitas apakah mahasiswa tersebut layak beasiswa atau tidak. Calon mahasiswa tidak bisa menyatakan kalau ia mengajukan aplikasi beasiswa saat mendaftar ke universitas. Fun fact, di tahun 2015 kemarin, ada satu mahasiswi asal Indonesia yang mendaftar ke AUtanpa tahu mengenai program beasiswa. So you can imagine how happy she was when she received not only an acceptance letter to the university but also a scholarship offer 😀

–    Beasiswa bersifat terbatas sehingga tidak semua mahasiswa yang mendaftar dan memiliki kualifikasi yang diperlukan akan mendapat tawaran beasiswa.

–    Untuk mempertahankan beasiswa, setiap semester mahasiswa hanya diwajibkan lulus minimal 30 ECTS (satuan kredit yang dipakai di Denmark). Sebagai gambaran, satu mata kuliah biasanya bernilai 5 atau 10 ECTS.

–    Beasiswa ini tidak mengikat, sehingga setelah lulus penerima beasiswa boleh menetap dan bekerja di Denmark maupun pulang kenegara asal.

Proses pendaftaran

–    Di tahun 2015 kemarin, proses penerimaan mahasiswa baru dibuka sekitar bulan November dengan dealine pendaftaraan di pertengahan bulan Januari. Mungkin tahun ini berubah jadi baiknya rajin-rajin mengunjungi website kandidat.au.dk/en untuk tetap up-to-date

–    List dokumen yang diperlukan dalam proses pendaftaran bisa dilihat di sini.

–    Semua proses aplikasi dilakukan secara online.

Pendidikan dan kegiatan kebudayaan Denmark

–    Tidak hanya kondusif, Denmark juga merupakan salah satu negara teraman di dunia, dan Aarhus University sendiri sempat berada di jajaran “Top 100 University in the World menurut QS University World Ranking di tahun 2014, dan saat ini menduduki peringkat 107 (still not bad at all!).

–    Aarhus University sendiri terletak di kota Aarhus yang merupakan kota terbesar kedua setelah Copenhagen. FYI, baru-baru ini  Aarhus dinobatkan oleh New York Times sebagai destinasi yang harus dikunjungi di tahun 2016! Selain itu, di tahun 2017 nanti kota Aarhus juga menjadi salah satu European Capital of Culture. Aarhus juga terkenal sebagai kota pelajar, dan tempat diselenggarakannya salah student event terbesar di wilayah Skandinavia, yaitu Kapsejladsen yang diselenggarakan setiap musim semi.

Semoga informasi ini bisa memperluas scholarship database yang teman-teman kumpulkan. Held og lykke!

 

Images courtesy of Alfan Rezani

Overcoming the Cultural Shock Abroad

$
0
0

I can still freshly recall when and where I first encountered a Melbournian. He was a shop assistant in a shop I visited immediately after arriving in Melbourne. “What arr ya afta?” he said. “Pardon?” I replied. This conversation was repeated for so many times before he changed the line to “What arr ya looking far?” To make it worse, he was actually spitting each of those words to my face, rather than having a proper dialogue with a potential customer. This bit of story practically sums up my first months here in Australia. It took me a few months to get used to the ‘lazy’ Australian accent, while enjoying the charming Melbourne and my new college life. It was so naive of me for thinking that I had aced Melbourne at that time. Truly, this was only the prologue.

Six months later, I finished the foundation studies and started pursuing my Architecture major at the University of Melbourne. At first, the orientation week was smooth and fine. However, once the first semester officially began, all kinds of unforeseen issues started to appear. Taking no buffer, all lecturers quickly informed that the first deadlines for the semester would be in the following week. Immediately, my joy of being a freshman dropped as quickly as anxiety took over my mind.

Unlike in the foundation studies, there were very few international students taking this major and I practically knew no one. This was concerning, but I was quite confident that I would make new friends. Apparently, in practice, it was not that easy to start and maintain a conversation with other students. I might have had sufficient listening, reading, and writing skills at that time, but my speaking skill was still far from decent, at least, according to this ‘new’ standard. What troubled me most was that I hardly could blend into this clique of mostly locals or Australian Born Chinese (ABC) students. I started to feel like an outsider, especially since my accent was not ‘Aussie’ enough for socializing.

Australians looked ‘cold’ to me as they seemed to be very brief and did not bother to have small talks or friendly chitchats like we, Indonesians, often do. Even during the classes, I experienced this language and cultural barrier. One of my tutors kept asking me to repeat what I said during a class discussion. She found my accent uncommon, and yeah, she actually said that in front of the class. Maybe for Australians, this attitude is perceived as a common behavior, but at that time, I felt quite offended. As expected, all of these factors started to turn into prejudice that was more than enough to discourage me.

For the whole first two months, despite my desperation to make new friends, I stopped attempting to talk to other students. I did not want to embarrass myself any further and besides, I had a lot of Indonesian friends even though they were in different faculties. However, when architecture eventually became a real torture, I realized that surviving at the university without any comrades is basically a mission impossible. It was just sad to have no companions to share thoughts and ideas or even just to exchange greetings throughout the day.

I made up my mind and dared myself to greet and talk to other students. Surprisingly, it was not as bad as expected. Apparently, they did not mind with my accent at all. In fact, some of them were very friendly. Everything snowballed from there. As I interacted with more people, my speaking skills and confidence improved rapidly. I made a lot of friends throughout my three-year course and the best part was that I managed to adjust and build a sense of belonging. Architecture is a rewarding yet demanding course with all of the caffeine shots, sleepless nights, endless essays and reports, weekly critics, cut fingers, eye-bags and the bloody expensive printing costs. However, I am extremely grateful that I went through all of those together with my many friends. Daring myself to get out of my comfort zone was simply one of my best life decisions.

“Buy the ticket and take the ride”, people often said. Well, I did buy the ticket, but I had let prejudice discourage me that I missed out my first ride. We tend to spot and list differences more quickly than similarities. In fact, I realized that I should have looked at things from a different perspective. I had braced myself with the perception: ‘their’ culture is different from ‘mine’, it will be hard to get along with ‘them’ because ‘I’ am not the same. It was actually ‘me’ who set all of these boundaries in the first place.

Belinda Prasetio Melbourne culture shock internationa student

Author (forefront, in blue) with her postgraduate colleagues

Fast forward to four years later, I am still here in the same university, halfway through my postgraduate study in Management (Finance). Getting along with people from different cultural backgrounds is no longer an issue for me as I have been through the cultural shock years ago. I am still not an expert nevertheless, but my communication skills have improved significantly. I believe the key is to have an open mind in the first place and I wish I had known this thing earlier. You should dare yourself, open up, and take as many rides as possible during your stay abroad. On the other hand, do not forget to be considerate to yourself. At the end of the day, it is not about determining which culture is superior. Instead, it is so much more about making the most of your journey.

Pengalaman Ikut Suami Studi di Cranfield UK dengan Dua Anak

$
0
0

Oktober 2010 kami sekeluarga berangkat ke Cranfield London karena suami dapat beasiswa dari kantor untuk pendidikan S2 di bidang finance. Saat itu anak ku yang besar Rashaqa masih TK besar dan yang kecil Rakeyla masih di preschool.

215371_10150161156149013_2783526_n

Sesampainya disana dengan cukup waswas karena tempat tinggal di asrama kampus belum dipastikan, kami tinggal di hotel Keynes Milton, yang posisi nya cukup jauh dari kampus suami. Minggu pertama kami habiskan untuk menghibur diri ke pusat kota serta bolak-balik hotel dan kampus untuk melihat dan membiasakan diri dengan lingkungan kampus serta memastikan kalau tempat tinggal sudah siap dihuni. Akhirnya pada hari ke lima kami dihubungi pihak kampus dan di informasikan bahwa kami sudah bisa masuk kerumah nya. Alhamdulillah, rumah yang kami dapat sesuai dengan harapan kami, rumah nya memiliki taman yang besar, saya senang karena anak-anak bisa bermain dengan bebas di taman.

Minggu ke dua suami sudah mulai kuliah, saya sudah mulai melakukan aktifitas ibu rumah tangga sendiri, seperti cuci baju, masak dan bersih-bersih rumah. Minggu ke tiga anak-anak mulai sekolah; Rashaqa dapat sekolah di Cranfield lower school daerah village pemukiman dengan hampir semua orang asli sana. Dia naik school bus berangkat jam 7 pagi yang memang standby di kampus untuk menjemput anak-anak dari para mahasiswa yang kebanyakan pendatang. Sangat seru, semua datang dari berbagai negara, ada yang dari India, New Zealand, Malaysia, Singapur, Korea, Afrika, Nigeri. Setiap hari saya mengantri ke halte bus jadi bisa tambah teman juga, mereka sesama ibu-ibu yang mau mengantar anak-anak nya. Sedangkan Rakeyla karena masih preschool sekolah nya berbeda dengan kakak nya, kebetulan preschool nya adalah preschool Cranfield University yang memang ada di dalam area kampus dekat dengan rumah khusus untuk anak-anak yang tinggal di asrama kampus. Disana kami banyak berjalan kaki, walau dingin tapi happy karena ini pengalaman baru dan menyenangkan.

208081_10150161107329013_190913_n

224687_10150161872339013_6251944_n

Hari-hari selama di sana kami lewatkan ber-empat saja, susah senang ya cuma ber-empat. Pada hari kerja, rutinitas suami adalah kuliah dan mengerjakan thesis. Anak-anak sekolah jam 7-4 sore. Buat saya rutinitas selain masak dan mengantar anak-anak sekolah, juga setiap dua kali seminggu ke laundry coin dideket rumah untuk cuci baju, lalu ditinggal supaya bisa beres-beres rumah, lalu balik lagi ambil laundry nya.

Weekend kita ke Milton Keynes belanja supermarket atau ke village car boot sale. Senang banget karena semua serba murah!! kita borong segala macam mainan anak-anak, maklum mainan ditinggal di Jakarta semua. Sering juga di hari jumat kami berangkat ke London, menginap sampai hari Minggu malam, kami jalan-jalan keliling London untuk berwisata. Selain Itu kami juga sering ke luar Cranfield, pergi ke kota-kota sekitar seperti Oxford, Birmingham, Liverpool, Cambridge, Edinburgh, Manchester, dan Warwick.

Selama jalan-jalan keluar kota kami lebih sering menggunakan mobil kami yang dibeli disana, lebih nyaman dan enak juga untuk melihat pemandangan. Enak juga didalam mobil, jadi tidak perlu dingin-dinginan. Selama disana kayaknya hanya ada satu hari yang sunny dan tidak berangin, sisanya selalu dingin dan berangin walaupun lagi Spring, Summer, apalagi Autumn dan Winter.

205928_10150261047119013_4597748_n

224640_10150160862289013_6615402_n

10590594_10152287183574013_1324279150422369745_n

Sebelum berangkat sempat terbersit apa bisa hidup jauh dari keluarga? Tidak ada tempat jajan yang murah, belanja sendiri, masak sendiri, semua serba sendiri. Tapi Alhamdulillah, tetangga kami saat itu orang Malaysia yang begitu informative tentang tempat makanan halal. Saya masak benar-benar dari bumbu dapur mentah utuh sampai bisa jadi masakan makanan sekeluarga itu adalah hal yang baru untuk saya. Berhubung di Jakarta kita punya Mbak yang sangat jago masak.

Tiga bulan, empat bulan berlalu… Dari dingin sampai yang sangat amat dingin, suhu terendah selama disana minus 15. Sampai turun salju walau sempat menderita karena dingin banget, kami tetap happy karena di Indo tidak ada salju. Dari mulai main salju sampai akhirnya kami ngungsi ke London beberapa hari karena Cranfield salju nya lumayan parah, sampai kampus ditutup sementara karena jalanan akses dari manapun tidak bisa di lewati mobil karena salju sangat tebal.

Saat lebaran pun kami stay disana. Alhamdulillah saat kami bisa Sholat Ied karena banyak juga pendatang yang merayakan lebaran disana. Nah.. kalau untuk puasa itu lain cerita. Disana kami puasa saat summer, jadi jam 2 pagi sudah sahur lalu buka nya jam 10 malam. Puasa sampai 12 jam!! Padahal kalau winter enak banget, cuma 4 jam puasanya. Alhamdulillah anak-anak bisa ikut puasa walau tidak penuh setiap hari, tapi setidaknya mereka usaha. Lebaran disana juga tanpa masakan lebaran kayak di Indonesia. Tapi, karena keluarga Muslim Malaysia disana cukup akrab, kami diundang silaturahmi ke rumah mereka dengan disajikan makanan lebaran Khas Malaysia. Hampir sama dengan Indonesia, jadi lumayan berasa seperti lebaran normal.

Akhirnya, sampai juga kami di bulan ke-10. Thesis suami sudah selesai dengan nilai yg memuaskan. Anak-anak juga selesai sekolahnya dan sudah waktu nya kami pulang ke kampung halaman. Walau sempat terpikir untuk langsung melanjutkan S3 disana, ternyata prosedurnya tidak segampang itu. Berhubung suami terikat ikatan dinas dari kantor.

Jadi lah bulan ke 11 kami mulai beres-beres, yg ternyata barang kita benar-benar beranak cucu, akhirnya sebagian besar kita shipping. Bulan ke 12 akhirnya kami pulang dengan cukup berat hati karena sudah terlanjur nyaman dengan kehidupan dan lingkungan yg bersih, teratur, serta tidak Macet. Anak-anak saat itu juga sudah settled dengan sekolah dan pergaulan sosial mereka. Tapi mau bagaimana lagi, kami harus pulang dan melanjutkan hidup kami di tanah air.

Semua harus kami jalani, kami pulang dengan disambut oleh semua keluarga besar, kembali ke tengah-tengah keluarga besar, dan yang paling penting kembali ke negeri tercinta. Semua pengalaman kehidupan di Cranfield akan selalu kami ingat dan menjadi kenangan seru yang kami ber-empat lewati bersama.

Gallery: Author’s Collection.

Bagian Kedua: Mendaftar ke Cornell Tech MBA

$
0
0

Halo para pembaca IM, artikel ini adalah lanjutan artikel pertama saya yang bercerita mengenai pengalaman saya mendaftar di program MBA Cornell Tech yang berkonsentrasi di bidang manajemen produk teknologi. Di sini, saya akan bercerita mengenai proses aplikasi saya hingga akhirnya diterima di Cornell Tech. Proses aplikasi akan saya bagi menjadi lima bagian yaitu tes TOEFL dan GMAT, penulisan CV atau resume, surat rekomendasi, penulisan esai, dan proses wawancara.

 

TOEFL iBT / IELTS & GMAT

Sebagai panduan, program MBA top 50 dunia pada umumnya memiliki persyaratan skor minimum untuk TOEFL iBT di angka 100 atau IELTS di angka 7 dengan masing-masing band tidak kurang dari 6.5. Berhubung saya memiliki gelar sarjana dari unversitas luar negeri di Monash University, sebenarnya saya tidak diharuskan untuk mengambil tes English Language Proficiency lagi. Namun saya memutuskan untuk tetap mengambil ujian TOEFL iBT untuk memperbesar kans saya diterima berhubung saya fasih berbahasa Inggris dan alhasil saya berhasil meraih nilai 115 dari 120. Pada waktu itu saya memilih mengambil TOEFL karena semua sekolah di Amerika menerima TOEFL tetapi tidak semua menerima IELTS.

Ilustrasi GMAT (Image Source: http://i.ebayimg.com/images/i/221771593827-0-1/s-l1000.jpg)

Ilustrasi GMAT (Image Source: http://i.ebayimg.com/images/i/221771593827-0-1/s-l1000.jpg)

Tes selanjutnya yang harus saya taklukkan adalah GMAT (Graduate Management Admission Test). Apabila kalian ingin diterima di program MBA top 50 dunia, maka kalian membutuhkan nilai GMAT 600 ke atas. Saya menyarankan jangan meremehkan GMAT terutama bagian Verbal, yang dirancang untuk mempersulit bahkan peserta ujian yang bahasa ibunya adalah bahasa Inggris. Mayoritas peserta ujian GMAT dari Indonesia, terutama lulusan universitas dalam negeri, kurang memahami hal tersebut sehingga memiliki nilai Verbal yang jauh di bawah nilai Quant.

Apabila kalian berminat mengambil kursus GMAT, saya sarankan carilah tempat kursus GMAT yang memenuhi dua syarat ini; pengajar dengan nilai GMAT tinggi dan rekam jejak yang kuat terutama di bagian GMAT Verbal. Tentunya sangat tidak masuk akal untuk mengharapkan nilai GMAT yang tinggi dengan belajar dari seorang guru yang memiliki nilai GMAT rendah atau bahkan tidak pernah mengambil tes GMAT sama sekali. Kalian dapat menilai rekam jejak sebuah institusi apabila mereka mencantumkan testimonial murid-muridnya di website mereka atau dapat juga meminta referensi murid dari institusi tersebut. Apabila tempat les atau kursus GMAT tersebut tidak mampu atau terkesan menyulitkan dalam memberikan informasi mengenai nilai GMAT instrukturnya atau rekam jejaknya, kalian patut meragukan mereka. Sayangnya, saya menemukan bahwa banyak sekali tempat kursus GMAT Jakarta yang seperti ini.

Untungnya, saat itu saya masih mampu menjalani persiapan GMAT sendiri. Setelah belajar intensif selama 6 bulan, saya berhasil meraih nilai GMAT 710 pada bulan Juli 2015. Saya sangat menyarankan buku-buku GMAT Official Guide untuk latihan soal dan tes simulasi GMATPrep dari www.mba.com karena kedua materi tersebut dirilis oleh GMAT sendiri.

 

CV / Resume

Pada umumnya, orang Indonesia berpikir bahwa CV bertujuan untuk memberi deskripsi pekerjaan mereka. Saya pun berpikir demikian pada awalnya. Namun saya menyadari bahwa universitas luar negeri, khususnya untuk program MBA, lebih menekankan kepada dampak yang kita berikan atau hasil yang sudah kita capai di perusahaan tempat kita bekerja.

S-A-R (Situation, Action, Result) adalah metodologi atau framework yang biasa digunakan untuk mencapai hal tersebut. Pertama, kalian menjelaskan situasi atau masalah yang dihadapi. Lalu kalian menjelaskan langkah atau tindakan yang diambil. Yang terakhir dan terpenting adalah mengemukakan hasil yang berhasil dicapai secara riil dan kuantitatif.

Di samping itu, universitas luar negeri, terutama di Amerika dan Eropa juga lebih  menghargai CV yang dibuat secara singkat dan padat. Terutama untuk program MBA top, mereka mengharuskan CV tidak lebih dari 1 halaman. Buanglah detil-detil yang bersifat pribadi dan tidak menggambarkan kemampuan kalian seperti foto, tanggal lahir, status pernikahan, dan lain-lain.

 

Surat Rekomendasi

Program top MBA pada umumnya mengharuskan kalian menyerahkan dua surat rekomendasi. Format surat rekomendasi tersebut pun tidak bebas dimana mereka mengharuskan beberapa pertanyaan dijawab dengan mendetil. Contoh pertanyaan adalah bagaimana performa kalian dibandingkan dengan rekan kerja yang setara atau sebanding dari segi pangkat atau posisi kedudukan. Pastikan atasanmu memberi contoh yang konkrit dalam jawabannya.

Untuk universitas MBA papan atas, mereka juga memberi batasan jumlah kata dalam penulisan surat rekomendasi. Sebagai contoh, salah satu program MBA 20 besar di dunia yang saya daftar yaitu UCLA Anderson memberikan batasan 1000 karakter termasuk spasi (~175 kata) untuk menjawab contoh pertanyaan yang saya berikan di atas. Untuk dapat menulis surat rekomendasi yang berkualitas dengan batasan jumlah kata yang sangat ketat ini mengharuskan atasan kalian dapat menulis secara singkat dan padat seperti seorang native speaker. Tentu ini akan sangat merepotkan apabila atasanmu tidak begitu fasih menulis dalam bahasa Inggris seperti kedua atasan saya. Ini adalah salah satu alasan saya memutuskan untuk menggunakan sebuah konsultan pendidikan dengan staf orang Indonesia yang memiliki tingkat kefasihan bahasa Inggris di atas rata-rata bahkan untuk ukuran native speaker.

Satu hal lagi yang harus diingat adalah program MBA mengharuskan surat rekomendasi profesional. Dengan kata lain surat rekomendasi tersebut harus dari atasan tempat kalian sedang atau pernah bekerja. Jadi jangan mengirimkan surat rekomendasi dari dosen kalian karena sudah pasti itu tidak akan diterima.

 

Penulisan Esai

Sangat penting sekali untuk mengetahui program MBA yang ingin kalian tuju secara mendalam sebelum mulai menulis esai. Pada umunya, ada tiga pertanyaan yang harus kalian jawab. Apa aspirasi jangka pendek dan jangka panjang, bagaimana gelar atau jurusan MBA akan membantu  kalian mencapai cita-cita tersebut, dan mengapa kalian memilih MBA di universitas tersebut. Apabila  kalian masih belum mempunyai bayangan atau gambaran yang jelas mengenai ketiga hal tersebut saya sarankan kalian untuk membaca artikel ini yang memberikan sebuah metodologi yang terstruktur dan komprehensif dalam merencanakan perkuliahan pascasarjana kalian.

Ilustrasi Menulis Essay (Image Source: http://awordedlife.com/wp-content/uploads/2013/11/writing-essay.jpg)

Ilustrasi Menulis Essay (Image Source: http://awordedlife.com/wp-content/uploads/2013/11/writing-essay.jpg)

Butuh waktu yang lumayan lama bagi saya untuk menyelesaikan esai di mana saya rata-rata melakukan perubahan sebanyak 15 hingga 20 kali per esai untuk satu sekolah. Jadi jangan anggap remeh bagian ini. Perkuat poin yang ingin kalian sampaikan di esai ini dengan cerita tentang latar belakang kalian sendiri. Contohnya adalah dengan menceritakan kejadian berarti dalam hidup kalian yang membentuk aspirasi atau cita-cita kalian.

 

Proses Wawancara

Tidak seperti sekolah bisnis lain, proses wawancara dari Cornell Tech MBA dibagi menjadi dua bagian. Yang pertama adalah wawancara yang bersifat behavioral / fit untuk menilai tingkat kematangan saya untuk program MBA di Cornell Tech. Yang kedua adalah case interview yang sangat mirip dengan bentuk case interview yang diberikan oleh perusahaan konsultan manajemen seperti McKinsey, BCG, Bain & Co. dan perusahaan teknologi terkemuka seperti Traveloka. Kedua wawancara ini saya lakukan melalui Skype dengan pihak sekolah.

Wawancara pertama yang saya lakukan adalah yang bersifat behavioral/fit seperti wawancara MBA pada umumnya. Sangat penting bagi kalian untuk mengetahui esai kalian secara mendetail karena hal tersebut akan diuji di dalam wawancara. Jangan kaget apabila jawaban-jawaban kalian baik itu mengenai rencana jangka pendek dan panjang, alasan ingin mengambil MBA atau mengapa kalian mendaftar ke sekolah tersebut dipertanyakan secara mendalam dalam wawacancara.

Satu pertanyaan yang pasti ditanyakan adalah “Walk me through your resume” (jelaskan riwayat pekerjaanmu). Bentuk alternatif pertanyaan ini adalah “Tell me about yourself” (ceritakan sedikit mengenai dirimu). Persiapkanlah jawaban untuk pertanyaan tersebut secara terstruktur dan singkat. Banyak sekali jenis pertanyaan wawancara lainnya yang dapat kalian temukan di internet.

Bahasa tubuh juga sangat penting dalam wawancara. Aturlah bahasa tubuh kalian sedemikian rupa sehingga memberikan kesan positif. Hal-hal kecil seperti posisi duduk yang tegak juga patut kalian perhatikan. Usahakan pula untuk selalu tersenyum dan anggaplah proses wawancara ini sebagai percakapan antara teman di lingkungan profesional. Dengan kata lain, jangan terlalu kaku tapi juga jangan terlalu kasual. Perbanyak latihan kalian sebelum proses wawancara ini sehingga kalian benar-benar menguasai jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang akan dilontarkan.

Untuk case interview, yang ingin diuji adalah kemampuanmu memecahkan masalah bisnis nyata yang sering dihadapi oleh sebuah perusahaan teknologi. Sehari sebelum case interview tersebut, saya diberikan soal yang akan ditanyakan untuk dipersiapkan. Waktu itu soal yang saya dapat adalah “kamu adalah seorang manajer di sebuah perusahaan smartphone. kamu diberi tahu bahwa departemen engineering tidak mampu menyelesaikan proyek smartphone sesuai waktu. Apa yang akan kamu lakukan?”.

Dalam menghadapi soal seperti ini, tidak ada satu jawaban yang benar. Yang sekolah ingin uji adalah apakah pendekatanmu dalam menghadapi tersebut secara terstruktur dan komprehensif. Mereka juga ingin menguji apakah kalian mampu menganalisa pro dan kontra beberapa solusi alternatif yang kalian gagaskan. Pada waktu itu saya cukup beruntung karena mendapat bimbingan dari dua konsultan pendidikan yang memiliki pengalaman bekerja di perusahaan teknologi di Silicon Valley. Mereka berdua juga kebetulan memiliki latar belakang sebagai konsultan manajemen di BCG (Boston Consulting Group) dan A.T. Kearney.

 

Kesimpulan

Untungnya saya berhasil melampaui semua proses tersebut dan sukses diterima di program MBA Cornell Tech. Mendaftar ke sebuah program MBA adalah proses yang sangat panjang dan melelahkan. Bahkan menurut saya, prosesnya jauh lebih menguras tenaga dan pikiran dibandingkan dengan proses aplikasi beasiswa LPDP.

Apabila kalian merasa kewalahan dalam menanggani proses aplikasi sekolah, mungkin kalian dapat mempertimbangkan menggunakan jasa konsultan pendidikan yang berkualitas. Saya menilai kualitas tersebut dari beberapa dimensi. Pertama, apakah penyedia jasa tersebut terdiri dari alumni Indonesia lulusan top MBA yang hendak saya tuju. Kedua adalah track record atau rekam jejak mereka dalam membantu orang Indonesia berhasil masuk ke universitas papan atas.

Sekian dulu artikel dari saya. Semoga dapat membantu kalian yang tertarik untuk mendapatkan gelar MBA atau pascasarjana dari universitas top di luar negeri!

 

Photo Courtesy: ebayimg.com, consultingfact.com, awordedlife.com

Kuliah di Taiwan dengan Beasiswa Pemerintah Aceh

$
0
0

Bencana Tsunami yang menimpa Aceh pada 26 Desember 2004 silam tidak hanya mengakibatkan kerugian harta benda, tetapi juga kerugian akan kehilangan ratusan ribu korban jiwa, termasuk sumber daya manusia terbaik yang dimiliki Aceh.  Berbagai program dijalankan untuk memperbaiki kondisi tersebut, salah satunya adalah dengan pemberian beasiswa penuh dari Pemerintah Aceh melalui Lembaga Pengembangan Sumber Daya Manusia (LPSDM) Aceh bagi putra-putri Aceh. Tulisan ini dibuat berdasarkan pengalaman saya dalam mengikuti seleksi beasiswa ini pada tahun 2011, di mana saya mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan studi S2 di Institute of International Management, National Cheng Kung University, Taiwan  tahun 2012-2014. Mungkin saja saat ini terjadi perubahan pada tahapan program beasiswa ini.

Setiap tahunnya, Pemerintah Aceh melalui LPSDM membuka kesempatan untuk melanjutkan studi dengan berbagai bidang keilmuan ke berbagai negara, seperti Amerika Serikat, Inggris, Jerman, Taiwan, Thailand, Jepang, Turki, Malaysia, Belanda, dan beberapa negara lain. Menurut saya, mendapatkan beasiswa ini tidaklah sesulit yang diperkirakan. Tetapi tentu saja, kita harus memenuhi kualifikasi dan lolos dalam beberapa tahapan seleksi yang telah ditentukan. Berikut ini akan saya bagi informasi pengalaman saya menjalani tahapan seleksi dalam program beasiswa ini:

1.    Tahap Seleksi Administratif

Setelah mendapatkan informasi mengenai program beasiswa dari halaman http://lpsdm.acehprov.go.id, pada tahap ini pemohon diwajibkan untuk mengupload dokumen persyaratan. Sebagai syarat utama, pemohon beasiswa haruslah orang Aceh yang dibuktikan dengan fotokopi KTP atau Kartu Keluarga (KK). Syarat lainnya adalah usia maksimal 35 tahun untuk program S2 dan 40 tahun untuk program doktoral (S3) dan melengkapi dokumen pendidikan seperti ijazah dan transkrip, yang saya rasa sama seperti program beasiswa lain. Untuk nilai TOEFL, berdasarkan pengalaman saya, Pemerintah Aceh mensyaratkan minimal skor ITP 500 untuk keluar negeri. Tetapi, skor awal ini akan berpengaruh dalam penempatan penerima beasiswa. Dengan kata lain, jika negara tujuan kita Amerika Serikat (misalnya) maka skor TOEFL yang disyaratkan minimal 550.

Yang menurut saya cukup unik dari beasiswa ini adalah tidak adanya ikatan dinas untuk mengabdi di Aceh. Memang, ketika lulus kita harus melapor dulu ke LPSDM (pulang ke Aceh) dengan menyertakan salinan ijazah, transkrip nilai, dan thesis kita. Tetapi setelah itu, kita dibebaskan kembali ke tempat masing-masing, contohnya saja saya kembali mengajar dan teman-teman PNS kembali bekerja. Saya sempat bertanya kepada lembaga tentang ikatan dinas/pengabdian ini, dan dijawab bahwa tujuan utama Pemerintah Aceh saat ini adalah untuk mencerdaskan putra-putri Aceh, kalaupun akhirnya mereka bekerja di luar Aceh tetapi kemampuan mereka tetap membawa nama Aceh.

2.    Tahap Wawancara

Setelah lulus dari tahap seleksi administrasi, pemohon akan memasuki tahap wawancara. Pemohon akan diwawancarai oleh pihak akademisi, LPSDM, atau professor dari universitas negara yang dituju. Pengalaman saya, waktu itu saya di wawancarai oleh dua orang di ruangan terpisah. Pada wawancara pertama saya bertemu dengan seorang professor salah satu universitas di Taiwan. Pertanyaannya seputar mengapa memilih Taiwan untuk belajar, mengapa mau sekolah lagi, apa yang diharapkan, dan pertanyaan lain seputar bidang ilmu yang kita pilih. Pewawancara kedua adalah seorang akademisi Aceh dengan pertanyaannya lebih pada kebulatan niat dan tekad kita melanjutkan sekolah. Saya ingat salah satu pertanyaan yang diajukan ke saya waktu itu adalah, “Bagaimana kamu mengatasi komentar tetangga yang mengganggap kamu lebih memilih pendidikan dibandingkan keluarga?”

3.    Tahap Persiapan Bahasa

Pada tahap ketiga, pemohon diberikan pelatihan (persiapan) bahasa Inggris dan bahasa sesuai dengan negara tujuan selama lebih kurang sepuluh minggu. Pada saat bersamaan, kami diberikan waktu untuk mendapatkan LoA universitas yang dituju. Kelulusan pada tahap ini akan ditentukan dari adanya LoA dan kehadiran peserta. Pada kelas bahasa Inggris, proporsi terbesar adalah pelatihan untuk menulis esai dengan baik yang saya rasakan sungguh bermanfaat saat menempuh pendidikan di luar negeri. Karena negara tujuan saya adalah Taiwan, maka saya mengikuti kelas bahasa Mandarin. Memang hasilnya tidak 100% bisa berbicara dengan fasih, tapi pelatihan ini sangat berguna untuk percakapan sehari-hari ketika di sana.

4.    Tahap (Persiapan) Keberangkatan

Setelah mendapatkan LoA dan mengikuti pelatihan bahasa, kami pun mendapatkan jadwal keberangkatan sesuai dengan mulainya perkuliahan di universitas negara tujuan. Sebelum itu, kami mendapatkan kesempatan untuk berdiskusi dan arahan mengenai kehidupan muslim di negara tujuan. Kami akan menjalani hal yang pasti berbeda dengan kondisi di Aceh, sehingga dirasa perlu untuk kami mengetahui dengan jelas jawaban dari setiap pertanyaan dan keraguan kami (khususnya sebagai muslim) sebelum pergi melanjutkan studi.

Beasiswa Pemerintah Aceh menanggung hampir seluruh komponen biaya, termasuk tiket pulang pergi, uang ketibaan, biaya kuliah, biaya hidup, uang buku, asuransi, serta uang saku setiap bulannya. Keluarga, adalah kompoen yang tidak ditanggung bila ikut ke negara tujuan. Tetapi berdasarkan pengamatan saya, beasiswa yang diberikan Pemerintah Aceh sangatlah cukup. Teman-teman dari Aceh yang membawa serta keluarga masih dapat menabung dan hidup dengan layak.

Pengalaman saya pribadi mengapa memilih Taiwan, sebenarnya lebih kepada alasan pribadi dan kesempatan. Alasan utama karena saya punya keluarga dan kondisi suami yang memilih untuk tetap tinggal di Banda Aceh. Otomatis jarak dan ongkos (tiket pesawat) dari Taiwan tidak terlalu jauh dan mahal dari Taiwan ke Banda Aceh, jadi lebih memudahkan.  Memang awalnya saya “buta” dengan informasi Taiwan, tapi setelah browsing mengenai pendidikan di sana, ternyata banyak sekali universitas bereputasi sangat baik (kelas dunia) berada di Taiwan. Jadi, saya lebih mantap memilih Taiwan untuk melanjutkan studi.

Dari sudut pandang saya (dan sepertinya penerima beasiswa Aceh ke Taiwan, pada umumnya), tantangan terberat adalah menyesuaikan diri sebagai muslim di sana. Hal yang paling mendasar, yaitu makanan, sangat sulit saya sesuaikan pada waktu itu. Saya sempat menjadi vegetarian dan kehilangan 4 kg berat badan ketika awal-awal kuliah. Untungnya, beberapa kawan muslim (yang tinggal bersama keluarganya) membuka usaha katering halal kecil-kecilan, walaupun masih cukup sulit mendapatkan ayam dan daging (karena harus ada stok halal dari masjid di Taiwan). Pengalaman unik lainnya adalah pernah suatu kali jilbab yang saya gunakan ingin dibeli oleh seorang ibu di Taiwan. Mungkin mereka menganggap itu syal dengan mode terbaru. Setelah dijelaskan barulah mereka mengerti bahwa jilbab yang saya pakai tidak untuk dijual.

Walaupun beasiswa ini dikhususkan untuk putra-putri Aceh, kenyataannya masih banyak generasi muda Aceh yang belum tahu akan hal ini, sehingga dibutuhkan pendekatan dan usaha lebih dari pihak pemerintah Aceh dan kami sebagai alumni untuk memperkenalkan program ini sampai ke pelosok Aceh. Semoga tulisan saya ini bermanfaat dan dapat memotivasi anak muda Aceh lain untuk mewujudkan mimpinya belajar di luar negeri.

 

Tips untuk Muslim Indonesia yang tinggal di London

$
0
0

Menjalani kehidupan sebagai seorang Muslim di Indonesia tidak sulit. Sebagai agama yang menjadi mayoritas di negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia, semua aktivitas sehari­hari yang bersinggungan dengan ritual ibadah maupun cara hidup yang Islami berjalan normal tanpa hambatan. Akan tetapi, ketika tinggal di suatu negara di mana Muslim menjadi minoritas, untuk bisa terus konsisten menjalani kehidupan sebagai seorang Muslim dapat menjadi sebuah tantangan tersendiri, termasuk di London.

London adalah ibukota Inggris, sebuah negara di mana jumlah penduduk Muslimnya mengalami kemajuan yang cukup pesat. Dari data kependudukan, sejak 2001 hingga 2011 populasi Muslim bertambah hampir dua kali lipat dan mayoritas dari mereka tinggal di London1. Di London, pemeluk agama Islam memiliki persentase 12,4% dan merupakan 1,8% dari total seluruh populasi orang Inggris2. Tentunya jumlah ini sangat jauh berbeda dibandingkan dengan di Indonesia.

Dengan jumlah yang kecil, fasilitas yang mendukung ibadah di London juga tidak sebanyak yang ada di tanah air. Meskipun begitu, tak sulit untuk menemukan seorang Muslim di London dibandingkan dengan kota­kota lainnya di Inggris karena 37,4% populasi Muslim tinggal di ibukota. Contohnya, wanita­wanita yang mengenakan hijab bisa ditemui dengan mudah di jalanan umum, transportasi publik, maupun di institusi pendidikan sepeti universitas

Menjadi seorang Muslim di London sebenarnya tidaklah sulit selama memiliki niat yang kuat. Berikut ini adalah beberapa tips yang bisa dicoba agar lebih nyaman menjalani kehidupan di London, terutama bagi pelajar dan pelancong yang berniat untuk datang ke London.

 

  • Miliki aplikasi pengingat waktu shalat di smartphone.

Kini teknologi semakin berperan penting dalam mempermudah kehidupan manusia. Jika selama di Indonesia suara adzan dari masjid­masjid lah yang membantu menentukan waktu shalat, maka di London tidak demikian. Masjid­masjid memang ada, akan tetapi tidak boleh mengumandangkan suara adzan dengan pengeras suara ke luar. Oleh karena itu, aplikasi pengingat jadwal shalat bisa menjadi penggantinya.

  • Unduh aplikasi penunjuk arah kiblat dan bawa alat shalat ketika bepergian.

Dengan memiliki aplikasi kiblat, ibadah shalat bisa dilakukan di mana pun, termasuk di sudut taman sekalipun. Jangan lupa untuk dibiasakan untuk menjaga wudhu karena keberadaan toilet umum cukup sulit ditemukan di London, sehingga ketika waktu shalat tiba tak lagi repot harus mencari air.

  • Mencari tempat shalat lewat internet atau di musola kampus

Jika akan mencari tempat solat, bisa dicoba menggunakan Google Maps dan masukkan keywords seperti ‘mosque’, ‘Islamic centre’, ‘Muslim community centre’, dan lain sebagainya. Beberapa masjid besar di London adalah London Central Mosque yang berada di Regents Park, dan juga East London Mosque yang tidak jauh dari Stasiun Underground Whitechapel. Patut diperhatikan juga, beberapa Muslim community centre hanya menyediakan ruang ibadah untuk kaum pria saja.

London Central Mosque, salah satu masjid terbesar di London

London Central Mosque, salah satu masjid terbesar di London (Photo Courtesy of Fadilah Arief)

Alternatif lainnya adalah shalat di musola kampus. Hampir setiap kampus di London memiliki ruang ibadah, termasuk untuk Muslim. Di beberapa kampus, terdapat multi-faith prayer room atau contemplation room; yaitu satu ruangan bisa dipakai bergantian dengan pemeluk agama lain. Akan tetapi, beberapa kampus seperti musola Imperial College dan King’s College harus menggunakan kartu pelajar untuk membuka pintu masuknya. Jika beruntung, mungkin ada seseorang yang membukakan pintu dari dalam, tapi agar lebih aman sebaiknya ditemani dengan teman yang berkuliah di kampus tersebut.

Di beberapa area umum juga terkadang disediakan area untuk shalat dengan nama ‘faith room’, ‘quite room’, atau ‘prayer room’. Misalnya, di Natural History Museum ada ‘faith room’ yang memang digunakan untuk shalat dan disediakan sajadah.

  • Mencari makanan halal tidaklah sulit

Masak memang menjadi pilihan terbaik untuk berhemat dan lebih aman karena seluruh bahan­bahan dan prosesnya dapat diketahui. Sementara itu, untuk mencari bahan makanan halal juga tidak sulit, karena tukang daging halal dan banyak supermarket juga menyediakan daging dengan label halal. Kalau ingin makan di luar pun cukup mudah karena banyak restoran yang memajang logo halal di jendelanya, atau hanya memajang sertifikat halal di dalam seperti KFC. Kondisi saat ini sudah semakin mudah dalam mencari makanan halal dibandingkan sekitar dua puluh tahun yang lalu. Oleh karena itu, tidak ada lagi alasan untuk tidak memilih makanan yang halal.

  • Bergabung dengan Isoc di kampus

Bagi yang berkuliah, setiap kampus tentu memiliki Islamic Society atau Isoc yang sering mengadakan berbagai kegiatan. Lewat society ini bisa diperoleh kesempatan untuk mengenal pelajar Muslim lainnya, mulai dari pelajar internasional hingga British Muslim. Beberapa acara rutin seperti sosialisasi Islam ke masyarakat umum atau pun seminar dengan beragam topik menarik juga rutin diselenggarakan.

  • Mengikuti pengajian dan acara gathering Muslim Indonesia

Di London, ada beberapa pengajian yang bisa diikuti. Beberapa di antaranya adalah pengajian KBRI, Muhammadiyah, dan Al­Ikhlas. Pengajian di KBRI dikelola oleh masyarakat KBRI dan rutin diselenggarakan satu bulan sekali. Biasanya Bapak dan Ibu Dubes juga hadir di pengajian tersebut. Selain itu, ada juga pengajian berbasis komunitas seperti Muhammadiyah dan Al­Ikhlas dengan frekuensi yang lebih banyak dibandingkan pengajian KBRI. Tak hanya itu saja. Setiap tahun juga diadakan acara gathering KIBAR (Keluarga Islam Indonesia di Britania Raya) setiap musim gugur dan musim semi. Di acara ini biasanya mengundang salah satu narasumber dari Indonesia dan di situ seluruh Muslim Indonesia bisa berkumpul.

  • Menunaikan haji

Salah satu keuntungan berangkat haji dari Inggris adalah tidak perlu mengantri bertahun­tahun seperti di Indonesia. Proses pendaftaran pun bisa dilakukan mulai dari sekitar enam bulan sebelum musim haji. Harga paket haji pun tidak berbeda jauh dengan harga berangkat dari Indonesia, sehingga bagi yang memiliki waktu luang dan rezeki yang cukup bisa mempertimbangkan untuk berangkat haji melalui biro haji di Inggris.

  • Memanfaatkan teknologi untuk menambah ilmu agama

Kecepatan internet di Inggris jauh lebih cepat dari di Indonesia, sehingga belajar agama juga bisa dilakukan via Youtube atau radio streaming. Saat ini semakin banyak ceramah yang diunggah di Youtube, baik itu dari Indonesia maupun dari berbagai penceramah terkenal internasional lainnya.

  • Shalat Id bersama KBRI

Pihak KBRI biasanya menyelenggarakan shalat Idul Fitri bagi WNI yang kemudian dilanjutkan dengan ramah tamah dan jika beruntung ada konsumsi gratis. Lokasi shalat biasanya diadakan di rumah dinas dubes di Wisma Nusantara atau menyewa tempat lain.

  • Berolahraga untuk Muslimah

Di London banyak fasilitas olahraga yang mendukung privasi wanita. Biasanya beberapa fasilitas olahraga tersebut disatukan dalam satu gedung atau satu area, misalnya kolam renang dan gym, termasuk yang dimiliki kampus atau yang dimiliki local council atau pemerintah setempat. Cek di website mereka, atau kunjungi langsung dan tanyakan jadwal khusus wanita. Selain itu, biasanya juga ada diskon khusus untuk pelajar.

Semoga tips yang sudah dipaparkan di atas bisa bermanfaat. Menjadi seorang Muslim di London, atau kota lain di mana Muslim menjadi minoritas, memang memiliki tantangan lebih. Akan tetapi, justru dengan adanya tantangan tersebut tentu ganjaran pahalanya bisa lebih besar dan dapat lebih mensyukuri berbagai kemudahan yang sebelumnya sudah pernah dimiliki ketika berada di tanah air.

 

 


1 http://www.theguardian.com/world/2015/feb/11/Muslim­population­england­wales­nearly­doubles­10­years

2 http://nawhami.com/bulletin/130102001

 

 

Universities and Freedom: It Ain’t Always Fun and Pretty

$
0
0

University life is the real epitome of freedom. You have a huge chunk of time to sort things out based on your preference in your youth. How much more exciting could that be?

The four years I have spent studying at the University of Melbourne taught me the beauty of such freedom, as well as its vices, when handled with irresponsibility. These are the experiences I encountered myself, as well as the experience of others that I directly witnessed.

1. Tutorial questions and readings are annoying. They seem insignificant and dictating. Nonetheless, those small exercises are actually worth more than they seem.

For my Arts subjects, such as Film Studies and Introduction to Political Ideas, I always had weekly readings. Although they were always about at least 10 pages long, they did not actually bore me as I found them rather exciting. However, often time, I would view them as unimportant. I would rather spend all my energy on the real deal: the essay. Hence, I would sometimes skip my readings and attend the class with little to no idea about what the class discussion is. It seems harmless in the beginning – that I would just sit there, said no word, and then when an hour has passed, I would leave the class and then started thinking about my essay.

Credit: Unsplash

Credit: John-Mark Kuznietsov (Unsplash)

It was not until I got my final mark on certain subjects that I was actually only 2-3% away from achieving the grade that I actually wanted. I realized that the big essays were indeed important. Yet, sometimes things did not turn out to be as good as expected. Those little things that I neglected – completing my weekly readings and participating in weekly class discussion – could actually help me reach the grade that I aimed for. I could have hit the big 80, yet I was short of the 3% that I could actually obtain had I done my weekly readings and join my tutor during that short discussion on political theories. In short, everything matters at universities. It is not just the “50% worth of total grade” essay, or the “70% worth of your subject” exam. Those weekly readings, weekly quizzes, and online homework matter too.

2. If you genuinely think you cannot finish the project/ essay right on the deadline, consult with your tutor. Do not leave it all on your own.

When I was in my final year of politics, I took a subject called “The European Integration: European Union Politics and Theories”. It was the hardest subject I have ever had to complete in my undergraduate ventures. Realizing how hard the subject was, I started the semester working hard to understand each concept presented in class, researching for more information outside of the given readings. However, life did not turn out to be all smooth sailing. I encountered personal and family problems along the way, in ways that I have never imagined before. The passing of loved ones, the burst of personal crisis, they destroyed all the days that I have spent to gear up in order to excel in my first assignment.

At times like this, we, as students, should never think that we are on our own on this journey. The most dangerous choice one could take in this situation is either to continue completing the task under such difficulties without seeking any help, or to abandon that responsibility without ever informing anyone about the faced difficulties. The worst action you should never take is to cheat your way out of this, such as by plagiarizing the work of others, falsifying documents about your condition, or paying other people to do your assignment.

No matter how scared you are with your professors, you have to seek and confide in their advice and help, especially when you are almost helpless to even think of the next thing to write. I did what I could, and came forward to my professor about a week before the deadline for the first assignment. I told him the problems that I was facing, as well as how much it affects my intellectual and mental ability to complete my task. Fortunately, he was supportive. He gave me a list of readings that would further help me in my essay, and he gave me an extra 5 days to complete my assignment. In return, I had a few extra days to come to terms with my condition and was able to begin thinking more clearly. I got the grade that I deserved. It was not perfect, but it was the best that I could do under those circumstances.

Do not be afraid to confide in your professors about your problems – be it personal problems, mental issues, or any other unforeseen circumstances that arise during your studies. Always seek help, ask for advices. Never leave it on your own.

3. You run out of money. You have no idea what to do next. Know this: You are not alone.

Let’s face it. Living abroad is expensive. Combined with irresponsible spending, you could face a highly difficult financial situation. I have had the time when I was in a complete state of panic because I know I would not be able to afford another week of living in Melbourne, mainly due to irresponsible spending of money. Also, the most common cause of this is that students tend to forget to pay their bills – be it electricity, water, rent, or phone bills – because it feels nice to spend the money on something else (read: new clothes, movie tickets, brunch sessions). Once the bills built up, there is no other way but to pay them all, which leaves them with little to no money left. The first and the scariest thing to do is to come forward to your parents and tell them how much you are in trouble. You are lucky if, in return, your parents forgive you and lend you money to continue your life. Others would not necessarily have that privilege. If that scenario did not work out, do the other scary thing: seek help from friends.

I have had the experience, which required me to seek financial help from my best friend. I was really fortunate that she agreed to help me overcome my difficulty at the time. Just never forget to repay them back. If you think it would be difficult to repay them, start to find an alternative way to gain resources to pay them back: get a part time job, volunteer for an event, or volunteer for a research group. One last thing that you could try is to seek help from the universities’ students union. Universities are not just there to drill you with rigorous intellectual ventures. They are there to be your home too. Many Students Unions offer help for students with financial difficulties too, whether through direct financial loans, or opportunities to gain money from elsewhere, such as volunteering, part-time jobs, and so on.

Credit: Inbal Marilli (Unsplash)

Credit: Inbal Marilli (Unsplash)

Overall, university life is an exciting journey, especially while you are young. However, some of the steps you take do not always turn out to be fun and pretty. There will be issues, difficulties, and down sides. The first key is to admit that you are in trouble. Once that is done, never be afraid to seek help from others in order for you to figure out the next logical step to solve your issues.

Remember, the key to enjoying freedom is to handle it with care.


Q&A: Pengalaman berkuliah yang singkat namun menyenangkan di Inggris

$
0
0

This week, we are featuring a casual chat with Gilang Esta Patitussy, a Marketing Supervisor at GO-FOOD, GO-JEK. She graduated from Northumbia University in 2014 with BA Hons International Business Management.

 

10710536_10152715615713396_2519324708411350569_n 

Perkenalakan nama, umur, pekerjaan dan hobi kamu?

Gilang Esta Patitussy (Tussy), 22 tahun, marketing supervisor at GO-FOOD, GO-JEK.

Sebelum sekolah di UK apa kegiatan kamu?

Kuliah, tapi karena ada gap sekitar 6 bulan sebelum berangkat ke Newcastle, jadi aku mengisi kegiatan ku sebagai intern di PT Lippo Karawaci (kemang village) di bagian customer service & community development department selama 3 bulan. Lalu pindah internship di HSBC Indonesia di bagian marketing credit card selama 3 bulan.

Program kuliahku itu 2 tahun di jakarta dan 1 tahun di UK. Kampus di jakarta itu Unisadhuguna International College (UIC) dan di UK itu Northumbria university. Pertama tau tentang kampus dan program ini dari pameran pendidikan. Jadi programnya itu lulus kelas 2 SMA bisa langsung masuk kuliah, dan karena total kuliahnya hanya 3 tahun, jadi aku hemat 2 tahun dibandingkan dengan teman-teman seangkatan.

Kamu di UK sekolah dimana dan berapa lama? 

Northumbria University, selama 1 tahun, aku lulus dengan gelar BA Hons International Business Managemen.

 

10559709_10152548015833396_2131016683574239744_n

Bagaimana cara kamu beradaptasi disana?

Adaptasinya tidak terlalu sulit, karena saat aku masih  berkuliah di jakarta juga sudah dibiasakan untuk bikin assignment dengan bahasa Inggris. Tapi bedanya di UK lebih strict, jadi cara adaptasinya kebanyakan tanya-tanya sama teman-teman sekelas yang memang dari year 1 sudah kuliah disana. PPI newcastle dan teman-teman dari Indonesia juga cukup membantu

Bisa jelaskan kegiatan kamu di kampus apa saja?

Kalau kegiatan formal kebanyakan belajar di kelas, menyelesaikan project per team, presentasi dan membuat assignment.

Paling berkesan pernah coba ikutan kelas hip hop dance, dan kebanyakan yang ikut orang asli sana. Awalnya aku kita kelar ini merupakan kelas hip hop ece-ece taunya benar-benar belajar hip hop secara advanced sampai belajar break dance.

Kalau organisasi serius paling berkesan itu waktu bikin acara “Discover Indonesia” bersama dengan ppi. “Discover Indonesia” itu basically performance night yang isinya tarian tarian tradisional indonesia. Tiketnya unexpectedly sold out, dan diantara penonton banyak sekali yang non Indonesian.

Ceritain dong suka dan duka kamu sekolah dan tinggal disana?

Suka : banyak bertemu dengan teman teman dari seluruh dunia. Banyak belajar tentang budaya mereka, apalagi cara mereka belajar yang sangat disiplin. Dulu sebelum di UK aku kira library isinya orang-orang asia yang super rajin. Ternyata sampai disana malah orang lokal nya yang super rajin, mereka selalu di library terus sedangkan banyak orang asia yang malah terlalu banyak main.

Duka: jauh dari rumah, apalagi waktu mengerjakan thesis akhir, rasanya benar-benar pingin cepat pulang karena proses pembuatannya tidak gampang. Duka lainnya kalau habis liburan ke luar kota habis itu pasti uangnya habis dan harus ngirit banget..

Apa pengalaman yang kamu dapat di UK tapi tidak bisa kamu dapatkan di Indonesia?

Tinggal sendiri. Kalau tinggal sendiri kita harus benar-benar memikirkan bagaimana cara mengatur uang, cara mengatur waktu dan disiplin terhadap diri sendiri. Karena yang namanya tinggal sendiri jauh dari orang tua semuanya super bebas dan tidak ada yang akan mengingatkan kita, jadi harus bisa mengatur diri sendiri dengan baik.

10487258_10152536157378396_1504359771323263223_n

Ada saran tidak buat anak-anak Indonesia yang bermimpi untuk sekolah di UK dan berencana ambil program seperti kamu yang tidak full 3 tahun?

Sarannya perbanyak teman, jadi jangan hanya berteman dengan orang Indonesia, karena percuma sudah jauh jauh tapi mainnya disitu-situ saja, ya intinya perluas network lah.. Karena dengan memperbanyak teman dari negara lain, kita jadi lebih terbuka, toleransinya juga lebih tinggi, dan pasti bisa belajar banyak dari mereka. Saran lainnya, karena di UK super strict terhadap peraturan-peraturan untuk membuat assignment, jadi kalau kerjain assignment harus mulai dari jauh jauh hari supaya hasilnya bisa maksimal.

Menimbang Kota dalam Memilih Universitas

$
0
0

Pada suatu percakapan dengan seorang teman, kami berbincang soal tupai. Ia membandingkan tupai yang saya potret di jalanan New York dengan tupai-tupai Ann Arbor, Michigan, tempatnya berkuliah. “Tupai-tupai di New York kurus-kurus karena stres tinggal di kota besar,” candanya, ”beda dengan tupai-tupai Ann Arbor yang gemuk-gemuk.”

Sialnya, ia benar. Saya tak bisa membela martabat tupai-tupai di New York, kota tempat kampus saya berada. Mereka memang tampak kalah gizi dibandingkan tupai-tupai Ann Arbor. Tapi saya berpikir, jika kota bisa demikian berpengaruh pada berat badan tupai, maka semestinya begitu juga pada manusia. Saya lantas balik bergurau, “Jadi berapa berat badanmu sekarang setelah lama tinggal di Ann Arbor?”

Di luar masalah pertupaian yang sesungguhnya tak penting dibicarakan itu, saya mengimani lokasi, bersama dengan jurusan studi dan kualitas dosen, sebagai tiga hal paling krusial dalam memilih universitas. Ini bukan hanya perkara berat badan. Saat kuliah, setiap mahasiswa akan menghabiskan sekian tahun untuk tinggal di kota yang mungkin jauh dari kota tempatnya tinggal semula. Mau tak mau, ia harus berurusan dengan lingkungan yang baru di sana setiap hari, mulai dari urusan perut, hati, hingga kepala. Maka kota, demikian halnya kampus, akan mempengaruhi dirinya luar dalam. Salah-salah memilih kota, maka ia akan gundah gulana setiap harinya. Sebaliknya, kota yang tepat tak hanya akan membuat hati dan pikirannya tenang, tetapi juga akan mendukung pertumbuhan akademiknya.

Banyak riset yang menjelaskan bagaimana kota berpengaruh baik pada kondisi biologis maupun psikologis seseorang. Sebuah riset kolaborasi peneliti di Central Institute of Mental Health (University of Heidelberg) dan Douglas Mental Health University Institute (McGill University), misalnya, berkata bahwa orang yang lama tinggal di kota memiliki aktivitas otak yang berbeda, antara lain pada perigenual anterior cingulate cortex, area pada otak yang meregulasi kondisi stres dan cemas. Dalam buku Who’s Your City? How the Creative Economy Is Making Where You Live the Most Important Decision of Your Life, Richard Florida lebih jauh lagi menyimpulkan bahwa tiap kota memiliki tipe personalitasnya masing-masing. New York, katanya, adalah kota orang-orang neurotik, tempat individu-individu yang dinamis dan sensitif, tetapi rentan terhadap turbulensi emosi. Sementara orang-orang kota Boston dan Washington, sebutnya, cenderung terbuka, memiliki rasa ingin tahu dan kreativitas yang tinggi, tetapi kurang fokus dan sulit diprediksi.

personality map

Personality Map di Amerika Serikat (Sumber: www.WhosYourCity.com)

Secara sederhana, kita bisa menyimpulkan tiga macam tipe kampus berdasarkan kedekatannya dengan kota besar. Kampus urban berada di tengah kota besar, terekspos dengan berbagai dinamika yang terjadi di pusat kota. Kampus suburban berada di pinggir kota besar, tidak bersinggungan langsung dengan pusat kota tetapi masih memiliki akses terhadapnya. Sementara kampus rural berada di kota kecil yang populasinya didominasi oleh warga kampus tersebut.

Tidak ada kategori yang mutlak lebih baik dibanding yang lain. Tiap orang memiliki lingkungan belajar terbaiknya masing-masing. Ada orang-orang monokronik, yang memerlukan tempat yang tak banyak distraksi untuk dapat berkonsentrasi. Mereka cenderung cocok dengan kekaleman lingkungan kampus rural. Di sisi lain, ada orang-orang polikronik, yang cenderung butuh selingan berbagai hal lain untuk bisa berkreasi. Mereka membutuhkan intensitas kota besar untuk dapat belajar dengan produktif, sehingga kampus urban adalah pilihan tepat. Sementara, bagi orang-orang yang menginginkan jalan tengah, yang membutuhkan lingkungan belajar yang terisolasi tetapi juga membutuhkan hiruk-pikuk kota untuk inspirasi maupun pelarian sesekali, kampus suburban adalah pilihan terbaik.

Central Park

Central Park, salah satu tempat favorit saya di New York untuk relaksasi ketika jenuh. (Foto: Robin Hartanto)

Dalam hal memilih kota, ada lagi hal yang esensial selain soal kecocokan karakter. Kota adalah sumber daya yang akan menentukan mau dibawa ke mana skripsi, tesis, atau disertasi kita, apalagi jika kita mengambil bidang humaniora. Akses terhadap studi kasus atau sumber-sumber primer mutlak diperlukan untuk membuat riset yang berkualitas. Tak ada gunanya, kata Umberto Eco dalam bukunya How to Write a Thesis, jika kita mempelajari perfilman di suatu universitas di Italia lalu membuat tesis mengenai sutradara tertentu, jika ternyata arsip karya-karya sutradara itu berada di Library of Congress, Washington. Sama halnya jika kita belajar antropologi di Harvard University lalu membuat penelitian akhir tentang orang Bali, tetapi kita tidak berniat mengunjungi Indonesia sebelum lulus. Kecuali jika kita memiliki kemewahan finansial untuk melancong kesana-sini, maka pemilihan kota sebaiknya menimbang kemungkinan tugas akhir yang ingin kita geluti nantinya.

Salah satu sebab saya memilih untuk belajar di New York adalah karena kota ini memiliki banyak museum, galeri, dan arsip yang berkualitas. Keberadaan ruang-ruang semacam itu amat membantu saya menekuni bidang kuratorial. Beberapa penelitian yang saya kerjakan malah mengandalkan koleksi mereka. Pada tugas semester pertama saya, misalnya, saya mengkaji pameran arsitektur International Style pertama. Pameran itu rupanya diadakan di Museum of Modern Art pada 1932. Arsipnya masih tersimpan rapi di museum tersebut, sehingga saya kerap datang ke sana untuk melihat langsung data-data primernya. Di kesempatan lain, saya meneliti tentang Paviliun Indonesia di New York World’s Fair 1964-65, yang dirancang oleh R. M. Soedarsono, arsitek Monumen Nasional, dan dengan keterlibatan Presiden Sukarno dalam proses perancangan arsitektur hingga penentuan isi pamerannya. Arsip-arsipnya terdapat di New York Public Library. Di kala senggang, saya mengunjungi museum dan galeri untuk membuka wawasan sekaligus mengamati cara-cara mereka menyajikan benda pamer. Tak ayal, dari kota saya belajar tak kalah banyak dengan dari kampus.

Singkat cerita, timbanglah masak-masak kota tempat kampus berada sebelum menetapkan pilihan universitas. Kota yang tepat, selain akan membuat kita nyaman dalam belajar, juga akan mendukung kita dalam mempelajari bidang yang kita tekuni. Lokasi menentukan prestasi, demikian kata pepatah.

Guggenheim Museum

Guggenheim Museum, New York. (Foto: Robin Hartanto)

Photo Courtesy: Author’s Collection, www.WhosYourCity.com.

Daftar S1 di NTU: Pertanyaan yang Sering Ditanyakan

$
0
0

Rangkuman pertanyaan yang sering ditanyakan tentang pendaftaran program S1 di NTU (saya mengumpulkan 4 pertanyaan dari lebih dari 100 email yang pernah saya dapat):

  • Aku tertarik banget masuk ke Nanyang Business School jurusan bisnis. Kira2 apa aja yang aku perlukan?
  • Beasiswa NTU itu persyaratannya apa aja? Mapel di rapot yang dilihat cuma beberapa aja ato keseluruhan? terus, pemilihan jurusannya gimana? … oiya toefl-nya gimana?….
  • Apa perlu ikut tes TOEFL/IELTS,SAT,kak tolong sebutin dokumen” yang diperlukan untuk mendaftar?
  • …, dan berencana apply nanti pada tahun 2016, saya juga berencana untuk tidak mengikuti UN, apa saya harus mengikuti TOEFL atau gimana?

Ketika saya dulu menulis artikel pertama saya di Indonesia Mengglobal tentang sekilas mengenai pendaftaran untuk masuk ke Nanyang Technological University (NTU), saya tidak menyangka artikel itu akan menjadi salah satu alasan kenapa saya sekarang bergabung sebagai anggota tim inti (tepatnya, sebagai kolumnis untuk Asia) di IM. Hal ini menjadi semakin menarik lagi mengingat saya menerima ratusan email dari pembaca (setia) yang menanyakan berbagai hal tentang prosedur penerimaan selama hampir 2 tahun terakhir, di samping komentar di artikel yang kalau boleh dibilang lumayan menantang juga untuk dibalas satu demi satu.

Oleh karena itu, saya akan memberikan jawaban untuk beberapa pertanyaan yang sering ditanyakan tentang proses pendaftaran di NTU, terutama untuk program sarjana pakai jalur UN SMA. Sebelum saya mulai, sedikit pesan sponsor dulu dari sesama kolumnis di IM: riset dulu sebelum tanya (yang mau kirim email ke saya boleh coba baca itu dulu buat bahan renungan 😜).

  • Q: Nilai rapor X bisa dipanggil ujian masuk nggak?

A: Pertanyaan yang membutuhkan jawaban yang cukup ‘sixth sense’ ini membuat saya berharap “Andaikan saja saya kerja di kantor penerimaan….”

Well, mereka memang ‘menyarankan’ nilai minimum 80 dalam kebanyakan pelajaran tapi cuma itu, tidak ada yang spesifik. Sampai sekarang juga mereka hanya minta nilai pelajaran yang di-UN-kan (misal untuk IPA matematika, bahasa Indonesia, bahasa Inggris, biologi, kimia, fisika), jadi kalau pelajaran lain kurang bagus, harusnya tidak terlalu berakibat buruk.

  • Q: Kakak belajar buat ujian masuk pakai apa saja? Bagi saran dong.

A: Jawaban tiap orang bisa beda. Kalau kebetulan kamu di kota agak besar, harusnya ada beberapa bimbel untuk persiapan setara A-level Singapura (awas, beda materi sama UN SMA). Bukan opsi yang paling murah, tapi ada pembimbing yang akan cukup membantu.

Untuk kasus saya (yang hanya ikut ujian matematika A, bahasa Inggris, dan fisika), saya lebih banyak pakai:

  • Buku persiapan TOEFL iBT/IELTS (ambil bagian membaca dan menulis saja) untuk ujian bahasa Inggris,
  • Buku matematika dasar (bukan matematika dasar buat SBMPTN, tapi yang mungkin cocok untuk mahasiswa tahun pertama) untuk ujian matematika, dan
  • Buku fisika SMA untuk ujian fisika.

Selain itu, mencari materi di Internet untuk tiap topik (silabus bisa diunduh di sini untuk referensi) bisa dibilang lumayan membantu. Untuk soal-soal latihan dan ringkasan materi, saya lebih suka pakai kumpulan buku elektronik karangan CS Toh di Google Play (kurang dari 50 ribu tiap buku, dan, kalau kamu tidak ada kartu kredit voucher Google Play bisa beli di beberapa minimarket, lihat di sini)

Bonus: Materi trigonometri, kalkulus, statistika, dan peluang untuk mahasiswa tahun pertama di fakultas saya. Download gratis di sini (hak cipta pada Assoc Prof Kong Wai-Kin Adams dan Assoc Prof Lau Chiew Tong).

  • Q: Bagaimana sebetulnya ujian masuk NTU itu?

A: Ujian masuk NTU hanya bisa diikuti kalau kamu lolos seleksi administrasi. Pelajaran yang kamu ikuti dipengaruhi oleh pilihan jurusanmu (ada kemiripan sama SBMPTN yang pakai IPA/IPS/IPC, hanya saja ini per pelajaran ujian, untuk lebih lanjut bisa dilihat di sini (berkas PDF). Yang paling menarik (dan beda dengan SBMPTN), sekali kamu gagal ujian masuk NTU, kamu tidak boleh ikut ujian masuk NTU lagi.

Undangan untuk mengikuti ujian masuk NTU

Sesudah kamu melengkapi berkas pendaftaran dan membayar biaya pendaftaran, berdoalah semoga kamu dapat email seperti ini.

  • Q: Ada beasiswa apa saja? Jalur beasiswa ada nggak?

A: Beasiswa apa dulu? Ada beberapa beasiswa yang ditawarkan lewat kampus (lihat di sini), ada yang ditawarkan pihak luar. Untuk beasiswa yang ditawarkan dari pihak luar, kamu mungkin bisa cari di beberapa situs kumpulan beasiswa. Untuk masuk NTU tidak ada jalur beasiswa, adanya jalur umum dan pendaftaran beasiswa (daftar beasiswanya sesudah isi formulir pendaftaran).

  • Q: Website-nya apa? Ada jurusan apa saja di NTU?

A: Nah, ini dia nih contoh pertanyaan menarik kalau sampai sekarang belum ada search engine, tapi percaya atau tidak, masih ada lho beberapa yang bertanya seperti itu. Situs webnya http://ntu.edu.sg, untuk penerimaan klik di bagian atas bagian calon siswa, lalu penerimaan di bagian sarjana. Daftar jurusan ada di sini.

  • Q: Perlu apa saja buat daftar?

A: Persyaratan administrasi paling biasa: foto ukuran paspor, rapor SMA sampai semester 4 (rapor semester 5 juga harusnya masih belum terbit waktu pendaftaran ditutup), ijazah + SKHUN SMP, paspor/akta lahir. Persyaratan lain-lain (non-teknis) bisa kamu baca di artikelku ini.

  • Q: Saya sudah lulus (S1/D3/D4) bisa daftar S1 lagi?

A: Bisa, tapi dengan catatan mulai seperti lulusan SMA lagi. Ada beberapa yang saya tahu kuliah di Indonesia belum 1 tahun terus mulai lagi di NTU, tapi kalau lebih lama lagi, saya kurang tahu.

  • Q: Apa perlu TOEFL/IELTS/SAT buat daftar?

A: Semuanya opsional. Saya kebetulan ikut TOEFL karena sempat mau mendaftarkan diri di universitas lain, tapi sepengetahuan saya TOEFL/IELTS/SAT hanya berguna untuk pengecualian ujian kualifikasi bahasa Inggris (Qualifying English Test / QET, lebih lanjut di sini) kalau nilainya memadai. Kamu tetap harus ikut ujian masuk pelajaran bahasa Inggris walaupun ada TOEFL/IELTS/SAT.

  • Q: Bagaimana caranya daftar? Bagaimana jadwal pendaftarannya?

A: Saya buatkan untuk kamu garis besar alur pendaftarannya. Semoga membantu.

Alur pendaftaran S1 NTU untuk jalur UN SMA.

Alur pendaftaran S1 NTU untuk jalur UN SMA.

  • BONUS Q: ada saran penginapan yang dekat dengan lokasi tes?

A: Eh menarik juga pertanyaannya, bisa berganti karir jadi agen penginapan nih saya hehehe!

Ada 3 tempat tes yang saya tahu hingga saat ini untuk ujian masuk NTU:

  • Jubilee School (Jakarta, lokasi di Google Maps): Saya dulu ujian di situ, dan waktu itu sempat menginap di Novotel Mangga Dua Square (depan perhentian bus Gunung Sahari Mangga Dua, 3 perhentian pakai koridor 12 ke Danau Agung + jalan 500 m ke sekolah). Lumayan disarankan; relatif terjangkau dan kamar luas.
  • SMAK 1 BPK Penabur (Jakarta, lokasi di Google Maps): Ada yang pernah tanya lewat email tentang ini. Saya sempat menyarankan Pullman Jakarta Central Park dan Hotel Ciputra. Bukan yang termurah, tapi tampaknya pilihan lumayan bagus.
  • NTU (Singapura): Paling susah karena asumsi pakai transportasi umum (bis dan KRL) dari penginapan yang paling dekat pun perlu lebih dari 30 menit untuk ke NTU, atau bahkan 75 menit dari pusat kota. Andaikan saya ikut ujian di sana, saya mungkin pilih menginap di Genting Hotel Jurong (yang paling dekat dari NTU; dekat stasiun KRL Jurong East).

Semua penginapan yang direkomendasikan berbintang 4 atau 5, memiliki akses mudah ke tempat ujian, dan dekat dengan pusat perbelanjaan. Kalau kamu tahu ada tempat ujian selain tiga itu, jangan ragu untuk memberitahu saya lewat email.

Ada saran-saran akhir?

Saya jujur saja senang melihat semakin banyak orang yang berminat melanjutkan pendidikan di luar Indonesia. Walaupun prosesnya memang cukup menantang (misalnya, berangkat ke tempat ujian masuk waktu ada hujan abu atau mendaftarkan diri tanpa banyak bantuan dari bimbel atau konselor sekolah), tapi saya yakin kalau dengan usaha dan doa yang cukup, pasti bisa!

Kalau kamu masih bingung, coba baca info sekilas tentang pendaftaran NTU di Indonesia Mengglobal, atau cari di Internet. Masih bingung lagi? Silakan email saya.

Disclaimer: Saya tidak menerima komisi dalam bentuk apa pun dari mereferensikan apa pun.

Semua foto dan grafik adalah hak cipta penulis, kecuali disebutkan sebaliknya.

Yuk, Daftar Program Mentorship yang Masih Dibuka Hingga 17 Juni!

$
0
0

Ingin diterima di universitas ternama dunia seperti Harvard, MIT, dan Stanford? Berharap mendapatkan bimbingan strategis untuk mengisi aplikasi, menulis esai, dan mendapatkan nilai standardized tests yang tinggi? Bagaimana kalau semua itu bisa diperoleh tanpa biaya?

Ayo daftar program mentorship 2016 yang masih dibuka hingga 17 Juni 2016!

Poster 1 edited

Program yang merupakan inisiatif dari Indonesia Mengglobal ini memfasilitasi calon mahasiswa dengan alumni atau mahasiswa yang saat ini sedang menempuh pendidikan tinggi di universitas-universitas ternama di dunia. Indonesia Mengglobal akan menyeleksi pendaftar mentee dan mentor dengan hati-hati, kemudian memilih mentee yang memiliki komitmen serta keinginan untuk bekerja keras selama program, dan mentor yang berkualitas dan sesuai dengan program studi atau sekolah yang ditargetkan oleh mentee.

Program mentorship berlangsung selama kurang lebih 5 minggu dan terdiri dari kegiatan-kegiatan berikut:

  • Mentee yang sukses terpilih sebagai peserta program mentorship IM akan diberikan tugas yang berbeda-beda setiap minggunya. Tugas tersebut antara lain: menyusun esai untuk aplikasi sekolah, menentukan target pilihan program studi atau universitas pilihan, melengkapi formulir pendaftaran dan persyaratannya, dan sebagainya.
  • Mentor terpilih akan meneliti tugas-tugas mentee yang bersangkutan dan memberikan masukan serta tips untuk setiap langkah pendaftaran sekolah atau beasiswa yang diinginkan oleh masing-masing mentee.

Tim Indonesia Mengglobal akan memfasilitasi seluruh proses mentoring dari awal pemilihan mentor dan mentee hingga pelaksanaan kegiatan mentoring selama kurang lebih lima minggu. Selain itu, tim crowdfunding kami juga akan mengupayakan dukungan finansial bagi mentee yang memerlukan bantuan untuk memenuhi biaya aplikasi sekolah dan tes-tes persiapan termasuk TOEFL/IELTS, dan GRE/GMAT.

Informasi Pendaftaran

Pendaftaran dibuka hingga 17 Juni 2016 pukul 20.00 WIB. Calon mahasiswa bisa segera mendaftar sebagai mentee dengan mengisi formulir ini.

Teman-teman mahasiswa dan alumni universitas luar negeri bisa mendaftar sebagai mentor dengan mengisi formulir ini.

Cek kampanye crowdfunding kami di link ini dan sebarkan ke teman-teman atau kolega yang tertarik untuk menjadi donatur.

Apabila ada pertanyaan, silahkan menghubungi Tim IM Mentorship di indonesiamengglobal.mentorship@gmail.com.

Working as a development consultant while studying: Why not?

$
0
0

When I decided to pursue a postgraduate degree, I knew I wanted to master Development Studies, specifically about the roles of public, private sectors and civil-based organisations in shaping the socio-economic development of a country. Not only did I want to deepen my understanding of the theories, I also aspired to have a hands-on experience throughout the study, which could expand my network. Having this rationale in mind, I proceeded with a desktop research to decide which universities offered the modules that suited my objectives. I came across Development Management programme under Department of International Development at LSE, which employs a political economy approach to examine the distribution of wealth and poverty across countries.

One of the many exciting opportunities available to the students is the compulsory Consultancy Project. In teams of three to five, students are assigned to help real clients by conducting research and producing a theoretical-supported report pro-bono. The clients are ranging from aid donors, NGOs, to multilateral organisations, such as the World Food Programme, the World Bank, Gates Foundation, UNIDO and Save the Children; and geographically spread across the continents. So, you would expect to have regular Skype meeting with your client in Ethiopia or India. The project accounts for 40% of the final score of the Development Management course, so this is truly a big deal!

Apart from LSE’s reputation, the consultancy project was eventually one of the many reasons I applied to the university. It is a golden opportunity to apply what I have learned in the classroom to real world’s problems, plus, I get toput the international working experience in my CV!

So, the voyage of my project started off in Michaelmas term by firstly selecting my preferred top 6 out of 54 available clients. When the organisations want to be the clients, they should submit a brief proposal about their main problem and the scope of work they demand from the consultant. Before I ranked my clients based on my preference, it was imperative to read the proposal and choose the projects based on my research area or an issue that I am interested in – anything that makes me tick. The professors have repeatedly reminded us not to select the clients based on ‘which clients are more famous’ because if we are not into the topic, we will be miserable in the next eight months.

Because there were so many exciting projects, I found it hard to shortlist my options to six clients that I wanted to work with. Finally, I made up my mind and the faculty assigned me to my third choice, the UK Department for International Development (UK DfID), which is responsible for administering UK’s international aid to developing and less developed countries. Along with three bright and highly-dedicated teammates, I worked to synthesise evidence from demand-led climate services across South Asia to determine how these can effectively serve the needs of end-users and marginalised groups in the agriculture and disaster risk reduction sectors.

Our report

Our report

After the faculty had introduced us to the client, we managed everything by ourselves with close collaboration with our clients in DfID’s regional office in India. Despite all hectic schedule each of us had, we worked in a strictly professional environment, including with the regular internal work-in-progress meeting and Skype call with our client.

Although the professors also helped us through some workshops and feedback sessions for the project, most of the work was managed independently by the team. We never thought to compromise the quality of our works just because we were students and working pro-bono. We took the project seriously- partly because of its importance to our final score and also because we were passionate about the topic.

Our client has played a pivotal role throughout the process and helped us a lot.

Our client has played a pivotal role throughout the process and helped us a lot.

After long hours of discussions, Sunday’s meetings, contentious debate among ourselves, and sleepless nights at the library, we managed to submit the 10.000 words report that our client was so proud of. After sending the report to the university and our client, we had to prepare the final presentation. Our client informed a good news that within a few days of publishing the report, it had already been widely used, both internally within the DFID Asia Regional Team and within Practical Action Consulting which would aim to incorporate its key findings into future programme design.

After our final presentation

After our final presentation

As I am looking back to the beginning of my project, I am grateful that I have learned many other things besides literature about climate services, agriculture and disaster risk reduction in South Asia. Below is a snapshot of the key lessons.

  1. What is it meant to be a development consultant from an academic perspective?

In some development consulting firms, the consultants are tasked to execute development projects on behalf of the clients. Nevertheless, approaching this project as a member of academia, I learn doing an independent research with my client’s problems in mind. I should be objective to see which works and which does not; and transparent in revealing the caveat of the proposed solutions or the key findings. This is an invaluable learning on top of my experience as a consultant before coming to the LSE.

  1. Writing 10.000 words report

Writing might sound simple and straightforward, but the process was complicated. It was full of hours of research, long fruitful debate and getting stuck in the same conversation or even back to the square one of our discussion. But then again, from this process, I gained experiences in interviewing experts or NGOs practitioners and thinking through the structure of a report, not to mention writing in grammatically error-free English is another significant challenge for a non-native like me.

  1. Working in a multicultural environment

My teammates come from the USA, Malta, and Slovenia with various academic and professional backgrounds. With this such international composition, I would lie if I said working together was not challenging. Luckily, I got very supportive and positive-minded teammates, who went extra miles to deliver qualified work to the client and helped each other out with personal issues outside of the work. I am also academically and personally indebted to them, especially for all their feedbacks in writing a report. Getting used to work in a multicultural environment is one of the most desired traits to employers. Nonetheless, most importantly, coming out of this journey, my teammates and I have become good friends.

My teammates and I also hanged out together outside of our work meetings.

My teammates and I also hanged out together outside of our work meetings.

In a nutshell, the project has been very demanding and driving me nuts, I gain more lessons than what I expected. These three key lessons will further shape my personal and professional trajectory. Therefore at this point, I can confidently say that working as a development consultant while pursuing your master’s degree, it’s not a bad idea at all.

 

—————————————

I am writing this post as a response to the request from Adhi Hardiansyah, a student from Institut Pertanian Bogor. If you have burning questions or topics that you want me to write, please let me know via my social media below. As much as I can, I will be more than glad to share my contemplation of my experiences.

 

 

All photos are courtesy of the author.

Studi Ketika Ramadan di Kota Paling Layak Huni Sedunia

$
0
0

Hidup di Melbourne mengajarkan saya untuk selalu bersyukur. Melbourne adalah sebuah kota yang sangat disukai para wisatawan dan pelajar dari mancanegara, termasuk saya sendiri. Bukan tanpa alasan bila kota ini selalu mendapat predikat pertama kota paling layak huni sedunia sejak 2011 sampai 2015 menurut koran The Age. Hal itu bisa dirasakan dari fasilitas umum, transportasi, pendidikan, sampai fasilitas kesehatan yang sangat baik sehingga membuat siapa saja yang pernah tinggal di sana selalu rindu  untuk kembali lagi.

Rasa syukur itu semakin bertambah ketika saya memperoleh kesempatan untuk melanjutkan studi master di Melbourne Business School, The University of Melbourne, melalui Beasiswa Pendidikan Indonesia, Lembaga Pengelola Dana Pendidikan Republik Indonesia (BPI LPDP RI). Beasiswa LPDP RI memberikan kesempatan bagi setiap anak bangsa yang ingin melanjutkan studi magister maupun doktor di dalam ataupun luar negeri melalui 4 periode seleksi sepanjang tahunnya. Tujuannya adalah untuk membentuk generasi emas Indonesia pada tahun 2030 yang berkontribusi bagi bangsa agar mempunyai nilai tambah dalam persaingan global.

fariz abdillah ramadan family day kjri melbourne

Kegiatan Ramadan Family Day di Kedutaan Jenderal Republik Indonesia Melbourne

Di bulan Ramadan ini, sebagai pelajar muslim Indonesia di kota Melbourne, Alhamdulillah kami mendapat beberapa kemudahan. Pertama, mengingat bulan Juni ini, Australia, khususnya Melbourne sudah memasuki musim dingin, maka lama waktu berpuasa hanya sekitar 11 jam 10 menit, waktu yang cukup singkat. Kedua, kegiatan Ramadan juga dimeriahkan oleh beberapa komunitas Indonesia, khususnya tiga Islamic Centre yang dibawahi oleh Indonesian Muslim Community of Victoria (IMCV), yaitu Surau Kita di suburb Coburg, Masjid Westall di Clayton dan Masjid Baitul Makmur di Laverton. Pada akhir Mei lalu juga diadakan Ramadan Family Day 2016 di Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) Melbourne. Kegiatan ini cukup membantu menghilangkan kerinduan pada tanah air yang berjarak 5203 km atau sekitar 6 jam perjalanan udara ke Jakarta. Selain tiga Islamic Centre Indonesia tersebut, beberapa masjid yang dikoordinir masyarakat Turki, Somalia, maupun Albania yang mayoritas imigran juga mengadakan iftar (buka puasa) dan tarawih rutin. Ketiga, makanan halal. Masyarakat muslim di kota Melbourne tidak perlu ragu untuk menyantap makanan halal, sebab butcher halal mudah ditemui seperti salah satunya Madina dan Macca Halal Meats di Suburb Brunswick dan Flemington. Di pusat perbelanjaan seperti Coles maupun Woolworths juga menyediakan makanan dengan kemasan halal, begitu pula di beberapa restoran Indonesia atau Turki. Keempat, respect dan dukungan pemerintah. Beberapa hari lalu beredar surat resmi dari Perdana Menteri Australia berisi penyambutan terkait bulan Ramadan beserta rasa hormat dan dukungan menjalankan ibadah puasa untuk seluruh muslim di Australia. Hal ini merupakan sebuah nilai penghargaan tersendiri terhadap minoritas di sebuah negara.

Pada akhirnya, tentunya diharapkan bahwa kemudahan dan kenyamanan yang muslim Indonesia di Australia rasakan tersebut dapat meningkatkan produktivitas secara maksimal. Terutama bagi para pelajar Indonesia yang diharapkan untuk semakin giat dalam belajar dan produktif di setiap proses studinya sehingga tidak kalah dengan pelajar mancanegara maupun lokal dalam pengembangan ilmu pengetahuan maupun teknologi, sehingga dapat mempersembahkan yang terbaik bagi bangsa dan negaranya ketika kembali ke tanah air kelak.

Edited by Hadrian Pranjoto

Photos provided by the author

Apa yang Terjadi jika Jumlah Mahasiswa Indonesia di Negara Tempatmu Belajar di Luar Negeri hanya Sedikit?

$
0
0

Di beberapa negara tujuan studi luar negeri, tentunya ada beberapa negara yang jumlah mahasiswa Indonesianya lebih banyak dibandingkan negara lain, seperti misalnya Australia, Singapura, Belanda, Jepang, dan Inggris. Lalu bagaimana dengan negara seperti Denmark yang terletak sangat jauh di utara? Berapa jumlah mahasiswa Indonesia yang belajar di sana? Sebelum saya berangkat untuk studi di Denmark, tidak ada satu pun dari keluarga atau teman saya yang pernah kuliah di sana. Hal itu membuat saya absen akan gambaran bagaimana kehidupan studi di Denmark dan membuat saya berasumsi mungkin tidak banyak WNI dan pelajar Indonesia yang tinggal di Denmark.

Bukannya takut atau merasa insecure, saya justru tertantang untuk ‘menjelajahi’ Denmark. Lagipula ketika kita sudah memutuskan untuk studi dan hidup sendiri di luar negeri, seharusnya kita sudah mempersiapkan untuk hidup se-mandiri mungkin dan hidup berbaur dengan warga lokal di tempat kita tinggal. Di Denmark, jumlah WNI nya saja sekitar 600an orang, dan dari jumlah tersebut sekitar kurang lebih 50 orang adalah mahasiswa Indonesia. Sementara di Aarhus, kota tempat saya tinggal terdapat kurang dari 20 pelajar Indonesia. Meskipun jumlah mahasiswa Indonesia di Denmark hanya sedikit, menurut saya hal ini justru memberikan banyak sisi positif, misalnya:

KBRI Copenhagen

  1. Hubungan antar mahasiswa Indonesia menjadi lebih dekat

Karena jumlah mahasiswa Indonesia lebih sedikit, hal ini memungkinkan masing-masing dari kami untuk lebih mengenal dan dekat dengan mahasiswa Indonesia lainnya. Misalnya ketika ada acara kumpul-kumpul makan-makan atau acara seperti silaturahmi Idul Fitri, dan yang hadir kurang dari 20 orang, kemungkinan untuk ‘mingle’ dan mengobrol dengan mahasiswa lain jadi lebih besar. Bayangkan jika jumlah mahasiswa Indonesia di kota tempat kamu tinggal lebih dari 100 misalnya, kalau mau mengadakan acara silaturahmi di satu tempat pasti akan jauh lebih repot. Selain itu, menurut saya yang penting itu kualitas bukan kuantitas ‘berapa banyak yang kita kenal’. Sebagai saran tambahan lain, ketika kamu belajar di luar negeri janganlah ‘bergantung’ dengan mahasiswa Indonesia lain atau siapa pun. Belajarlah se-mandiri mungkin, tapi tetap ‘social’, dan perbanyak ‘network’ dari orang lokal dan orang-orang dari kebangsaan lain juga. Pertemanan, pengetahuan, berita, serta ‘insights’ yang kamu dapatkan dari mereka akan sangat berguna di masa sekarang maupun masa-masa mendatang. Ketika semakin bervariasi ‘network’ yang kamu miliki, maka akan semakin kaya wawasan dan ‘mindset’ yang kamu miliki.

 

buka bersama

  1. Hubungan dengan Duta Besar Republik Indonesia dan KBRI menjadi lebih akrab

Ketika jumlah WNI di negara tempat kamu tinggal lebih sedikit, otomatis akan lebih mudah bagi kamu untuk mempererat hubungan dengan Kedutaan Besar RI. Seperti misalnya, saat acara perkenalan Duta Besar RI untuk Denmark, Bapak Muhammad Ibnu Said di Wisma Duta RI Copenhagen, karena jumlah WNI dan pelajar Indonesia yang hadir relatif tidak terlalu banyak, tentunya akan lebih mudah berkenalan dengan Bapak Duta Besar dan staf Kedutaan. Bahkan pada tanggal 10 Juni 2016 ketika pihak KBRI berpartisipasi pada Asian Culture Bazaar di Aarhus, pada malam harinya Bapak Duta Besar RI beserta Ibu dan staf KBRI hadir di acara buka bersama dengan WNI di Aarhus secara khusus dan terjadi diskusi yang bersifat informal (seperti foto di atas). Saya sendiri bisa mengobrol dengan agak santai (tapi tetap hormat) dengan Bapak Duta Besar. Pada tahun sebelumnya, pihak KBRI juga sangat dekat dengan para mahasiswa. Baik Duta Besar dan staf KBRI hafal dengan beberapa nama mahasiswa Indonesia di Denmark dan memberikan ucapan secara tulus dan personal kepada mahasiswa yang telah menyelesaikan studinya. Saya rasa di negara lain yang tidak memiliki banyak pelajar Indonesia, seperti misalnya Finlandia atau Tunisia, kesempatan untuk dekat dengan Duta Besar bisa jadi akan jauh lebih lebar. Kapan lagi bisa dekat dengan Duta Besar RI?

  1. Kesempatan untuk menjadi “student ambassador” di negara tempat kamu tinggal

Satu hal lagi, ketika tidak banyak mahasiswa Indonesia yang belajar di negara tempat kamu tinggal, ini bisa berarti peluang lebih besar untuk kamu bercerita kepada teman-teman yang tinggal di Indonesia tentang bagaimana rasanya tinggal dan belajar di negara tersebut. Mengapa? Pikirkan saja, misalnya sudah sangat banyak mahasiswa Indonesia yang kuliah di Australia, logikanya teman-teman di Indonesia tidak terlalu “ingin tahu” lagi tentang bagaimana studi di Australia karena sudah banyak dalam “network” mereka para WNI tamatan Australia. Dalam kasus saya, saya cukup sering mendapat email atau pesan dari teman-teman di Indonesia, di mana banyak di antara mereka yang saya tidak pernah kenal atau bertemu sebelumnya menanyakan tentang studi di Denmark (saya rasa karena mereka jarang sekali mendengar ada orang Indonesia yang kuliah di Denmark – apalagi Denmark adalah ‘The World’s Happiest Nation’). Di Denmark sekarang ini saya juga menjadi salah satu Youth Goodwill Ambassadors for Denmark dan satu dari tiga international student life ambassador for Aarhus University. Itu karena menurut Denmark, mahasiswa dari Indonesia seperti saya ini ‘langka’ dan ‘unik’. Banyak dari mereka yang ingin tahu mengapa saya memilih untuk studi di Denmark yang jauh di Eropa Utara ketimbang negara lain yang lebih ‘beken’ untuk tujuan studi. Baca artikel saya sebelumnya, ‘Kenapa Denmark?’.

Jadi bagaimana? Merasa tertantang untuk menjelajahi dan berkuliah di negara ‘asing’ di mana jumlah WNI-nya langka? Kontribusimu dibutuhkan dan sepak terjangmu mungkin akan tercatat oleh sejarah.


Ask The HR Expert: How to Ace in Finding Jobs in The U.S.

$
0
0

Hi IM’s readers, in this article, Reno Rafly, a Human Resources (HR) expert who works in the U.S., will answer some questions related to finding jobs in the U.S. If you have questions in your mind that you would like to ask, you may want to read the end of this article carefully.

Without further ado, here are the questions:

 

Question 1:

What kind of resume/CV preferred by U.S. employers? Is it true that it should be one page and not contains personal information (such as birth date and marital status)?

Answer 1:

There are two types of resumes that are preferred in the U.S.:

  1. Chronological resume, where you would describe your most recent experiences first. This is the best resume if you have a solid work history and be able to show your career progression.
  2. Functional resume, where you would describe your most relevant skills & experiences according to the job description you targeted. This resume would be suitable for those of you who are recent grads and who may have gaps in work history. If you are recent grads, you would put your college degree first and then list your experience in internships, volunteering, and any relevant skills you would like to highlight.

You can also use a combination of both once you have gained a sufficient experience and understand your strengths.

Most resumes, especially for recent grads, should only use one page. Be mindful that recruiters receive hundreds, if not thousands, of resumes on a daily basis. Think of your resume as an expensive real estate. Choose your words carefully and use key words that would match with the positions you apply. Most companies are now using an Applicant Tracking System (ATS) where they could set a requirement to only see resumes that would match at least 70% of key words on the job description. Don’t be surprised if your resumes are not even reviewed by human recruiters anymore. So, be sure to review the job description and tailor your resume to fit with the key words.

The U.S. provides equal employment protection to applicants and workers regardless of their marital status, gender, race, ethnicity, age, and religion. These laws and regulations are maintained under the Equal Employment Opportunity Commission (EEOC). Therefore, there should not be any personal information on your resume that would reveal your marital status, gender, race, ethnicity, age, and religion. This protection also includes your interviews and any pre-employment tests. Click here for more information on EEOC.

 

Question 2:

In Indonesia, it is common to use Batik for formal interview. Is it also appropriate in the U.S.? If not, what kind of clothes are acceptable for U.S. employers?

Answer 2:

While Batik is an appropriate outfit to wear for an interview in Indonesia, it is not appropriate to wear Batik for interview in the U.S. To determine what’s appropriate, you need to do a little bit of research on the company culture. For example, a financial company may have a formal dress code and your best bet is to wear a full suit. On the other hand, if you have an interview with a startup company, you may be able to wear a blazer and trousers. Nordstrom has a good mini video on this topic (click here).

For women, there are more options to choose from. Depending on the industry, you can either choose a plain color palette for a banking company or go for a trendier one if you apply for a retail company. Whatever you wear, be sure to wear something that doesn’t speak louder than you. You want the interviewer to focus on you and not on your outfit.

Prepare everything the day before so you can be confident going into the interview.

 

Question 3:

How much do U.S. employers value cover letters from applicants?

Answer 3:

Some companies still require cover letters as their standard practice. If you need to attach a cover letter, keep it short and simple. A cover letter is an opportunity to draw the recruiter’s interest about you, so be sure to highlight your most relevant experience and accomplishments.

 

Question 4:

Could you describe the process for narrowing down applicants’ resume?

Answer 4:

As explained earlier, most companies are using an Applicant Tracking System (ATS) to help them manage recruiting and hiring process. Depending on the size of the company, internal recruiters may handle 20 to 50 open positions at the same time. The ATS help them manage resumes and quickly view resumes that might warrant further review. Once they narrow down to 5 to 10 resumes, they would send these resumes to the hiring manager. The hiring manager then decide who would be selected for an interview.

With this process, you can beat the odds of getting an interview by focusing on your keywords and clarity of your resumes. Another strategy is if you know someone in the company and, with their permission, you can put his/her name as a referral.

Beyond this, networking and being involved with your professional association is the best way to skip this route altogether. Knowing who’s who in the industry will give you the leverage to be present in front of the people who make the hiring decision.

 

Question 5:

What is your opinion when selected applicants try to negotiate their benefits (such as salary, holiday, etc)?

Answer 5:

Do your research on the average salary of the type of jobs you target. Most internships and entry-level positions already have a range and that range would depend on different criteria, such as whether or not you have a prior relevant internship experience. For other fringe benefits, such as health benefits and holidays, these are usually a company standard package for all employees.

Once you know you are offered an average salary based on your qualification for the position, my advice is for you to decide whether or not this company will help you learn and grow as a professional, have the right working culture that you like, and have the right mission and business strategy that you would want to be a part of. These components should be on your checklist before you accept a job offer. Having the right company and the right culture will tremendously provide you with a significant progress in your learning and development.

 

Question 6:

Could you tell us your unique experience when you are dealing with applicants?

Answer 6:

I used to go to college recruiting events and met with students who were eager to apply for any entry-level positions. In my experience, the best applicants would be students who understand their strengths and keep up with the news in the industry. They are the ones who ask the right questions and have the right attitudes. They have done research in companies they targeted for and build a network with the people in the industry. Regardless of any universities, these are the people who would do well during their internship period and who will most likely be offered a full time position once they complete their degree.

Think of being in college as part of your career experience. Use your time wisely and spend it on activities that can leverage your career. Most, if not all, universities have a Career Center that have services that can help you with career research. Work with them to figure out what would be a potential career for you. With the rapid change of the new world of work, your major and interest may take you to a range of careers that may not exist five years ago.

 

Want to ask Reno some questions?

Indonesia Mengglobal invites our readers to ask their own questions, which then will be selected and published in the next installment of ‘Ask The HR Expert: How to Ace in Finding Jobs in The U.S.’ series. We are looking for interesting, brilliant, and out of the box questions related to finding jobs in the U.S., although the questions related to finding jobs in general are welcome.

Please submit your question(s) to danielsuryanata@gmail.com. The subject is “Indonesia Mengglobal – Ask The HR Expert” (without the quotation marks). Please write your questions in the body of the email, and not in any attachment.

 

Image Courtesy: fourflagsjournal.com (http://www.fourflagsjournal.com/wp-content/uploads/2011/05/jobs1.jpg)

Going Global through Japan in Today’s World (JTW)

$
0
0

Mengikuti program pertukaran merupakan impian bagi sebagian besar mahasiswa, tak terkecuali saya. Selain menambah deretan prestasi, kesempatan ini juga menawarkan eksposur internasional tak terbatas. Alasan ini mendorong saya untuk mengikuti Japan in Today’s World (JTW) yang diselenggarakan oleh Universitas Kyushu. JTW mengundang lima puluh mahasiswa undergraduate dari Asia, Eropa, dan Amerika untuk berbagi pengetahuan. Mereka berasal dari universitas-universitas terkemuka dunia, seperti Tsinghua University (China), National University of Singapore (Singapore), University of Michigan (USA), Technical University of Munchen (Germany) dan SOAS University of London (UK).

Mengapa Jepang dan Universitas Kyushu? Pertanyaan ini pun sempat menggelayuti pikiran saya sebelum mendaftar program JTW. Jawabannya, karena Jepang merupakan sumber inspirasi dunia di segala bidang,  maka tinggal di sana menjadi sebuah pengalaman berharga. Kegiatan belajar di negara ini tak terbatas di dalam ruang kuliah, tetapi merambah ke ruang-ruang sosial dan kultural yang turut memperkaya jiwa. Belajar di Jepang memang memberikan tantangan ekstra karena kendala bahasa. Namun, justru melalui pengalaman ini,  penguasaan bahasa asing lainnya; bahasa Jepang,  merupakan poin plus tersendiri setelah lulus nanti.

Menyandang gelar sebagai salah satu universitas imperial Jepang, Universitas Kyushu dikenal memiliki standar akademik yang tinggi. Status ini menjadi jaminan kualitas pengajaran dan penelitian. Akan tetapi,  saya lebih menitikberatkan materi dalam  “Japan in Today’s World (JTW) yang sangat komprehensif.  Tenaga pengajarnya pun tak hanya asli orang Jepang, tetapi juga dosen-dosen yang berasal dari  Korea, China, Inggris, Australia dan Amerika. Meskipun belajar di Jepang, karena hal ini, suasana akademik yang tercipta di  JTW benar-benar bernuansa global.

Saya mengikuti program JTW melalui UGM. Berhubung kampus saya tersebut memiliki perjanjian kerja sama akademik dengan Universitas Kyushu, maka tawaran mengikuti JTW datang setiap tahun. Bagi siapa saja yang berminat dapat mengajukan aplikasi JTW ke Office of Internasional Affairs (OIA) UGM. Tentunya terdapat beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh para pelamar, baik dari UGM sendiri maupun dari Universitas Kyushu. UGM akan melakukan seleksi internal sebelum berkas-berkas kandidat terpilih dikirim ke Universitas Kyushu. Aspek-aspek yang dinilai UGM meliputi IPK, nilai TOEFL/ IELTS, prestasi non akademik, dan pengalaman organisasi.  Penentuan akhir siapa yang berhak menjadi peserta JTW ada di tangan  Universitas Kyushu. Adapun syarat dan proses pendaftarannya dapat dibaca melalui tautan ini (http://www.isc.kyushu-u.ac.jp/jtw/admission).

Tersedia beasiswa Japan Student Service Organization (JASSO) bagi peserta yang berasal dari universitas partner. Monthly allowance yang diterima oleh peserta JTW adalah 80.000 yen.  Jumlah yang cukup untuk menunjang kebutuhan hidup dan kuliah selama sebulan.  Asalkan, kita bisa mengendalikan diri dari gaya hidup hura-hura. Ada pula relocation allowance yang diberikan sesampainya mahasiswa di Jepang sebesar 150.000 yen. Uang ini untuk mengganti tiket pesawat dan biaya hidup bulan pertama. Sayangnya, relocation allowance sekarang sudah dihapus akibat dari merosotnya perekonomian Jepang. Nah, apa saja pengalaman luar biasa yang saya peroleh selama belajar di Universitas Kyushu dalam Program JTW?

Berikut adalah beberapa kegiatan yang saya kenang:

1.   Kegiatan Perkuliahan

Kegiatan perkuliahan meliputi Japanese courses dan JTW core courses. Kelas bahasa Jepang terbagi ke dalam delapan level. Untuk menempati level-level tersebut, sebuah tes penempatan diberlakukan bagi seluruh mahasiswa. Selain kelas general bahasa Jepang, kelas khusus juga dibuka untuk meningkatkan kemampuan membaca, menulis kanji, dan berbicara.  Gemblengan dalam belajar bahasa Jepang dari sensei/ dosen sungguh terasa. Setiap hari selalu ada saja kuis hafalan kosa kata dalam Hiragana, Katakana, bahkan Kanji, serta PR yang banyak sebelum pelajaran ditutup. Akan tetapi, justru dengan proses belajar seperti ini, penguasaan bahasa Jepang akan cepat meningkat. Di luar kelas, seorang tutor disediakan untuk membantu mahasiswa mengatasi kendala belajar bahasa Jepang, sekaligus menjadi teman yang menyenangkan.

Sementara itu,  JTW core courses mengajak mahasiswa untuk melihat Jepang secara lebih mendalam melalui perspektif  ekonomi, politik, sosial, budaya, dan kerja sama internasional negara tersebut.  Mata kuliah yang ditawarkan pun sungguh menarik, seperti Kehidupan Jepang dalam Upacara Minum Teh, Produk-produk Lokal di Kyushu, Kebudayaan Pop Jepang, Pertunjukan Seni Tradisional Jepang, Gender di Masa Jepang Modern, serta Enkulturasi dan Pendidikan di Jepang. Setiap mahasiswa diwajibkan mengambil minimal empat mata kuliah JTW setiap semesternya. Kelas berlangsung dengan diskusi. Dosen melempar permasalahan yang selanjutnya dibahas oleh para mahasiswa. Maka, sebelum kelas dimulai, mahasiswa diharapkan sudah mebaca seluruh materi.

2.   Independent Study Project (ISP) dan Advanced Laboratory Research (ALR)

Semua mahasiswa JTW diminta untuk melakukan sebuah penelitian tentang suatu topik terkait Jepang. Independent Study Project (ISP)  diwajibkan untuk mahasiswa dengan latar belakang Ilmu Sosial, Humaniora, dan Ekonomi. Sedangkan, Advanced Laboratory Research (ALR) diperuntukkan bagi mahasiswa eksakta dan teknik untuk mengadakan penelitian di sebuah laboratorium. Setiap mahasiswa JTW didampingi oleh seorang supervisor yang memiliki keahlian di bidang yang kita teliti.  Presentasi perkembangan dan hasil penelitian di depan para dosen dan rekan-rekan mahasiswa JTW dilakukan pada akhir semester 1 dan 2.  Penelitian saya membahas tentang representasi anak dalam layar perak Jepang. Analisis semiotika dilakukan pada beberapa adegan dalam Film ”Daremo Shiranai” (Tak Seorang pun Tahu) untuk memotret masalah sosial yang menimpa anak-anak Jepang.  

3.   Elementary School Visit

Kunjungan ke sekolah merupakan kegiatan yang memantik antusiasme seluruh mahasiswa JTW.  Sekolah Dasar Dazaifu Barat dan Shuzenji adalah dua sekolah yang kami kunjungi pada kesempatan berbeda. Di SD Dazaifu Barat, saya memperkenalkan Angklung kepada para siswa kelas IV. Sengaja saya bawa satu set Angklung yang dipinjam dari Persatuan Pelajar Indonesia di Jepang (PPIJ) Cabang Fukuoka, untuk dimainkan bersama dengan para siswa.  Untuk lebih memeriahkan suasana, pernak-pernik khas Indonesia saya hadiahkan kepada siswa yang mampu menjawab pertanyaan seputar Indonesia beserta budayanya.

Di SD Shuzenji, saya diajak untuk mengekplorasi bagaimana mentalitas positif ditanamkan kepada setiap siswa. Saat acara penyambutan di ruang aula sekolah tersebut, kami dibuat kagum oleh ratusan siswa yang duduk bersila dengan rapih dan tenang di atas lantai. Perkenalan kami satu persatu mereka simak dengan penuh khidmat. Tak ada riuh obrolan karena bosan mendengarkan. Meskipun mereka masih belia, tapi perilakunya terlihat sangat matang. Bagi siswa, hal ini merupakan sebuah latihan sederhana dari prinsip hidup ”gaman” atau semangat daya tahan dan ketekunan.

Saat rehat siang, saya mengikuti tradisi kyuushoku atau makan bersama. Selain bertujuan mencukupi gizi, kyuushoku mengajarkan siswa arti penting kerja sama. Dalam sistem ini, setiap siswa mendapat giliran tugas untuk melayani teman-teman sekelasnya secara beregu. Ada yang menghidangkan makanan ke dalam piring di dapur sekolah. Ada pula yang bertugas membawa piring-piring berisi makanan ke dalam kelas. Di dalam kelas, telah siap siswa-siswa lain untuk menyajikan makanan di atas meja. Bila semuanya telah siap, makan siang bersama baru bisa dimulai.

4.   Study Trip

Rice harvesting at Nishi Arita

Study trip ke berbagai tempat wisata dan pusat budaya seolah menjadi obat penawar kesibukan belajar dan aktivitas penelitian mahasiswa JTW. Selain itu, kami dapat mempelajari secara langsung keunikan aspek-aspek budaya dan sejarah Jepang. Setiap perjalanan yang kami lakukan selalu mengusung tema yang berbeda, misalnya pada semester pertama, kami diajak belajar tentang Sumo di Pusat Pelatihan Sumo Dazaifu; memanen padi sekaligus mengenal sistem bercocok tanam masyarakat Jepang di Nishi Arita, Saga; dan melihat secara langsung proses pembuatan dan perakitan mobil Toyota Lexus di pabriknya yang terletak di Kitakyushu.

Petualangan di semester dua juga tak kalah seru. Kami belajar meditasi ala Zen dengan para biksu di sebuah kuil Zen, di mana kami mendapat pukulan ringan dengan sebilah bambu dari para biksu karena tidak mampu menjaga ketenangan tubuh. Di Nagasaki, emosi kami tumpah saat menyaksikan memorabilia korban bom atom yang dipamerkan di Museum Bom Atom Nagasaki.  Satu hal lagi yang tak pernah saya lupakan, pengalaman mandi onsen di tengah musim dingin.  Tak hanya merilekskan badan, kandungan mineral dalam onsen dipercaya mampu menyembuhkan aneka macam penyakit.

5.   Homestay

Untuk melengkapi pengalaman tinggal di Negara Matahari Terbit, Universitas Kyushu juga mengorganisir kegiatan homestay. Setiap mahasiswa JTW mendapat satu keluarga angkat (host family). Di akhir pekan, kami biasanya diundang oleh keluarga angkat kami untuk menghabiskan waktu bersama. Kesempatan inilah yang paling saya nantikan karena selain berkesempatan mempraktikkan bahasa Jepang, juga dapat melakukan beragam kegiatan yang menyenangkan , seperti berbelanja, memasak masakan Jepang dan bersantap malam bersama yang  tentunya tidak bisa saya dapatkan dengan keluarga di Indonesia karena terpisah jauh. Berkat kegiatan ini, saya mendapat keluarga baru di Jepang.

Keluarga Nagao adalah keluarga angkat saya yang tinggal di tenggara kota Fukuoka. Sebagai keluarga muda dengan dua orang anak kecil, mereka sangat asyik terhadap orang asing. Aktivitas seru, seperti piknik ke tempat-tempat wisata, menonton pertandingan baseball, bermain bowling, dan makan Ikan Buntal kami lakukan bersama. Tak ada jarak tercipta meski kami berbeda. Karena dalamnya ikatan yang tercipta, kami masih rajin berkomunikasi untuk mengabarkan kondisi masing-masing sampai sekarang.

Bagi saya, mengikuti program pertukaran mahasiswa merupakan life-changing experience. Tak hanya bisa mengunjungi tempat-tempat menarik dan memperoleh hal-hal baru yang sangat menyenangkan. Pengalaman tersebut juga telah menumbuhkan sikap apresiasi saya terhadap budaya dan bangsa lain. Penting untuk dimiliki, karena d era globalisasi ini, mentalitas ini sangat diperlukan untuk menciptakan hubungan antar warga dunia yang lebih erat.

Adaptasi dalam Kuliah Nomaden di Eropa

$
0
0

Kuliah nomaden atau berpindah – pindah negara bukan hal aneh jika kalian mengikuti skema Erasmus+ dari Uni Eropa. Tahun 2009, kala itu namanya masih Erasmus Mundus, beruntung saya bisa menikmati pengalaman seru itu dalam program European master in Computer Vision and Robotics (Vibot). Negara – negara yang saya jejaki selama studi adalah UK (Scotland), Spanyol (Catalunya), dan Prancis (Burgundy). Pada artikel ini, saya akan memberi gambaran umum mengenai apa-apa saja yang perlu kita adaptasikan jika kuliah nomaden. Berikut rincian singkatnya:

 

Visa

Adaptasi soal kependudukan dan legalitas kita di suatu negara merupakan hal penting agar studi nyaman. Oleh karena itu, satu hal yang menjadi concern adalah kemudahan (atau kesukaran) saat harus mengurus  visa pelajardi masing – masing negara. Setiap semester, kita harus pindah negara (kadang tidak sampai satu semester, tapi satu term = 4 bulan). Pengurusan visa dan peraturan imigrasi negara Eropa yang kadang berubah – ubah sering membuat deg-degan.

Ketika di Spanyol, saya pernah mendapat masalah keterlambatan kartu residens (baru dapat saat akhir semester) dan tidak bisa membuat visa pelajar dari Indonesia namun harus dari negara terakhir tempat studi. Alhasil, dari Indonesia saya harus kembali ke Spanyol untuk membuat visa Prancis sebelum masuk ke Prancis. Jika sudah begini, seluruh persyaratanseperti hasil X-ray, medical letter dari dokter, paspor lama, fotocopy dokumen kependudukan, harus selalu dibawa saat kita berpindah – pindah negara. Kalau dipikir lucu juga, dalam satu waktu, visa pelajar Inggris masih berlaku, tetapi saya juga memegang kartu residens Prancis, Spanyol, dan Belanda sekaligus (multi-identity).

 

Housing

Masing – masing program Erasmus+ menawarkan fasilitas berbeda. Ada yang mengurus semua hal untuk mahasiswa, seperti pemilihan housing danada juga yang membebaskan mahasiswa untuk mengurusnya sendiri. Beruntung, untuk program Vibot, semuanya mulai dari visa, housing, cultural trip, buka akun bank, dsb, diurus oleh program coordinator. Namun, jika mahasiswa dibebaskan sendiri, harus berhati – hati dalam pemilihan housing. Setiap kita pindah ke negara baru, usahakan tinggal di housing yang disediakan kampus. Jika tidak, harus diperhatikan wilayah dan kondisi keamanannya. Ada baiknya, cari tahu dengan koordinator program, teman lokal atau orang Indonesia yang tinggal di kota tersebut untuk minta bantuan pemilihan tempat tinggal. Hati – hati juga dengan scams atau penipuan yang kadang memanfaatkan international students untuk mentransfer deposit dulu tanpa tahu kejelasan status housing-nya. Selain itu, adaptasi kamar baru  juga bisa membuat ‘jetlag’ di awal perkuliahan.

Setiap pindah negara, kami harus beradaptasi dengan housing student yang relatif mungil (saat di UK dan Prancis), lebih luas tapi sharing dengan orang lain (Spanyol), mengisi-menata isi kamar kembali, serta beradaptasi dengan tetangga-tetangga di tempat tinggal baru yang selalu berbeda. Ada baiknya sebelum perkuliahan dimulai, kita sudah tahu akan tinggal dimana dan urusan housing sudah beres.

 

Allowance

Perbedaan allowance atau tunjangan dalam kuliah nomaden, jika dibandingkan dengan beasiswa biasa adalah adanya skema mobilitas. Umumnya beasiswa ‘biasa’ memberi travelling/settlement allowance saat tiba dan selesai studi. Tapi, karena kita harus mobilisasi dan berusaha untuk ‘settle’ setiap semester maka di awal semester selalu ada tambahan settlement allowance tersebut (untuk tiket pesawat, membeli barang-barang lagi, dsb). Meskipun tidak pernah ada keterlambatan dalam pencairan dana, namun adaptasi untuk allowance tetap perlu. Menabung diperlukan karena setiap kita pindah negara, kita harus membuka membuka akun bank baru. Kadang, proses ini membutuhkan waktu beberapa hari sampai akun bisa aktif dan menerima allowance. Selalu sedia cash (dengan mata uang sesuai negara tersebut) atau credit card untuk cadangan.

Karena setiap negara kita membuat akun bank, alhasil kita memiliki banyak kartu ATM dan buku tabungan. Nah, simpan baik-baik dokumen bank tersebut dan jangan lupa untuk menutup akun bank saat kita keluar dari negara tersebut.

 

Bahasa

Salah satu suasana kelas di program Vibot

Jika ingin menguasai suatu bangsa, pertama, kuasailah dan beradaptasilah dengan bahasanya….”, begitu kata pepatah. Ya, setiap berpindah negara, kami harus beradaptasi lagi dengan Bahasa yang baru. Meskipun kuliah diberikan dalam bahasa Inggris tapi untuk kehidupan sehari-hari, benar – benar tak bisa dihindari untuk berinteraksi dengan bahasa lokal. Beruntungnya, saat program Vibot, kita juga dapat kelas Bahasa (lab Bahasa Katalan saat di Spanyol) dan Prancis. Sebaiknya sebelum berangkat ke negara tertentu kita belajar sedikit – sedikit (minimal percakapan dasar) bahasanya. Saya sempat kursus intensif Prancis setiap hari (paginya) dan Spanyol (siangnya) selama tiga bulan sebelum berangkat.

Namun, tetap saja ketika sampai di sana awalnya agak shocked karena tidak bisa menangkap apa yang dibicarakan orang – orang. Tapi lumayan, setidaknya jika sudah belajar dulu, kita bisa membaca, misal membaca kandungan ingredients di kemasan makanan sebelum dibeli atau membaca petunjuk di jalan.

Saat sampai di Scotland, saya juga kaget dengan Bahasa Inggris, yang tidak terdengar seperti Bahasa Inggris. Sempat keteteran saat menghadiri lecture dengan orang asli Scotland yang bicara sangat cepat dengan aksen kental. Juga, sempat minta sopir bus mengulangi bicaranya (yang sangat Scottish) sampai tiga kali, tapi pada akhirnya tetap saja tidak mengerti. Seperti apa aksen Scottish? Tahu Hagrid-nya Harry Potter? Ya, kita – kita seperti itu.

Musim semi di kota Bourgogne

Musim semi di kota Bourgogne

Sampai di Barcelona, saat saya sudah pede dengan ‘bekal’ Bahasa Spanyol, justru dibuat kaget. Ya, ternyata disana mereka menggunakan Bahasa Katalan, yang ternyata sangat jauh berbeda dengan Bahasa Spanyol. Bahkan teman kami yang orang Spanyol dan Amerika Latin pun tidak mengerti (dan tidak bisa menebak) Bahasa Katalan. Alhasil, di sela kesibukan kuliah Computer Vision dan Robotics, kami harus mengikuti lab Bahasa Katalan tiap minggu. Bahasa yang unik, seperti campuran antara Bahasa Spanyol, Itali, Prancis. Misalnya, nama saya Vanya: ‘Em dic Vanya’, selamat pagi: ‘bon dia’, terimakasih banyak: ‘moltes gracies’, saya tidak mengerti: ‘no ho entenc’. Untuk lidah Indonesia, agak aneh mengucapkannya, sepertinya lidah kita lebih lentur dengan Bahasa Spanyol.

Dosen di tiap negara juga punya aksen berbeda, yang menjadi tantangan tersendiri (selain mata kuliah sulit, saat mereka menerangkan juga kita tidak ‘nangkap’). Misal saat di Prancis, semua dosen berbahasa Inggris sengau. Saat di Spanyol,  dosen berbicara juga dengan aksen ‘r’ yang kuat. Urusan lidah, selain Bahasa tentunya makanan. Adaptasi kuliner di tiap negara juga berbeda. Buat yang terbiasa memasak sendiri mungkin tidak terlalu merasa khawatir karena lidah terasa sama (cita-rasa masakan sendiri). Tapi bagi yang selalu makan di luar, nampaknya harus beradaptasi dengan menu yang ditawarkan di kampus (untuk paket student, harga lebih terjangkau ditawarkan di kantin). Pastikan juga kandungan bahannya semua aman.

 

Budaya

Vibot Introduction Day tahun 2009

Vibot Introduction Day tahun 2009

Sepertinya budaya harusnya ditaruh di poin nomor 1, sebab ini yang paling menarik. Bisa mempengaruhi mood dan kelancaran selama studi juga. Beda negara, beda pula budayanya. Pada dasarnya, culture shock harus dihadapi dengan cara beradaptasi lebih cepat dan open-minded. Saat sudah terbiasa terjadwal, cepat, dan tepat waktu di Inggris, saat pindah ke Spanyol, semuanya serba laid-back, santai, dan cenderung lebih ngaret, misalnya. Saat sudah terbiasa dengan 3-course-meal dengan dessert yang aduhai di Prancis, lalu harus berganti dengan roti keju untuk makan siang di Belanda. Saat terbiasa lebih reserved di Scotland, lalu merasa sangat berisik di Barcelona. Tak ada yang salah, semua hanya soal budaya. Bagaimana kita beradaptasi dan merasa nyaman dengan lingkungan kita berada-lah yang harus terus dilatih.

Yang spesial pada program Vibot di Erasmus+ ini adalah, kami memiliki mata kuliah Local Culture, yang terintegrasi dengan Cultural Trip. Tentu, inilah mata kuliah (ada creditnya juga) yang paling saya sukai, jika dibandingkan dengan mata kuliah lain seperti Autonomous Robotics, Medical Robotics, Visual Perception, 3D Digitization,  dsb.

Saat di Scotland, beragam eksplorasi budaya seperti menari di Ceilidh, berkunjung ke kastil Scotland, ke Highland, serta taman – taman kerajaan Scotland dilakukan pada semester ini. Di Prancis, mata kuliah Local Culture lebih serius karena kita ‘belajar’ sejarah Prancis, juga pengenalan kuliner Prancis seperti macaron, moutard de Dijon, aneka jenis cheese and tradisi cara minum wine (auction house, jenis – jenis anggur, cara menuang  wine – sampai cara menyeruput wine – ada juga komisi khusus yang bertugas menilai kualitas wine. Well, saya hanya melihat saja dari jauh).

Tak kalah menarik saat di Spanyol, tiap international student dipasangkan dengan satu ‘tandem’ budaya yang setiap minggu bertemu untuk bertukar budaya. Ini membuat kami masing – masing memiliki pengalaman budaya yang berbeda. Umumnya tandem ingin belajar Bahasa Inggris, sedangkan kita diajak mengeksplorasi budaya. Ada juga cultural trip ke Girona old city, Museum Salvador Dali di Figueres, pantai eksotis Cadaques di Costa Brava, serta area historis di Barcelona. Semuanya gratis!

Perpisahan kelas di Pantai Palamos, Spanyol, 2011

Perpisahan kelas di Pantai Palamos, Spanyol, 2011

 

Sistem pendidikan berbeda

Kuliah di beberapa negara berbeda juga berarti beradaptasi dengan sistem pendidikan berbeda. Di UK, sistem penilaian lebih ke grade A, B, C. Di Spanyol, dengan skala 0-100. Di Prancis, skala penilaian dengan full score 20. Semuanya berbeda… Belum lagi dengan cara pengajaran tiap universitas: ada yang lebih project-based, ada yang lebih teaching-based. Nah, setiap pindah kampus, kita selalu punya kartu pelajar. Jadi, di akhir masa studi saya memiliki empat kartu pelajar yang berbeda!

Selesai studi, ada yang mendapatkan satu ijazah (dengan cap dari semua universitas di konsortium), ada juga yang mendapatkan ijazah mutiple dari masing-masing universitas. Untuk kasus saya dulu, masing – masing universitas mengeluarkan ijazah yang harus ditebus. Sayangnya, ada masalah saat itu tentang pergantian kurikulum dan peraturan akademik di Spanyol sehingga harus mengurus banyak hal serta merogoh kocek cukup dalam untuk menebus ijazah. Alhasill, hanya ijazah Prancis dan Inggris berakhir di tangan (dan sebenarnya sudah cukup untuk meneruskan kerja atau studi lanjutan setelah itu).

 

Travel more!

Satu keuntungan dari kuliah nomaden adalah: kuliah saja jalan-jalan. Selain cultural trip yang ditawarkan secara gratis oleh program studi, kita juga bisa eksplorasi lebih banyak. Saat pindah ke satu negara, akan lebih nyaman untuk travelling ke negara-negara di sekitarnya dalam satu periode. Lalu, semester selanjutnya saat pindah ke negara di kawasan lain, kita bisa mengunjungi negara – negara di dekatnya. Skema ini lebih nyaman karena tidak terburu waktu (dibandingkan dengan tur keliling Eropa dalam satu waktu) dan lebih murah (karena jarak yang lebih dekat dengan negara tempat kita berada).

Saat perkuliahan, kita disibukkan dengan beradaptasi menjadi ‘orang lokal’: berbelanja di supermarket lokal, bergaul dengan warga lokal, mencicipi hidangan lokal, sampai berinteraksi dengan bahasa lokal, apalagi jika terdampar di desa dan bukan kota besar. Saat travelling adalah saat kita bisa menikmati menjadi turis!

 

 

Photos courtesy of Vanya Valindria

Belajar Fotografi Gratis di Melbourne

$
0
0

Waktu pertama kali saya sampai di Melbourne, hanya ada satu tujuan di pikiran saya: BELAJAR. Itulah tujuan utama saya berangkat ke Australia, dan selain itu beasiswa LPDP yang saya terima dari negara pun memang bukan untuk jalan-jalan ke luar negeri, melainkan untuk mendukung studi pasca sarjana saya. Didasari pertimbangan inilah saya memilih fokus di urusan akademik pada semester awal di Melbourne, demi survive di University of Melbourne yang terkenal memberi beban akademik yang berat dan cukup menjadi momok bagi para pelajar di kota ini.

Namun, setelah menjalani semester awal, menurut saya bukanlah tidak mungkin bagi saya untuk menjelajahi sepenuhnya keindahan kota Melbourne, dan yang paling penting, menemukan sesuatu untuk mengembangkan diri saya sendiri.

bayun binantoro fotografi melbourne

Keindahan kota Melbourne yang diabadikan penulis

Di bulan Oktober 2015, saya bertemu dengan Pak Windu Kuntoro, salah satu sesepuh dunia fotografi di Melbourne yang aktif berkecimpung di media, salah satunya majalah OZIP (Australian Indo Post). Saya diundang untuk menghadiri sesi foto model untuk majalah tersebut di Brighton Beach. Saya yang saat itu hanya mempunyai kamera DSLR level pemula pun menyanggupi sembari mengisi waktu liburan.

Saat sesi foto itulah saya terinpirasi untuk serius mendalami fotografi. Kenapa? Karena saya suka mengamati makhluk hidup, terutama manusia. Dan lewat fotografi saya tidak hanya menangkap momen, tapi juga jiwa, emosi dan keindahan manusia yang jadi objek foto saya. Selain itu, Melbourne juga adalah sebuah kota yang sangat cocok untuk kegiatan fotografi.

bayun binantoro fotografi melbourne

Penulis (kiri) sedang menunjukkan hasil karyanya

Keindahan kota Melbourne sangat ideal untuk diabadikan melalui fotografi lansekap. Tidak hanya saat siang, ketika malam tiba pun kota ini menyala dengan indahnya. Melbourne juga dipadati orang-orang dari segala penjuru dunia sehingga banyak karakter unik yang dapat dijadikan objek foto. Untuk penggemar alam, pantai, taman, hutan dan sungai di kota ini juga sangat fotogenik sehingga memanjakan para penggemar keindahan alam.

Hal terpenting dalam setiap proses pembelajaran adalah networking dan mentor. Setidaknya ada tiga fotografer Indonesia kawakan di kota ini yang dapat Anda jadikan mentor:

  1. Windu Kuntoro selaku fotografer OZIP dan Multicultural Victoria
  2. Prissy Mulyandi, selaku fotografer Kopi Tubruk
  3. Ading Attamimi selaku Nikon Official Photographer Partner Indonesia

Untuk belajar dari para mentor ini, Anda dapat mengikuti kursus privat atau umum yang mereka selenggarakan. Jika ingin belajar gratisan, Anda juga dapat mengikuti sesi foto bersama mereka dan melihat mereka in action.

bayun binantoro fotografi melbourne

Salah satu foto karya penulis

Komunitas fotografi di Melbourne juga berlimpah, sebut saja Melbourne Camera Club yang merupakan komunitas fotografi tertua yang ada di kota ini. Sesi awal dapat Anda ikuti dengan gratis, dan apabila Anda menginginkan sesi selanjutnya, Anda dapat mendaftar untuk menjadi anggota klub ini dan menikmati seluruh fasilitas seperti sesi studio dan sesi hunting foto tiap minggu. Namun jika Anda menginginkan sesi gratisan 100%, banyak juga grup-grup Facebook yang dapat memfasilitasi, sebut saja “Melbourne Photography Excursion” (MPE) dan “MYPhotographer”. Selain dapat masuk menjadi anggota dan mengikuti semua sesi foto secara gratis, ada beberapa fotografer professional yang dapat kita jadikan mentor. Dua hal inilah yang menjadi alasan utama saya menjadi anggota komunitas ini. Sebenarnya, komunitas fotografi khusus Indonesia juga ada, yakni KTP (Komunitas Tukang Potret), namun belakangan ini sudah kurang aktif dikarenakan banyak dari anggotanya yang sibuk dengan profesi masing-masing.

Untuk mengakhiri artikel ini, apabila Anda memperoleh kesempatan untuk belajar di luar negeri, sekali lagi saya tekankan pentingnya menjelajahi dan menikmati budaya kota tempat Anda studi, serta melakukan kegiatan-kegiatan di luar studi yang Anda nikmati. Menurut saya, hal-hal itulah yang pada akhirnya membuat pengalaman belajar di luar negeri kita lebih berarti. Selain itu, kegiatan-kegiatan tersebut juga diperlukan untuk mengembangkan diri kita secara lebih utuh. All in all, saya sendiri baru mulai membuat Facebook page atas nama “Binantoro Photoworks”. Apabila Anda berniat belajar fotografi, mari belajar bersama-sama. Salam fotografi!

All photos are provided by the author

Edited by Hadrian Pranjoto

Groningen: Exactly Where I Need To Be!

$
0
0

Landed in Amsterdam Schiphol International Airport almost 2 years ago, I went straight to a small town in the Northern part of the Netherlands called Groningen.

Located only 2-hour train ride away from the airport; you would see Groninger Museum straight away as it is located only across the central station. Most cities in the Netherlands look similar to me. The only difference is the feeling of warmness Groningen gives me, that feeling of knowing you are home. It can be associated to the question most often raised to me, “how did you get so comfortable that you have not gone home since 2014?”

66941E33-65CB-4D97-9E53-788CC9F88572 IMG_1402

Overcoming cultural differences

I get through the day with the help of my friends. Along with other 20 Indonesians, who have been my support systems, fellow international friends have also given me new perspectives of life.

It all started when my best friend and I joined an international students’ organisation called ESN (Erasmus Student Network). This organisation aimed at helping us to expand our networks. They did it by grouping us with other individuals with different nationalities during the introduction week and subsequently made numerous friends from other countries who I never thought I would have interacted in my life.

In the school zone, friends played bigger roles in helping me understand different working styles and to be open-minded to others’ way of thinking. We were able to pick our own teammates at some courses and of course, the Indonesians would pick the Indonesians as a safety net. However, some courses insist that we should team up with mixed nationalities. From these courses I have experienced some differences on little things. A funny story was when I had been in a group with a Dutch girl who warned me that she could be pretty “German” when it comes to assignments. What did she mean by that? Well, Germans tend to be very strict on studying schedules as well as their high targets on grades. However, on the weekends, I would also see those hardworking students in the clubs. Observing and experiencing new interesting things like these have really motivated me in a way.

IMG_4256

Getting to know the Dutchies

They are very friendly and also straightforward at the same time. You stroll around town and walk past a person; they would say “Hi!” or at least smile at you, as if everybody is in a good mood. Nevertheless, their directness surprised me at first; my landlord told me that I looked awful when I was sick. Imagine if I had not been sick and he just told me that? On the bright side, you can almost always expect them to be very honest.

I also learned the importance of acknowledgement and the importance of speaking up from my experience here. People here would tell you when you look good, when they like your work ethics or simply enjoy your presence. Another example; many students shot the most innocent questions in a lecture hall full of 150 students. They do not care, because they are just saying what is on their minds. This might not be new to some of you but from the environment where I grew up, I did not find these things important until I got here.

FullSizeRender

The Netherlands

Other than its people, the country itself is another reason why I have not been home for the last 2 years. It is rather easy and cheap to travel from one city to another by train. You can go from the Northern part of the Netherlands to the very South only for 7 euros. Whenever I feel like travelling to visit friends and relatives elsewhere, I would not think twice.

Furthermore, the view in every corner of this country will please your eyes; the canals, the tulips and even a random doorstep covered in colourful flowers can develop an insta-worthy picture. Most importantly, there is little, almost no pollution because cycling is very popular here.

I could go on for ages on why I love it here, but to sum up, the Netherlands and Groningen have helped me to develop myself better. I guess it is safe to say that I am exactly where I need to be.

 

Viewing all 1384 articles
Browse latest View live